Momentum Covid-19 dapat dimanfaatkan untuk berbagai transformasi struktural dengan fokus memperkuat sektor produktif. Tak lupa, mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada kekuatan ekonomi rakyat.
Oleh
ENNY SRI HARTATI--Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
·5 menit baca
Indonesia patut bersyukur. Di tengah pandemi Covid-19, Bank Dunia menyematkan predikat kinerja perekonomian 2019 naik kelas, dari negara berpendapatan menengah bawah menjadi negara berpendapatan menengah atas.
Klasifikasi itu berdasarkan pendapatan nasional bruto atau PNB per kapita 2019 sebelum Covid-19, dalam dollar AS. Kategorinya, negara berpendapatan rendah jika memiliki PNB per kapita di bawah 1.035 dollar AS, menengah ke bawah 1.036-4.045 dollar AS, menengah atas 4.046-12.535 dollar AS, dan berpenghasilan tinggi di atas 12.536 dollar AS.
Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) jarang memublikasikan data PNB kepada publik. Secara periodik BPS hanya merilis data produk domestik bruto (PDB). Seperti pada 2019, PDB per kapita Indonesia Rp 59,1 juta (4.174,9 dollar AS), naik dari 2018 yang Rp 56 juta (3.927,2 dollar AS). Sementara, berdasarkan data Bank Dunia, pada 2018 Indonesia memiliki PNB per kapita 3.840 dollar AS dan pada 2019 sebesar 4.050 dollar AS. Ada perbedaan antara PDB per kapita dan PNB per kapita, yang pada 2018 selisih 87,2 dollar AS dan pada 2019 selisihnya meningkat menjadi 124,9 dollar AS.
Angka PNB Indonesia selalu lebih rendah daripada PDB, dengan selisih semakin meningkat atau memburuk. PDB menghitung pendapatan dari seluruh wilayah Indonesia, termasuk milik warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Sementara, PNB mencatat pendapatan seluruh warga negara Indonesia, termasuk yang bekerja di luar negeri.
Sementara, neraca pendapatan Indonesia selalu defisit, terutama tekanan pada neraca pendapatan primer. Pada triwulan I-2020, neraca pendapatan primer defisit 8,08 miliar dollar AS. Total penerimaan pendapatan dari luar negeri 1,20 miliar dollar AS, sedangkan pembayaran pendapatan ke luar negeri 9,28 miliar dollar AS. Sumber defisit dari kompensasi tenaga kerja yang defisit 333 juta dollar AS dan pendapatan investasi yang minus 7,76 miliar dollar AS, baik investasi langsung maupun portofolio. Sementara, neraca pendapatan sekunder surplus 1,63 miliar dollar AS, terutama kontribusi dari transfer tenaga kerja.
Besaran transfer remitansi pekerja migran Indonesia 2,77 miliar dollar AS, sedangkan transfer remitansi kepada tenaga kerja asing 1,14 miliar dollar AS. Artinya, surplus neraca sekunder disumbang pahlawan devisa. Namun, proporsinya tak sebanding. Jumlah pekerja asing di Indonesia 75.000 orang, sedangkan jumlah pekerja Indonesia di luar negeri 3,29 juta orang.
Pokok persoalan tidak hanya pada perbedaan PDB dan PNB yang kian lebar.
Masih wajar jika arus investasi asing menyebabkan neraca pendapatan primer defisit. Namun, masih dapat dikompensasi dengan perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi. Setidaknya, ada peningkatan nilai tambah, penyerapan lapangan kerja, perbaikan neraca perdagangan dan peningkatan penerimaan negara.
Nyatanya, perekonomian Indonesia justru dihadapkan pada stagnasi pertumbuhan ekonomi, tekanan defisit neraca berjalan, bahkan utang pemerintah yang melambung. Ironisnya, penyerapan tenaga kerja justru merosot. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada triwulan I-2020 naik 8 persen, tetapi penyerapan tenaga 303.085 orang, lebih rendah daripada triwulan IV-2019 yang mencapai 330.539 orang.
Nyatanya, perekonomian Indonesia justru dihadapkan pada stagnasi pertumbuhan ekonomi
Catatan penting
Kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas berdasarkan PNB per kapita diiringi sejumlah persoalan krusial.
Pertama, hanya sedikit di atas batas bawah. PNB Indonesia 2019 sebesar 4.050 dollar AS, sedangkan batas bawah PNB kelompok menengah atas 4.046 dollar AS. Artinya, sekalipun naik kelas, benar-benar di posisi rentan yang berisiko kembali turun kelas ke kelompok menengah bawah.
Kedua, angka kesenjangan ekonomi yang tinggi. Ketimpangan pengeluaran yang ditunjukkan rasio gini 0,382. Lebih dahsyat lagi, ketimpangan kekayaan atau pendapatan, yakni 1 persen penduduk memiliki kekayaan 46,6 persen dari pendapatan nasional, 5 persen penduduk menguasai 65,4 persen, dan 10 persen penduduk menguasai 75,3 persen pendapatan nasional. Kenaikan pendapatan hanya terkonsentrasi pada 10 persen kelompok berpenghasilan teratas. Artinya, tidak ada jaminan peningkatan pendapatan pada 90 persen penduduk yang akan berdampak pada peningkatan daya beli.
Ketiga, belum menjamin terlepas dari jebakan pendapatan kelas menengah. Secara statistik, PNB per kapita mampu memenuhi parameter. Namun, ancaman jebakan pendapatan kelas menengah secara riil sangat ditentukan kemampuan meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian. Secara sederhana, seseorang akan menjadi kaya sebelum tua jika mampu menjaga kesinambungan sumber penghasilan. Kondisi itu hanya akan terjadi jika mampu mengelola dan menjaga stabilitas serta memitigasi risiko. Dengan kata lain, fondasi perekonomian harus kokoh, ditopang semua pilar yang kuat. Namun, jika perekonomian masih mengandalkan konsumsi, sedangkan sektor produktif sebagai sumber pendapatan justru merosot, risiko jebakan sewaktu-waktu selalu terjadi.
Keempat, tidak serta-merta menjadi daya tarik investasi. Peningkatan status naik kelas biasanya akan menempatkan posisi suatu negara semakin bergengsi. Minimal, akan memicu kepercayaan investor untuk berinvestasi karena peluang pasar semakin meningkat. Namun, di sisi lain, selama kendala investasi dan kepastian usaha masih menjadi benturan, kenaikan kelas hanya akan dimanfaatkan sebagai obyek penetrasi pasar. Alih-alih mendorong masuknya investasi, tekanan defisit neraca perdagangan justru akan semakin menggila.
Kelima, kembali merosot di tengah Covid-19. Dampak dari pandemi Covid-19 terhadap perekonomian sangat dahsyat. Tidak hanya mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, tapi juga berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Akibatnya, pendapatan masyarakat turun, daya beli anjlok, dan berujung pada permintaan agregat yang melemah. Sisi permintaan yang rendah sekaligus secara paralel membuat sisi penawaran mandek. Belum lagi ditambah kendala pasokan bahan baku, arus distribusi barang yang terganggu, dan tekanan ekonomi biaya tinggi akibat harus memenuhi protokol kesehatan. Pendek kata, Covid-19 tidak hanya mengancam penurunan PNB per kapita, tetapi lebih jauh berisiko mendorong masuk pada jurang resesi.
Pada akhirnya, yang harus dicapai adalah tidak sekadar mendapat predikat naik kelas. Hal terpenting adalah memperbaiki fondasi perekonomian. Momentum Covid-19 dapat dimanfaatkan untuk berbagai transformasi struktural. Mulai dengan fokus memperkuat sektor produktif, seperti industri, terutama industri substitusi impor, hulu, hilir, dan padat karya. Termasuk menjadikan sektor pertanian (pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan) sebagai tulang punggung perekonomian. Tak lupa mengembalikan kedaulatan ekonomi dari dominasi oligarki kepada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu usaha menengah, kecil dan mikro serta koperasi.
Pada akhirnya, yang harus dicapai adalah tidak sekadar mendapat predikat naik kelas.