Sempat babak belur pada paruh pertama 2020, industri reksa dana berupaya bangkit. Pemulihan reksa dana memanfaatkan momentum pembukaan aktivitas ekonomi secara bertahap dan perbaikan fundamen ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri reksa dana dalam negeri tengah memasuki fase pemulihan setelah tertekan sepanjang semester I-2020 akibat pandemi Covid-19. Penurunan permintaan domestik secara drastis pada paruh pertama tahun ini juga turut memengaruhi kinerja pasar keuangan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per akhir Mei 2020, dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) industri reksa dana dalam lima bulan terakhir turun Rp 65,92 triliun, dari Rp 542,2 triliun per akhir Desember 2019 menjadi Rp 476,28 triliun. Pada periode yang sama, unit penyertaan reksa dana menyusut 19,08 miliar unit, dari 424,79 miliar unit menjadi 405,71 miliar unit.
Presiden Direktur Sucor Asset Management Jemmy Paul Wawointana mengatakan, penurunan NAB serta unit penyertaan reksa dana terjadi akibat nasabah banyak mencairkan reksa dana pada semester I-2020. Kondisi ini diperburuk dengan penurunan nilai aset dasar karena kondisi pasar.
Sejak awal tahun hingga 13 Januari 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 19,48 persen.
”Penurunan dana kelolaan masih disebabkan sentimen pandemi Covid-19 yang membuat investor cenderung mengubah profil risikonya menjadi lower risk,” ujarnya dalam diskusi virtual yang berlangsung Selasa (14/7/2020).
Namun, Jemmy optimistis industri reksa dana tengah memasuki periode pemulihan seiring pemulihan ekonomi global secara bertahap pada triwulan III-2020. Indikasi pemulihan terlihat dari aktivitas manufaktur yang meningkat di beberapa negara Asia dan harga minyak dunia yang mulai pulih meskipun masih ditopang permintaan yang terbatas.
Indikasi pemulihan terlihat dari aktivitas manufaktur yang meningkat di beberapa negara Asia dan harga minyak dunia yang mulai pulih.
Saat ini dana investasi yang dikelola Sucor Asset Management sebesar Rp 13,3 triliun atau naik 26,67 persen dari posisi pada akhir tahun lalu yang sebesar Rp 10,5 triliun.
Pada semester II-2020, kata Jemmy, pasar keuangan dalam negeri juga akan ditopang perbaikan fundamen ekonomi. Dari sisi pasar modal, Indonesia menawarkan potensi imbal hasil cukup menarik, yang terlihat dari rata-rata rasio price to earning, sebagai alat utama penghitungan harga saham suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan perusahaan. Per 10 Juli 2020, rasionya 12,4.
”Pasar modal dikenal sebagai salah satu indikator ekonomi terdepan sehingga pergerakan pasar modal cenderung akan mengikuti perubahan pandangan dan ekspektasi pada pertumbuhan ekonomi dan bisnis ke depannya,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Jemmy, investor Sucor Asset Management lebih banyak masuk ke reksa dana pasar uang. Memasuki semester II-2020, investor mulai ramai mengakumulasikan produk reksa dana saham setelah imbal hasil mengalami kenaikan seiring dengan membaiknya kinerja IHSG.
Optimisme
Pada kesempatan yang sama, Head of Wealth Management and Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya menjelaskan, pembukaan kembali kegiatan ekonomi secara bertahap memberikan optimisme perihal pemulihan ekonomi. Meskipun, persepsi investor masih dibayangi peningkatan kasus Covid-19.
”Semester II-2020 diharapkan menjadi titik balik pemulihan ekonomi setelah mengalami penurunan yang dalam pada semester pertama, khususnya pada triwulan II-2020,” katanya.
Ivan memperkirakan, jumlah pembelian reksa dana bisa meningkat pada triwulan III-2020. Namun, minat investasi baru akan mulai kembali normal seperti sebelum pandemi dalam jangka waktu menengah ketika pengembangan vaksin Covid-19 sudah lebih jelas.
Ia menambahkan, kondisi fundamen ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan krisis pada 2008 ataupun 1998. Ia mencontohkan, inflasi saat ini stabil dan terjaga rendah di kisaran 3 persen, sedangkan pada 2008 inflasi naik 12 persen dan pada 1998 inflasi naik 82 persen.
Kondisi fundamen ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan krisis pada 2008 ataupun 1998.
Selain itu, cadangan devisa saat ini juga jauh lebih besar dan mampu dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Cadangan devisa Indonesia per Mei sebesar 130,5 miliar dollar AS. Adapun cadangan devisa pada 2008 sebesar 50 miliar dollar AS dan pada 1998 sebesar 17 miliar dollar AS.
”Kondisi ini cukup untuk membuat investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara pasar berkembang tujuan investasi,” ujarnya.