Perjalanan Dinas Kementerian untuk Dorong Industri Pariwisata Dinilai Tidak Efektif
Dorongan pemerintah pusat untuk melakukan perjalanan dinas ke tempat wisata prioritas dinilai tidak akan efektif tanpa adanya bantuan modal kerja untuk pelaku usaha sektor pariwisata.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha pariwisata menilai positif inisiatif pemerintah pusat untuk mengadakan perjalanan dinas ke destinasi prioritas guna membangkitkan sektor pariwisata. Namun, inisiatif itu perlu dibarengi bantuan tambahan untuk memulai kembali kegiatan pariwisata.
Pernyataan itu diwakili Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didin Junaedi. Kepada Kompas, Senin (13/7/2020), ia menanggapi surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tertanggal 6 Juli 2020.
Surat itu berisi permintaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi kepada tujuh kementerian dan lembaga yang dikoordinasikannya untuk menindaklanjuti hasil rapat terbatas 28 Mei 2020 mengenai pemulihan sektor pariwisata.
Kementerian dan lembaga itu diminta untuk memanfaatkan dana perjalanan dinas dan rapat senilai Rp 4,1 triliun dari Tahun Anggaran 2020. Kegiatan itu disarankan untuk dilaksanakan di destinasi prioritas, seperti Banyuwangi, Bali, Borobudur, Danau Toba, Kepulauan Riau, Labuan Bajo, Likupang, dan Mandalika.
”Sebenarnya, segala upaya bagus-bagus saja walau agak dipaksakan. Rapat-rapat itu dimanfaatkan dalam rangka membantu pariwisata,” ujar Didin.
Beberapa daerah, menurut dia, bisa mulai kembali menyambut tamu kegiatan dinas dan rapat terbatas dengan adaptasi kebiasaan baru di pandemi Covid-19. Namun, tujuan efektivitas kegiatan tersebut bagi sektor pariwisata perlu ditinjau ulang.
Dengan belum pulihnya aktivitas pariwisata, Didin mengatakan, pelaku usaha pariwisata perlu bantuan modal usaha dari pemerintah untuk menyambut adaptasi kebiasaan baru.
”Industri wisata bisa dibilang babak belur. Untuk mulai lagi, perlu modal karena selama ini enggak ada pemasukan atau yang dulunya travel jadi jualan bakmi. Tiap organisasi sudah mengajukan dana bridging (modal awal), ada yang Rp 100 juta sampai Rp 500 juta,” tuturnya.
Bantuan yang dimaksud di luar insentif yang sebelumnya dianggarkan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
April 2020, Kemenparekraf merealokasi anggaran Rp 500 miliar untuk memitigasi pandemi Covid-19. Dana bantuan tersebut disalurkan untuk beberapa program, yaitu pengalihan hotel menjadi tempat menginap tenaga medis hingga program ketahanan usaha dan pelatihan daring.
Kemudian, Kemenparekraf juga membuka pendaftaran Bantuan Insentif Pemerintah (BIP) dengan anggaran Rp 24 miliar kepada UMKM pariwisata dan ekonomi kreatif. Bantuan diberikan dalam bentuk transfer dana ke rekening usaha penerima bantuan dengan nilai sampai Rp 200 juta.
Proposal BIP bisa diajukan pelaku usaha berbadan hukum yang tidak pernah menerima bantuan sejenis dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pelaku usaha yang menerima bantuan wajib melaporkan rencana pengembangan usaha dan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan.
Maksimalkan bantuan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, pemerintah sebaiknya memaksimalkan insentif dan anggaran yang sudah ada untuk menyelamatkan pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif ketimbang menambah anggaran lagi untuk perjalanan dinas.
”Lebih baik maksimalkan anggaran yang sebelumnya sudah disediakan untuk bantu pelaku industri pariwisata lewat kredit permodalan UMKM dan sebagainya,” ujarnya yang dihubungi terpisah.
Menurut dia, pemerintah pusat, khususnya kementerian dan lembaga, belum maksimal menggunakan anggaran yang sebenarnya banyak difokuskan pada percepatan penanganan Covid-19 dan ekonomi nasional, sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Hal ini terlihat dari laporan Kementerian Keuangan. Kementerian itu mencatat, realisasi anggaran kementerian dan lembaga sampai Mei 2020 baru mencapai 10,41 persen dari pagu APBN 2020 sebesar Rp 1.851,10 triliun. Nilai itu lebih kecil dari realisasi anggaran periode sama di 2019 yang mencapai 18,86 persen.
Adapun kementerian dengan penyerapan paling rendah, antara lain, Kementerian Sosial 0,89 persen, Kementerian Kesehatan 2,17 persen, Kementerian Agama 2,19 persen, Kementerian Keuangan 3,43 persen, dan Kementerian Pertanian 9,32 persen.
Lambatnya penyerapan anggaran tersebut pun sempat menuai kritik dari Presiden Joko Widodo. Dalam sidang kabinet paripurna pada 18 Juni 2020, Presiden Joko Widodo menyebut, realisasi anggaran masih minim dikarenakan kendala administrasi, birokrasi, dan regulasi (Kompas, 9/7/2020).