Pemerintah lega karena akhirnya Bank Indonesia bersedia berbagi beban terkait pembayaran bunga surat utang negara. Kekhawatiran investor asing terhadap kemampuan bayar utang pemerintah pun mereda
Oleh
M fajar Marta
·4 menit baca
Kendati ketidakpastian dan gejolak pasar keuangan mulai mereda, masih sedikit investor asing yang masuk kembali ke Indonesia untuk membeli portofolio keuangan domestik, seperti saham dan surat utang negara atau SUN.
Di pasar saham, investor asing masih kerap mencatat jual bersih. Investor asing juga masih sangat berhati-hati membeli SUN meskipun imbal hasilnya salah satu yang tertinggi di dunia, yakni 7,32 persen per 7 Juli 2020 untuk tenor 10 tahun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan SUN atau surat berharga negara (SBN) oleh asing per 9 Juli 2020 tercatat Rp 934,24 triliun. Nilai ini jauh di bawah puncaknya pada Januari 2020, yakni Rp 1.085 triliun.
Aksi jual besar-besaran SBN oleh asing terjadi sepanjang Maret 2020 ketika pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia dan Jakarta mulai memberlakukan pembatasan sosial. Pada Maret, investor asing melepas SBN sekitar Rp 112,74 triliun.
Pada April, penjualan SUN masih terjadi. Aksi jual mulai berhenti pada Mei seiring gejolak pasar keuangan global yang mereda. Investor asing kembali masuk ke Indonesia, meskipun tak banyak.
Investor asing belum begitu tertarik memborong SBN, salah satunya karena mengkhawatirkan kemampuan bayar utang pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari angka rasio beban bunga utang terhadap penerimaan.
Berdasarkan Perpres No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, pemerintah memproyeksikan pembayaran bunga utang Rp 335,16 triliun tahun ini. Angka itu melonjak 21,6 persen dibandingkan dengan 2019.
Lonjakan terjadi untuk penanganan dampak Covid-19 dari sisi kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Pemerintah mau tak mau berutang dalam jumlah besar, yakni Rp 1.006 triliun, di luar utang jatuh tempo.
Dengan proyeksi itu, posisi utang pemerintah pada akhir 2020 akan menjadi sekitar Rp 5.784,4 triliun atau setara dengan 34,4 persen produk domestik bruto (PDB), naik signifikan dibandingkan dengan akhir 2019 yang sekitar 30 persen PDB.
Di sisi lain, pendapatan negara diproyeksikan Rp 1.760,88 triliun, turun 11,15 persen dibandingkan dengan realisasi 2019 yang sebesar Rp 1.957,16 triliun. Penurunan terjadi karena pemerintah memberi insentif pajak Rp 120,61 triliun untuk mengurangi beban sektor usaha yang pendapatannya anjlok akibat pandemi Covid-19. Selain itu, penerimaan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak juga tertekan akibat perekonomian yang lesu.
Dengan kondisi ini, rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan pada 2020 akan melejit menjadi 19 persen. Artinya, hampir seperlima penerimaan negara hanya untuk membayar bunga utang. Angka rasio pembayaran bunga pada 2020 melonjak lebih dari 2,5 kali lipat dibandingkan dengan 2012 yang hanya 7,5 persen. Lonjakan ini membuat investor asing mengkhawatirkan SBN.
Sebab, semakin tinggi rasio pembayaran bunga, semakin besar porsi penerimaan negara yang harus digunakan untuk membayar utang. Padahal, Indonesia juga perlu anggaran besar untuk pembangunan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Tanpa pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia akan terperangkap dalam jebakan utang.
Investor asing kian khawatir. Sebab, berdasarkan realisasi APBN per Mei 2020, rasio pembayaran bunga mencapai 22 persen. Kekhawatiran kian bertambah saat pemerintah kembali merevisi proyeksi APBN 2020 akibat tekanan pandemi yang makin berat terhadap perekonomian.
Dalam Perpres nomor 72/2020 tentang perubahan Perpres 54/2020, proyeksi utang neto naik jadi Rp 1220,46 triliun dan pendapatan negara turun jadi Rp 1.699,94 triliun. Dengan kondisi ini, rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan kian tinggi.
Di tengah kekhawatiran investor asing dan risiko peringkat utang RI yang meningkat, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo akhirnya menyepakati skema berbagi beban (burden sharing) pembayaran bunga SBN. Dari total Rp 1.173,74 triliun SUN neto yang akan diterbitkan tahun ini, BI akan membeli secara langsung Rp 397,56 triliun sekaligus menanggung beban bunga yang sebesar suku bunga acuan.
BI juga akan menanggung sebagian beban bunga SBN yang dibeli BI sebagai noncompetitive bidder di pasar perdana sesuai mekanisme pasar. Skemanya, pemerintah akan menanggung bunga sebesar 1 persen poin di bawah suku bunga acuan, sementara BI akan menanggung selisih bunga pasar dengan porsi pemerintah.
Jika saat ini bunga SBN tenor 10 tahun sekitar 7 persen dan suku bunga acuan 4,25 persen, pemerintah akan menanggung 3,25 persen dan BI kebagian 3,75 persen. Adapun besaran SBN yang akan dibeli BI di pasar perdana tergantung daya serap pasar karena BI hanya akan membeli jika pasar tak mampu menyerap SBN yang ditargetkan pemerintah dalam setiap lelang.
Pemerintah lega. Dengan berbagi beban, akan mengurangi beban fiskal untuk membayar bunga utang sekaligus menurunkan rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan.