Pelaku Ekonomi Dituntut Lebih Kreatif dan Inovatif Hadapi Dampak Pandemi
Pelaku ekonomi dituntut lebih kreatif untuk meningkatkan layanan produk dan inovasi menyusul munculnya persoalan ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan tatanan baru yang memungkinkan aktivitas ekonomi bergerak kembali di tengah pandemi Covid-19 memerlukan perubahan perilaku masyarakat. Namun, bukan hanya protokol kesehatan yang diperlukan, perlu ada gagasan baru untuk menggerakkan kehidupan ekonomi sembari menjaga kesehatan masyarakat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjelaskan, setelah tatanan baru diterapkan, pelaku ekonomi juga harus berubah. Semua harus lebih kreatif dalam menyediakan layanan dan produk serta beradaptasi dengan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, mendorong semua orang lebih sering mencuci tangan, dan menggunakan masker.
”Inti dari tatanan baru adalah melakukan perubahan. Selain perubahan perilaku masyarakat dalam hal kebiasaan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, diperlukan juga perubahan dari sisi pelaku ekonomi agar lebih kreatif dalam menyediakan layanan dan inovasi produk yang tepat untuk kepentingan pencegahan Covid-19. Untuk mendorong perubahan tersebut, kita bersama-sama membutuhkan gagasan baru,” kata Wapres Amin dalam pengantar bedah buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi, Masa Depan Perekonomian Global dan Nasional yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara virtual, Senin (13/7/2020).
Setelah tatanan baru diterapkan, pelaku ekonomi juga harus berubah. Semua harus lebih kreatif dalam menyediakan layanan dan produk serta beradaptasi dengan protokol kesehatan.
Pemerintah sudah menyiapkan perluasan program bantuan sosial, pemberian subsidi pembayaran rekening listrik, hingga kebijakan luar biasa berupa dukungan regulasi pembiayaan pembangunan. Selain itu, dalam program pemulihan ekonomi nasional, disiapkan juga subsidi dan dukungan pembiayaan untuk para pelaku usaha, mulai dari mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai pelaku usaha padat karya lainnya. Anggaran untuk penanganan Covid-19 pun kini ditetapkan Rp 695,2 triliun untuk meningkatkan akselerasi belanja, baik jaring pengaman sosial, belanja kesehatan, maupun program pemulihan ekonomi.
Program perlindungan sosial
Direktur Indef Enny Sri Hartati menilai, memasuki tatanan normal baru, elite pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, harus memahami dan mampu beradaptasi betul dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada di masa ini. Untuk memulihkan ekonomi, semestinya dipetakan secara jelas dan rinci sumber-sumber persoalan yang ada. Misalnya, apa saja masalah di sisi persediaan (supply) dan permintaan (demand). Dengan demikian, langkah untuk mengatasinya sesuai dengan masalah yang ada.
Memasuki tatanan normal baru, elite pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, harus memahami dan mampu beradaptasi betul dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada di masa ini.
Saat ini, menurut Enny, terdapat delapan skema program perlindungan sosial, mulai dari bantuan bahan pokok, Program Keluarga Harapan, Kartu Prakerja, hingga padat karya tunai. Hanya saja, program-program tersebut masih rendah serapannya. Misalnya, serangan program perlindungan sosial masih di bawah 10 persen dan program pemulihan ekonomi di bawah 5 persen. Kemudian, masih ada pertanyaan lain yang perlu dijawab pemerintah, yaitu apakah program tersebut sudah tepat sasaran.
Enny juga menilai, program Kartu Prakerja juga kurang tepat. Sebab, program tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan rumah tangga dengan kesulitan likuiditas. Yang diperlukan keluarga tersebut tentu bukan latihan keterampilan.
”Perlindungan sosial perlu betul-betul fokus melindungi orang miskin dan rentan miskin supaya daya beli pulih,” ujarnya.
Jika kebijakan perlindungan sosial dan kebijakan pemulihan ekonomi nasional tidak tepat sasaran, bukan tidak mungkin kontraksi ekonomi juga terjadi di triwulan ketiga. ”Suka atau tidak suka, 60 persen ekonomi kita ditentukan konsumsi rumah tangga, jadi luncurkan program-program yang bisa dilihat betul efektif untuk menggerakkan ekonomi, meningkatkan daya beli,” tambahnya.
Di sisi lain, Guru Besar Ekonomi Politik Fakultas Ekonomi Manajemen IPB Prof Didin S Damanhuri menjelaskan, pandemi Covid-19 memaksa semua negara menghentikan perdagangan global yang sebelumnya meningkat luar biasa. Ketika kegiatan perekonomian antarnegara ini terhenti dan deglobalisasi menjadi kenyataan, kemandirian nasional menjadi keniscayaan.
Ke depan, kemandirian ekonomi nasional adalah keniscayaan untuk negara berkembang. Indonesia pun harus punya aksi untuk membangun kemandirian ekonomi nasional, mendukung UMKM, dan mengubah struktur ekonomi yang tidak berkeadilan ini menjadi betul-betul adil. (Didin S Damanhuri)
Untuk itu, pasar domestik harus dikuatkan. Industri dalam negeri juga perlu kembali bangkit dan fokus pada kebutuhan pasar domestik.
”Ke depan, kemandirian ekonomi nasional adalah keniscayaan untuk negara berkembang. Indonesia pun harus punya aksi untuk membangun kemandirian ekonomi nasional, mendukung UMKM, dan mengubah struktur ekonomi yang tidak berkeadilan ini menjadi betul-betul adil,” kata Didin, yang juga salah satu penulis buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi tersebut.
Adapun Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menjadi salah satu pembicara kunci menjelaskan, realisasi investasi di triwulan pertama 2020 senilai Rp 210,7 triliun yang terdiri dari Rp 112,7 triliun penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing Rp 98 triliun. Hal ini disebabkan pengiriman barang antarnegara belum diizinkan sehingga realisasi ekspor impor memakan waktu. Dari investasi Rp 210 triliun tersebut, jumlah tenaga kerja yang terserap 303.085 orang.
Ke depan, menurut Bahlil, pemerintah akan mengundang investasi dan mendorong perusahaan-perusahaan untuk merelokasi usahanya ke Indonesia. Namun, untuk itu, pengurusan izin dilakukan tersentral di BKPM. Setiap kementerian/lembaga yang berwenang mengeluarkan izin menempatkan pejabat atau petugas yang mengurus izin tersebut di BKPM.