Pembudidaya mulai ditinggalkan perusahaan eksportir benih lobster. Kebijakan ekspor benih bening lobster memberi celah penyalahgunaan kemitraan perusahaan dengan pembudidaya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Dewi Indriastuti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen eksportir benih lobster untuk mengembangkan budidaya di Tanah Air mulai diragukan. Alih-alih budidaya, perusahaan eksportir diduga memanfaatkan kemitraan dengan pembudidaya lobster demi memperoleh izin ekspor benih lobster.
Setelah izin didapat, perusahaan mangkir dari perjanjian kemitraan.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada 4 Mei 2020. Satu bulan setelah aturan terbit, benih lobster mulai diekspor. Per awal Juli, ada 31 perusahaan yang memperoleh rekomendasi izin ekspor benih bening lobster.
Berdasarkan Permen KP No 12/2020, pengeluaran benih bening lobster (Puerulus) dari wilayah RI mensyaratkan, antara lain, eksportir benih berhasil membudidayakan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat berdasarkan rekomendasi pemerintah. Syarat lain, melepasliarkan (restocking) lobster sebanyak dua persen dari hasil panen.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) Amin Abdullah menyampaikan, keluhan muncul dari sejumlah pembudidaya lobster di wilayahnya. Kemitraan untuk mengembangkan usaha pembesaran (budidaya) lobster yang dijanjikan perusahaan eksportir benih tak jelas kelanjutannya.
Amin menambahkan, muncul indikasi kemitraan hanya dimanfaatkan perusahaan untuk memenuhi syarat ekspor benih bening lobster. Modus yang digunakan adalah perusahaan membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan perusahaan dalam budidaya.
Modus lain, perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai hasil panen. Perusahaan juga mengklaim lahan KJA milik pembudidaya dan hasil panennya sebagai keberhasilan budidaya.
”Setelah persyaratan terpenuhi dan izin ekspor benih didapat, perusahaan tidak pernah menghubungi lagi kelompok pembudidaya lobster. Pembudidaya hanya sebagai alat, formalitas atau pelengkap untuk mendapatkan izin ekspor,” katanya, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (12/7/2020).
Kemitraan yang tidak jelas membuat pembudidaya lobster dalam kondisi kian terjepit di tengah hasil panen lobster yang tidak terserap pasar dan harga lobster yang anjlok. Selain itu, penyalahgunaan kemitraan menunjukkan pelaksanaan Permen KP No 12/2020 tak diawasi.
”Sekarang semakin banyak perusahaan yang memperoleh izin ekspor benih lobster, sedangkan aturan perusahaan wajib budidaya berkelanjutan dan melepasliarkan benih diabaikan. Hal ini menunjukkan roh Permen No KP 12/2020 ada di ekspor benih, bukan pada budidaya lobster,” kritik Amin.
Ketua Kelompok Pembudidaya Lobster Maju Jaya di Dusun Telong Elong, Desa Jerowaru, Lombok Timur, Mashur mengungkapkan, kelompoknya merasa teperdaya perusahaan eksportir. Setelah pemerintah menerjunkan tim untuk memverifikasi kelompok itu sebagai mitra perusahaan, tidak ada lagi komunikasi dari perusahaan. Kondisi serupa dialami sejumlah kelompok pembudidaya yang bermitra dengan perusahaan.
Ia menambahkan, setidaknya 9 kelompok pembudidaya bermitra dengan 9 perusahaan eksportir di Desa Jerowaru, Parimas, dan Ketapang Raya. Janji perusahaan untuk mengembangkan dan memasarkan lobster konsumsi hasil budidaya tidak berlanjut, sedangkan ekspor benih terus bergulir.
Masa budidaya lobster memerlukan setidaknya 8-12 bulan. Apabila mengacu pada Permen KP No 12/2020, ekspor benih oleh perusahaan seharusnya baru bisa dilaksanakan pada 2021. Sementara, sekitar 10 ton lobster siap panen milik kelompok tidak bisa dipasarkan karena harganya anjlok.
”Hampir tidak ada perusahaan yang menyentuh budidaya, semuanya fokus ke ekspor benih lobster. Semua pembudidaya disini dimanfaatkan (perusahaan),” katanya.
Hal senada dikemukakan Abdullah, pembudidaya Dusun Telong Elong. Sudah banyak perusahaan yang mengantongi sertifikasi kemitraan dengan pembudidaya. ”Setelah dapat izin ekspor benih lobster, mereka (perusahaan) hilang tanpa kabar,” katanya.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, pekan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengemukakan, pemerintah menyiapkan bantuan KJA budidaya lobster senilai Rp 30,21 miliar pada tahun ini, dengan percontohan di Lombok Timur dan Sumbawa, NTB. Bantuan direncanakan berupa 159 KJA.
”Target penebaran direncanakan September 2020 sehingga pada Mei 2021 budidaya sudah dapat dipanen,” katanya. (LKT)