Fenomena takut ketinggalan alias FOMO atau ”fear of missing out” tanpa terasa mengorbankan kebutuhan dan menggerus keuangan. Lalu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keuangan kita?
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
Sartika Dewi (18) belakangan ini kerap mengikuti tantangan kreasi merias wajah yang dibuat para beauty vlogger di media sosial. Tantangan itu seperti Lathi Challenge, Barbie Challenge, dan terbaru video merias wajah ala personel grup idol Korea, Blackpink.
Selain senang berkarya di media sosial untuk mengisi waktu luang, Tika, demikian biasa dipanggil, sadar kalau dirinya diserang rasa takut ketinggalan, yang biasa dikenal FOMO atau fear of missing out.
Selama mengikuti tantangan tersebut tiga bulan terakhir, Tika sudah menghabiskan uang hampir Rp 2 juta untuk membeli alat lukis wajah, aksesori, hingga beberapa pakaian baru untuk menunjang kontennya. Uang itu hampir sepertiga total uang untuk biaya hidup di Jakarta, dari orangtuanya.
”Tadinya pengeluaran itu enggak mengganggu uang pemberian dari orangtua karena ada pengeluaran makan dan transportasi yang berkurang sejak kuliah dari rumah. Tetapi demi mengejar konten itu, pengeluaranku malah membengkak," katanya di Jakarta saat dihubungi Kompas, Minggu (12/7/2020).
Dalam menghadapi dilema antara FOMO dan pengeluaran, penasihat keuangan Jouska, Farah Dini Novita, mengingatkan, pentingnya perencanaan pengeluaran. Perencanaan pengeluaran bisa dilakukan jika setiap pribadi memahami kebutuhan dan keinginan.
”Ada dua fenomena untuk anak muda, FOMO dan YOLO atau you’re only liveonce (kamu hanya hidup sekali),” ujarnya dalam siaran langsung Instagram bersama lembaga anak SOS Children’s Villages Indonesia, Sabtu (11/7/2020).
Fenomena itu, menurut dia, harus disikapi dengan cerdas, seperti mengonsumsi secara sadar. Konsumsi secara sadar dimulai dengan memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan. Kebutuhan adalah segala sesuatu yang harus dipenuhi. Sementara, keinginan adalah pilihan yang tidak mendesak untuk dipenuhi.
”Ngomongin beda kebutuhan sama keinginan, bukan berarti enggak boleh ada pengeluaran. Namun, kita harus tahu pengeluaran sama kegiatan menabung harus jalan bersama. Apa mau kita sekarang FOMO, tetapi enggak punya tabungan. Teman-teman kita nanti pensiun jalan-jalan ke mana, kita enggak,” katanya.
Agar disiplin menabung, Farah menyarankan agar memanfaatkan fasilitas autodebet di rekening tabungan. Jika tabungan sudah mencukupi sebagai dana darurat, minimal senilai tiga bulan pendapatan, investasi bisa mulai dicoba.
”Kita harus punya fondasi keuangan yang kokoh sebelum bikin atapnya, yaitu investasi. Ibarat bangunan, fondasinya adalah dana darurat. Jadi, kalau ada keperluan mendadak, uang di tabungan bisa diambil. Kalau investasi, saham misalnya, ketika kita butuh ambil uangnya kita bisa rugi,” ujarnya.