Pembuatan dan pendaftaran merek kolektif bisa menjadi solusi bagi UMKM untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Brand atau merek menjadi unsur penting dalam pemasaran produk usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Sayangnya, jika diurus sendiri-sendiri, pendaftaran merek dirasa memberatkan. Pembuatan merek kolektif bisa menjadi solusi, sekaligus membantu meningkatkan produktivitas usaha.
Hal ini menguak dalam webinar dengan topik ”Membangun Merek Kolektif”, Jumat (10/7/2020). Acara itu antara lain diisi Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Rulli Nuryanto dan penggagas Merek Kolektif untuk Koperasi, Dewi Artiany.
”Merek bukan sekadar nama atau tulisan dalam bungkus produk atau logo, tetapi punya arti lebih dari itu. Merek bisa mewakili semua wujud atau atribut dari suatu produk, kaitannya erat dengan promosi dan sarana mengenalkan produk ke konsumen, sekaligus hak intelektual,” ujarnya.
Ia juga menilai, keberadaan merek penting untuk meningkatkan daya saing. Apalagi, perkembangan teknologi terus menuntut pelaku usaha untuk beradaptasi, dengan kebutuhan masyarakat, dalam berbagai bentuk inovasi.
Sementara itu, ia menyebut pelaku UMKM kerap tidak mendaftarkan merek mereka karena terbebani pengurusan izin dan biaya. Untuk mengatasi kendala tersebut, pembuatan merek secara bersama-sama atau kolektif bisa dijadikan solusi.
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada suatu produk atau jasa yang akan diperdagangkan secara bersama-sama oleh beberapa orang atau pihak berbadan hukum, baik asosiasi maupun koperasi. Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
”Merek kolektif bisa menekan biaya yang berkaitan dengan biaya untuk mendapatkan merek karena bisa ditanggung bersama-sama. Dampak lanjutannya, ketika sudah punya merek, pelaku usaha bisa lebih semangat untuk meningkatkan produktivitas,” ujar Rulli.
Pendaftaran merek kolektif, menurut penggagas Merek Kolektif untuk Koperasi, Dewi Artiany, juga punya banyak kegunaan. Merek kolektif dapat memfasilitasi peningkatan harga karena diferensiasi layanan atau produk. Selain itu, bisa juga menjadi upaya kolaborasi dalam menghadapi liberalisasi perdagangan.
”Merek kolektif ini harus diawasi oleh dewan pakar. Mereka bertugas sebagai pengontrol kualitas produk yang diproduksi banyak produsen, mulai dari asupan gizi untuk produk makanan sampai kualitas packaging-nya,” katanya.
Koperasi
Pembuatan merek kolektif, menurut Dewi, bisa dilakukan pelaku UMKM yang bergabung dalam koperasi. Sayang, di Indonesia, 90 persen koperasi bergerak di usaha simpan pinjam. Adapun kontribusinya pada pendapatan domestik bruto (PDB) baru sekitar 5 persen.
”Berdasarkan penelitian saya, masyarakat di Indonesia, terutama milenial, kurang bergairah dengan koperasi karena dianggap hanya lembaga charity. Lalu, produk yang dihasilkan kurang menarik. Masyarakat juga hanya menggunakan koperasi sebagai upaya terakhir bila tidak memiliki uang,” tuturnya.
Untuk memperbaiki citra dan kontribusi koperasi pada kemajuan ekonomi nasional, ia berpendapat, koperasi harus jalan selayaknya korporasi. Kemudian, bisa menjadi ladang untuk menghasilkan produk berkualitas.
Pemanfaatan koperasi tersebut telah banyak dilakukan negara-negara lain, termasuk negara yang ekonominya maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Negara-negara tersebut memiliki banyak produk unggulan dengan merek kolektif yang diciptakan koperasi. Kesuksesan itu juga berkolerasi dengan keanggotaan masyarakat dalam koperasi.
”Di Amerika Serikat, sebagai perbandingan, di antara tiga warga ada satu anggota koperasi. Di Jepang, di antara empat orang ada satu anggota koperasi. Denmark, sebagai negara bebas, justru 90 persen sektor usaha, seperti peternakan dan pertanian, dikuasai koperasi,” katanya.
Keunggulan produk koperasi juga membuat koperasi berkontribusi besar pada PDB di banyak negara. Di Belanda, kontribusi koperasi terhadap PDB negara ”Kincir Angin” tersebut mencapai 18 persen, demikian juga di Perancis (18 persen), Selandia Baru (20 persen), Singapura (10 persen), dan Thailand (7 persen).