Sebuah survei global menunjukkan, tiga dari empat karyawan menyukai gabungan model kerja di kantor dan jarak jauh. Mayoritas karyawan menginginkan pekerjaan mereka dilihat dari produktivitas, bukan waktu kerja.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Pembatasan sosial dan fisik sebagai bagian dari normal baru di tempat usaha masih diterapkan banyak perusahaan. Sistem ini tidak jarang mengharuskan pekerja untuk bergantian bekerja di rumah dan kantor. Pola kerja seperti itu diharapkan dapat diterapkan lebih lama, bahkan setelah pandemi usai.
Sean Fleming, penulis senior di World Economic Forum, Senin (8/7/2020), menulis, perubahan pola kerja tersebut diamini banyak pekerja dan pemberi kerja. Kesimpulan itu didapat dari hasil survei perusahaan sumber daya manusia global, Adecco, yang diadakan Mei 2020 pada 8.000 responden, yang terdiri dari karyawan, manajer, dan eksekutif tertinggi (usia 18-60 tahun).
Survei melingkupi perusahaan di delapan negara, yakni Australia, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.
Dalam survei itu, tiga dari empat karyawan menyukai gabungan model kerja di kantor dan jarak jauh dengan proporsi waktu 51 persen di kantor dan 49 persen jarak jauh, atau mendekati seimbang. Preferensi itu sejalan dengan 69 persen karyawan yang menginginkan pekerjaan mereka dilihat dari produktivitas, bukan waktu kerja.
Sejalan dengan karyawan, sebanyak 80 persen pemimpin perusahaan menilai model kerja yang fleksibel tersebut akan menguntungkan operasional bisnis. Sebanyak 74 persen dari mereka juga mendukung kemungkinan untuk meninjau ulang waktu kerja, terutama bagi karyawan yang sudah berumur.
Tambah keterampilan
Pandemi sendiri dilaporkan memberi cara bekerja baru bagi banyak orang, misalnya menavigasi platform konferensi video dan aplikasi manajemen alur kerja. Sekitar 60 persen pekerja merasa keterampilan digital mereka telah meningkat akibat tuntutan bekerja dari rumah.
Perubahan seperti itu juga menggugah keinginan 69 persen karyawan untuk mendapat pelatihan di bidang digital. Sebanyak 65 persen karyawan juga ingin memiliki keahlian mengelola tim dari jarak jauh. Pengembangan keahlian halus (soft skill) juga diharapkan 63 persen karyawan.
Sean mengatakan, para pemimpin perlu memastikan bahwa tim mereka mahir menggunakan alat digital yang dibutuhkan karena revolusi industri keempat akan terus mengubah cara kerja.
”Para manajer dan eksekutif perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang berubah. Apalagi, alasan paling umum orang mencari pekerjaan baru adalah untuk menemukan peluang belajar dan pengembangan diri,” pesannya.
Sejumlah karyawan di perusahaan di Indonesia kini juga sudah mulai merasakan manfaat dari fleksibilitas kerja selama pandemi. Perusahaan tempat kerja mereka bahkan sudah mulai mengubah cara mengatur sumber daya manusia (SDM) hingga proses bisnis mereka.
Reynaldi (25), karyawan perusahaan periklanan, menilai, penerapan pola kerja yang tidak selalu di kantor selama seminggu sejak adanya pembatasan sosial membuatnya lebih produktif. Pengaturan itu dinilainya lebih baik daripada di rumah saja atau di kantor saja sepanjang minggu.
”Kerja di rumah beri waktu sunyi untuk mengerjakan pekerjaan. Tapi, kalau lagi rindu teman kerja atau ingin komunikasi lebih enak dengan atasan masih bisa ke kantor,” tuturnya saat dihubungi Kompas.
Fleksibilitas kerja juga dirasakan Budi Rahman, karyawan perusahaan jasa hukum di Jakarta Selatan. Fleksibilitas itu diwujudkan dengan penerapan sistem Smart Time yang memungkinkan karyawan untuk fleksibel bekerja dan istirahat selama sembilan jam di kantor.
”Jadi, masuk jam berapa saja enggak masalah, yang penting total waktu kerja sembilan jam dan keluar kantor tidak boleh lebih dari pukul 21.00,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Sistem itu dinilainya lebih baik daripada sistem kerja sebelumnya yang mengharuskan karyawan masuk pukul 08.00. Tidak hanya itu, sistem itu juga mendukung arahan pemerintah daerah mengenai waktu berangkat kerja agar potensi penyebaran virus korona jenis baru pada kepadatan pengguna jalan dan transportasi dapat dikurangi.
Herlina, karyawan pemasaran di perusahaan pembiayaan, juga lebih senang dengan pola kerja baru di masa transisi yang membagi waktu kerja di kantor dan rumah. Pekerjaannya pun didukung dengan pemanfaatan digital, seperti tanda tangan elektronik (e-sign) yang kini disediakan perusahaan tempatnya bekerja.
”Sudah nyaman dengan work-life balance di masa transisi ini. Kerja pun bisa pakai e-sign, jadi enggak perlu bergantung pada printer dan kertas dari kantor,” katanya.
Meski tidak tahu sampai kapan pola kerja seperti itu akan dijalankan, ia menilai, investasi digital yang dikeluarkan perusahaannya memungkinkan transformasi pola kerja yang fleksibel untuk jangka panjang.