Destinasi Dibuka Bertahap, Pelaku Usaha Belum Disiplin
Ini bukan kondisi normal lagi, ini kondisi tidak normal. Kalau tidak disiplin dan tidak ada ”trust”, usaha pariwisata tetap akan hancur dan semakin susah untuk memulihkannya kembali.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah nekat pemerintah membuka destinasi wisata saat angka kasus Covid-19 masih tinggi seharusnya diiringi implementasi protokol kesehatan yang ketat. Kendati demikian, pelaku usaha dan pemerintah daerah cenderung tidak disiplin menegakkan protokol kesehatan secara konsisten. Hal ini bisa semakin memukul sektor pariwisata sebagai ”bisnis kepercayaan”.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Kurleni Ukar, Rabu (8/7/2020), menekankan pentingnya konsistensi dan disiplin untuk membuka aktivitas wisata. Dibandingkan negara lain yang mulai mengaktifkan lagi kegiatan pariwisata, Indonesia lebih riskan karena berkukuh membuka perekonomian saat kasus Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda menurun.
Indonesia berbeda dari negara lain yang membuka aktivitas ekonominya setelah ada penurunan kasus Covid-19. Olah karena itu, ujar Kurleni, implementasi protokol kesehatannya pun seharusnya lebih ketat.
”Ini bukan kondisi normal lagi, ini kondisi tidak normal. Kalau tidak disiplin dan tidak ada trust, usaha pariwisata tetap akan hancur dan semakin susah untuk memulihkannya kembali,” kata Kurleni dalam acara Sosialisasi Kebijakan dan Simulasi Protokol Kesehatan bagi Industri Parekraf di Masa Covid-19 secara virtual di Jakarta.
Ini bukan kondisi normal lagi, ini kondisi tidak normal. Kalau tidak disiplin dan tidak ada trust, usaha pariwisata tetap akan hancur dan semakin susah untuk memulihkannya kembali.
Beberapa destinasi wisata berisiko rendah terhadap penularan Covid-19 sudah mulai dibuka. Beberapa di antaranya adalah candi-candi di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, seperti Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Tempat wisata yang dibuka rata-rata terdapat di titik zona hijau dan kuning.
Menurut Kurleni, saat ini pelaku usaha sudah memahami protokol kesehatan untuk beroperasi di era normal baru. Namun, implementasinya kerap tidak sejalan, bahkan untuk hal paling sederhana, seperti mengenakan masker serta cara mengukur suhu dengan baik dan benar.
Sejak Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 382 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 diterapkan, Juni 2020 lalu, sejumlah pelaku usaha hanya menerapkan protokol kesehatan yang ketat selama satu-dua minggu pertama.
Seminggu kemudian, protokol kesehatan sudah tidak diterapkan karena pengelola dan pegawai cenderung menganggap biasa situasi Covid-19. ”Jika tidak bisa mengendalikan, lebih baik tutup,” kata Kurleni.
Ia menegaskan, tahapan membuka lagi pariwisata tidak akan mudah dan cepat. Sebelum menuju tatanan baru, protokol kesehatan sudah harus siap dengan petunjuk teknis untuk tiap sektor, baik untuk pengelola, pegawai, maupun masyarakat yang menjadi tamu.
Dalam acara tersebut, Kemenparekraf juga meluncurkan panduan protokol kesehatan untuk diterapkan para pelaku usaha di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif serta turunannya. ”Ini juga harus terus disimulasi dan diuji sebelum dibuka secara bertahap serta harus ada evaluasi terus-menerus,” ujar Kurleni.
Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Dewi Nuraisyah menyatakan, pembukaan destinasi wisata secara bertahap akan dievaluasi. Jika tingkat risiko suatu kawasan berubah menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, kawasan itu tidak serta-merta langsung ditutup, tetapi dievaluasi selama dua pekan terlebih dahulu.
Salah satu wilayah yang sudah mulai membuka obyek wisatanya adalah Banyuwangi, Jawa Timur. Bupati Banyuwangi Azwar Anas mengatakan, sejauh ini, sudah ada 596 unit usaha pedagang kaki lima dan restoran, 11 destinasi wisata, serta 11 hotel di Banyuwangi yang berhasil lolos uji sertifikasi protokol kesehatan Covid-19. Sertifikasi itu berfungsi sebagai izin untuk kembali beroperasi di era normal baru.
Sertifikasi diberikan kepada pelaku usaha di sektor pariwisata dan turunannya yang mengajukan permintaan sertifikasi dan telah menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Meski demikian, pemberian sertifikasi tetap dievaluasi secara berkala sehingga masa validitasnya fleksibel. Jika suatu kawasan wisata lengah menjalankan protokol kesehatan, izin sertifikasi dicabut dan usahanya bisa ditutup kembali.
Ini tidak mudah, perlu ada ketegasan dari pemerintah daerah. Sebab, kalau tidak disiplin, jangan-jangan wisatawan pun hanya datang seminggu, setelah itu tidak akan datang-datang lagi.
Azwar Anas mencontohkan, kawasan kuliner di kawasan alun-alun yang hanya mampu menjalankan protokol kesehatan selama 1-2 hari. Saat akhir pekan ketika pengunjung mulai ramai, penegakan protokolnya kembali lengah sehingga sertifikasi beroperasinya kembali dicabut dan usahanya ditutup lagi.
”Ini tidak mudah, perlu ada ketegasan dari pemerintah daerah. Sebab, kalau tidak disiplin, jangan-jangan wisatawan pun hanya datang seminggu, setelah itu tidak akan datang-datang lagi,” ujarnya.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani mengatakan, para pelaku usaha akan menjalankan kewajibannya menegakkan protokol kesehatan. Namun, di sisi lain, ikhtiar memulihkan pariwisata tetap membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk memicu naiknya permintaan.
”Kalau pemerintah sendiri tidak memulai beraktivitas, misalnya menyelenggarakan meeting di hotel-hotel atau melakukan perjalanan dinas, masyarakat pun tidak akan berani bepergian,” katanya.