Apindo: Proses Administrasi Restrukturisasi Kredit Ribet
Terdapat pengajuan restrukturisasi kredit dari pelaku usaha dan industri yang sejak April hingga Juli ini belum selesai. Salah satu persoalannya pada aspek ”stress test” atau pengukuran kemampuan modal dan likuiditas.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha dan industri yang menjadi debitor perbankan mengeluhkan proses administrasi dan persyaratan restrukturisasi kredit yang ribet, kompleks, dan memakan waktu lama. Selain itu, pelaku usaha dan industri di daerah juga ada yang belum mendapat restrukturisasi kredit karena sejumlah bank di beberapa daerah belum dapat memenuhinya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, Kamis (9/7/2020), mengatakan, terdapat pengajuan restrukturisasi kredit dari pelaku usaha dan industri yang sejak April lalu hingga Juli ini belum selesai. Salah satu problematikanya pada aspek stress test atau pengukuran kemampuan permodalan dan likuiditas.
Selain itu, ada biaya-biaya tambahan dalam administrasi dan pemrosesan restrukturisasi kredit, seperti arranger fee. Padahal, ada pelaku usaha dan industri yang terdampak pandemi Covid-19 sehingga aliran uang kasnya tak mampu membayar biaya-biaya tambahan tersebut.
Ketika memproses restrukturisasi kredit, kata Shinta, pelaku usaha dan industri memahami mekanisme perbankan yang ingin mengantisipasi potensi penyimpangan moral (moral hazard).
”Meskipun begitu, perbankan tetap membutuhkan mekanisme yang sederhana, ringkas, dan tepat sasaran, terutama untuk menganalisis debitor pelaku usaha dan industri yang benar-benar terdampak pandemi Covid-19,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Terdapat pengajuan restrukturisasi kredit dari pelaku usaha dan industri yang sejak April lalu hingga Juli ini belum selesai.
Dalam proses negosiasi restrukturisasi kredit, lanjut Shinta, sejumlah bank menawarkan penundaan pembayaran cicilan dan bunga. Namun, pada saat periode pelunasan ke depan, angka bunganya lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak pada kemampuan keuangan usaha dan industri secara jangka panjang.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mematangkan aturan restrukturisasi kredit bagi korporasi yang terdampak pandemi Covid-19. Sebelumnya, OJK telah memiliki Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Kontra Siklus Dampak Penyebaran Covid-19.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo mengatakan, salah satu poin yang tengah dimatangkan bersama pemerintah adalah kriteria pemberian stimulus kepada korporasi. Kriteria ini perlu dirundingkan dengan saksama bersama para pelaku usaha di sektor riil agar bisa efektif dan menghindari penyimpangan moral (Kompas, 9/7/2020).
OJK mencatat, realisasi restrukturisasi kredit oleh perbankan per 29 Juni 2020 mencapai Rp 740,79 triliun. Stimulus itu diterima 6,56 juta debitor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan non-UMKM.
Realisasi restrukturisasi kredit bagi 5,29 juta debitor UMKM sebesar Rp 317,29 triliun. Nilai realisasi restrukturisasi kredit UMKM tersebut lebih kecil daripada nilai realisasi bagi 1,27 juta debitor non-UMKM yang sebesar Rp 423,5 triliun.
Menurut Shinta, proses pematangan itu mesti bermuara pada aturan teknis yang jelas dan rinci bagi perbankan ataupun pelaku usaha dan industri sebagai debitor. Sosialisasi harus dilakukan secara menyeluruh hingga ke daerah-daerah.
”Masih ada sejumlah bank di beberapa daerah belum bisa memfasilitasi restrukturisasi kredit dengan alasan belum mendapatkan arahan dari pusat,” ujarnya.
Kini, lanjut Shinta, Apindo sedang menghimpun data problematika restrukturisasi kredit, meliputi nama perusahaan dan bank terkait. Harapannya, OJK dapat menengahi dan memfasilitasi penyelesaian terhadap problematika yang dihadapi pelaku usaha dan industri secara spesifik.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan, fasilitas restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha dan industri skala besar mesti ditangani dan disesuaikan kasus demi kasus.
”Selain itu, pelaku usaha dan industri juga menyoroti pertanyaan mengenai omzet setelah pandemi Covid-19 berakhir yang diajukan perbankan. Hal ini sulit dijawab karena faktor ketidakpastiannya tinggi,” katanya.
Fasilitas restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha dan industri skala besar mesti ditangani dan disesuaikan kasus demi kasus.
Kredit modal kerja
Selain restrukturisasi kredit, menurut Shinta, pelaku usaha dan industri membutuhkan fasilitas pinjaman modal kerja. Karena bersifat mendesak, Apindo berharap perbankan menerapkan proses administrasi yang sederhana dalam pemrosesan kredit modal kerja itu.
”Kredit modal kerja itu mesti diberikan dengan bunga yang tergolong murah. Fasilitas modal kerja ini krusial bagi pelaku usaha dan industri sebagai pengungkit untuk beroperasi kembali sehingga aktivitas ekonomi dapat bergeliat lagi,” ujarnya.
Sementara Handito berpendapat senada. Menurut dia, sejumlah eksportir kesulitan memperoleh kredit modal kerja untuk merealisasikan ekspor. Penggelontoran dana (pinjaman modal) dari lembaga keuangan bagi pelaku usaha dan industri yang masih berjalan tetap harus mendapatkan perhatian, khususnya OJK.
”Mekanismenya perlu dibuat sederhana, misalkan memanfaatkan resi gudang,” katanya.