Upaya-upaya luar biasa perlu dilakukan ketika kinerja ekspor tengah terpuruk. Pada 2020, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas bisa tumbuh 5,2 persen dari tahun sebelumnya.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
Sopo sing telaten, bakal panen. Siapa yang sabar dan teliti, akan menuai hasilnya. Begitu salah satu falsafah hidup orang Jawa dalam menjalani kehidupan dan berusaha. Mungkin falsafah ini tepat untuk menggambarkan pentingnya kerja keras dan upaya-upaya luar biasa untuk menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Di bidang perdagangan internasional misalnya. Upaya-upaya luar biasa perlu dilakukan ketika kinerja ekspor tengah terpuruk. Pada 2020, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas bisa tumbuh 5,2 persen dari tahun sebelumnya. Namun, akibat pandemi yang memukul rantai perdagangan global, ekspor nonmigas pada tahun ini diperkirakan bisa jeblok menjadi minus 13,5 persen.
Tak hanya pandemi, tantangan perdagangan global juga datang dari pembatasan (restriksi) akibat ketegangan ekonomi global. Akhir Juni 2020, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memublikasikan laporan kebijakan perdagangan negara-negara anggota G-20 periode Oktober 2019-Mei 2020.
Laporan itu menyebutkan nilai perdagangan yang terdampak restriksi yang tak terkait langsung dengan pandemi Covid-19 mencapai 418 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen perdagangan negara-negara G-20. Pembatasan itu, antara lain, berupa peningkatan tarif, pelarangan impor, pengetatan prosedur barang, dan kenaikan bea ekspor.
Di tengah ketidakpastian perdagangan global itu, Indonesia terus berupaya menumbuhkan atau setidaknya menahan laju ekspor nonmigas agar tidak jatuh semakin dalam. Ekspor berbagai komoditas seperti makanan dan minuman, tekstil, rempah-rempah, perikanan, pertanian dan perkebunan, serta alas kaki terus dijaga.
Indonesia juga berpeluang memanfaatkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang berlaku mulai 5 Juli 2020. Namun, dalam implementasinya, Indonesia tetap perlu jeli. Sebab, Australia pun akan berpikiran sama dengan Indonesia, yaitu mendorong ekspor di saat kinerja ekspor turun. Selama ini, neraca perdagangan Indonesia terhadap Australia juga defisit.
Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai perdagangan barang Indonesia-Australia pada 2019 sebesar 7,8 miliar dollar AS. Nilai ekspor Indonesia ke Australia pada 2019 sebesar 2,3 miliar dollar AS dan impornya 5,5 miliar dollar AS sehingga Indonesia mengalami defisit perdagangan 3,2 miliar dollar AS. Pada periode Januari-April 2020, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan terhadap Australia senilai 1,1 miliar dollar AS.
Strategi lain yang digulirkan Indonesia adalah menggerakkan intelijen pasar seperti atase perdagangan dan perwakilan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC) yang tersebar di sejumlah negara. Mereka perlu bekerja keras membuka pasar dan menggandeng diaspora Indonesia di negara-negara tempat mereka bertugas.
Setelah pandemi, peluang hand-carry export itu turun. Namun, beberapa produk itu kini dikirim secara langsung kepada diaspora pebisnis lokal yang memiliki gudang di negara tujuan ekspor. Merekalah yang menjadi pemasok kebutuhan para diaspora Indonesia. Praktik ini sudah diterapkan di Belanda dan Australia.
Selain membuka peluang pasar, kunci lain untuk menahan laju tergerusnya kinerja ekspor adalah industri. Industri nasional yang tengah terpuruk akibat pandemi tengah mencoba menggeliatkan kembali bisnis. Optimisme kalangan pelaku industri global juga pelan-pelan meningkat meskipun masih belum terlalu menunjukkan optimisme.
Selain membuka peluang pasar, kunci lain untuk menahan laju tergerusnya kinerja ekspor adalah industri. Industri nasional yang tengah terpuruk akibat pandemi tengah mencoba menggeliatkan kembali bisnis.
Pada Juni 2020, Indeks Manajer Pembelian (PMI) sedikit menggeliat. Laporan IHS Markit pada 1 Juli 2020 menyebutkan, PMI global meningkat dari 39,1 pada Mei 2020 menjadi 47 pada Juni 2020. Adapun PMI Indonesia naik dari 28,6 pada Mei 2020 menjadi 39,1 pada Juni 2020. Kendati mulai meningkat, indeks yang mencerminkan optimisme pasar terhadap perekonomian ini memang masih di bawah ambang batas, yaitu 50.
Indikator PMI dan kinerja ekspor yang terkait erat dengan mulai menggeliatnya industri masih belum seberapa hasilnya dibandingkan dengan masa sebelum Covid-19. Butuh ketelatenan dan kerja yang luar biasa untuk menjaga bahkan sedikit menumbuhkannya. Jika kerjanya hanya biasa-biasa, mungkin pengampu sektor tersebut bisa kena marah Presiden Joko Widodo.
Jangan sampai terjadi episode kedua kemarahan Jokowi atau bahkan memunculkan episode pertama kemarahan rakyat. Sopo sing telaten, bakal panen.