Gas bumi akan berperan penting bagi masa depan energi di Indonesia. Ketersediaan infrastruktur yang andal dan memadai menjadi syarat penting untuk menjaga ketahanan dan keandalan pasokan energi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia perlu diprioritaskan seiring terus meningkatnya konsumsi gas domestik. Infrastruktur yang termasuk prioritas adalah jaringan gas rumah tangga dan terminal regasifikasi gas alam cair atau LNG. Pada masa mendatang, Indonesia diperkirakan jadi negara pengimpor gas.
Menurut Direktur PT Amaranz Energy International Pudjo Suwarno, sumber daya gas bumi di Indonesia jauh lebih besar ketimbang minyak mentah. Oleh karena itu, pemanfaatan gas harus lebih dioptimalkan. Pemanfaatan gas secara optimal membutuhkan dukungan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
”Konsumsi gas di Indonesia dari tahun ke tahun naik. Pada 2018, konsumsi gas tercatat 4,5 miliar kaki kubik per hari dan akan menjadi 10 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2025. Selain itu, Indonesia juga diperkirakan akan menjadi negara pengimpor gas dalam bentuk LNG. Jadi, infrastruktur pendukungnya harus disiapkan untuk mendukung rencana tersebut,” ucap Pudjo dalam web seminar bertajuk ”Tantangan Infrastruktur Migas di Indonesia”, Selasa (7/7/2020).
Pendistribusian gas yang paling memungkinkan untuk kondisi di Indonesia adalah dalam bentuk LNG.
Pudjo menambahkan, letak sumber daya gas di Indonesia berada jauh dari sumber permintaan gas itu sendiri. Sumber daya gas yang besar ada di wilayah Papua, laut lepas Maluku, dan di perairan Natuna, Riau. Adapun konsumsi gas terbesar di Indonesia ada di Pulau Jawa.
Pendistribusian gas yang paling memungkinkan untuk kondisi di Indonesia adalah dalam bentuk LNG. Oleh karena itu, infrastruktur, seperti terminal regasifikasi, sangat diperlukan di Indonesia.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Alimuddin Baso menambahkan, pemerintah mendorong skema kerja sama dengan badan usaha untuk membangun infrastruktur gas di Indonesia. Saat ini, menurut dia, yang menjadi program strategis migas nasional salah satunya adalah pembangunan jaringan gas rumah tangga.
”Program infrastruktur gas ditujukan untuk mengurangi impor elpiji lewat optimalisasi pemanfaatan gas di dalam negeri. Sebab, hampir 75 persen dari total konsumsi elpiji di Indonesia diperoleh dari impor,” kata Alimuddin.
Pemerintah menargetkan terpasang 4 juta sambungan gas rumah tangga di Indonesia pada 2024 nanti. Lokasi yang diprioritaskan adalah DKI Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Perkiraan investasi yang dibutuhkan dalam proyek ini Rp 38,4 triliun.
Pemanfaatan gas rumah tangga dapat mengurangi subsidi elpiji hingga Rp 297,5 miliar per tahun dan penghematan devisa sebesar Rp 2,64 triliun per tahun.
Pemanfaatan gas rumah tangga dapat mengurangi subsidi elpiji hingga Rp 297,5 miliar per tahun dan penghematan devisa sebesar Rp 2,64 triliun per tahun.
Sementara itu, Vice President Reliability & Project Development PT Pertamina (Persero) Eduward Adolof menambahkan, sistem pendistribusian migas di Indonesia adalah yang paling rumit di dunia. Hal itu disebabkan kondisi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan konsentrasi penduduk yang tak merata. Ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat menekan biaya distribusi sehingga ongkos energi lebih murah dan keandalan pasokan lebih terjaga.
”Sampai 2026 nanti, Pertamina terus memperkuat infrastruktur untuk avtur, BBM, dan elpiji. Pada 2026 nanti, kami targetkan kapasitas tangki timbun BBM mencapai 7,2 juta kiloliter atau naik signifikan dari tahun ini yang berkapasitas 6,1 juta kiloliter,” ujar Eduward.
Tak hanya tangki timbun BBM, lanjut Eduward, Pertamina juga memperkuat tangki penyimpanan elpiji dari 344.000 ton pada 2020 menjadi 788.000 ton tahun 2026. Kapasitas tangki penyimpanan avtur juga ditingkatkan dari 313.000 kiloliter tahun 2020 menjadi 599.000 kiloliter pada 2026.
”Tangki timbun elpij diperlukan untuk mendukung program perluasan konversi minyak tanah ke gas, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Selain itu, penyimpanan elpiji di kapal (floating storage) membutuhkan biaya mahal sehingga harus dibangun tangki timbun di darat,” kata Eduward.