Ekspor Nonmigas Bisa Minus 13,5 Persen, Target Direvisi
Target pertumbuhan ekspor nonmigas yang semula ditetapkan sebesar 5,2 persen pun direvisi terkontraksi menjadi sebesar minus 13,5 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun aktivitas manufaktur mulai menggeliat, kegiatan produksi tetap akan memakan waktu lama untuk pulih. Ekspor nonmigas pada tahun ini bisa minus 13,5 persen.
Laporan IHS Markit menyebutkan, indeks manajer pembelian atau PMI manufaktur Indonesia mulai naik dari 28,6 pada Mei 2020 menjadi 39,1 pada Juni 2020. Namun, indeks yang mencerminkan optimisme pasar itu masih berada di ambang batas, yaitu 50.
Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia mulai melemah pada Maret 2020 atau setelah kasus Covid-19 pertama terkonfirmasi, yaitu sebesar 45,3. PMI terburuk tercatat pada April 2020 dengan rekor PMI terendah selama sembilan tahun, yaitu 27,5.
Meski mulai ada kenaikan indeks, IHS Markit melaporkan, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial pada aktivitas manufaktur Indonesia. Pelonggaran pembatasan sosial dinilai tidak mampu membendung penurunan produksi lebih lanjut. Volume produksi tetap rendah seiring dengan tren permintaan yang masih lemah.
Dibandingkan negara-negara tetangga dan mitra dagang utama, pemulihan Indonesia juga terhitung lambat. Pada Juni 2020, PMI global tumbuh menjadi 47 dari sebelumnya 39,1 pada Mei 2020. Beberapa negara mitra dagang Indonesia, seperti China, sudah melampaui batas aman dengan indeks 51,2, demikian juga Malaysia (51), Australia (51,5), dan Vietnam (51,1).
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, Senin (6/7/2020), mengatakan, pemulihan aktivitas produksi dan perdagangan Indonesia cenderung lebih lambat dan tertinggal dari negara lain. Ini karena Indonesia tidak terlalu banyak terhubung dengan rantai pasok global.
”Keuntungannya, saat krisis, tingkat kedalaman krisis Indonesia lebih moderat dibanding negara lain yang sangat saling terhubung. Tapi, tingkat kecepatan pemulihan Indonesia pun memang akan berbeda,” katanya.
Pemulihan aktivitas produksi dan perdagangan Indonesia cenderung lebih lambat dan tertinggal dari negara lain. Ini karena Indonesia tidak terlalu banyak terhubung dengan rantai pasok global.
Target ekspor direvisi
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw menuturkan, pemulihan dalam beberapa bulan mendatang akan menantang bagi Indonesia. Keluaran produksi dan penjualan masih turun pada tingkat substansial meski tidak sedrastis April dan Mei 2020.
”Pabrik-pabrik masih terus mengurangi pekerja pada Juni. Aktivitas pembelian juga terus berkurang, sedangkan perusahaan manufaktur harus menghadapi kenaikan biaya produksi karena harga bahan baku yang naik, kurangnya pasokan, dan melemahnya rupiah,” ujarnya.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga meyakini, PMI Juni 2020 yang mulai naik menunjukkan geliat perekonomian nasional mulai positif. ”Perdagangan bukan hanya angka dan prediksi. Pemerintah akan terus fokus agar produk barang/jasa nasional bisa bersaing. Pandemi Covid-19 ini harus disikapi sebagai saatnya Indonesia mencoba masuk ke pasar potensial lainnya,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Jerry, melihat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas manufaktur yang lambat, pemerintah tetap akan merevisi target kinerja perdagangan tahun 2020.
Baca juga: Sektor Perdagangan Melempem
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemendag 2020-2024 memproyeksikan, sehubungan dengan pandemi Covid-19, neraca perdagangan pada 2020 akan defisit sebesar 1,5 miliar dollar AS. Sebelumnya, neraca perdagangan 2020 ditargetkan surplus 300 juta dollar AS. Target pertumbuhan ekspor nonmigas yang semula ditetapkan sebesar 5,2 persen pun direvisi terkontraksi menjadi sebesar minus 13,5 persen.
Target pertumbuhan ekspor nonmigas yang semula ditetapkan sebesar 5,2 persen pun direvisi terkontraksi menjadi sebesar minus 13,5 persen.
Pada Mei 2020, Badan Pusat Statisik masih mencatat neraca perdagangan mengalami surplus 2,09 miliar dollar AS, dengan ekspor senilai 10,53 miliar dollar AS dan impor 8,44 miliar dollar AS. Namun, surplus itu tidak menggembirakan karena ekspor dan impor sama-sama terkontraksi tajam—menunjukkan lemahnya permintaan global dan terganggunya kegiatan produksi.
Baca juga: Perdagangan Global Terpukul, Desain Ulang Strategi Ekspor-Impor
Meski demikian, Kasan meyakini, aktivitas perekonomian setelah pelonggaran PSBB perlahan akan mendorong roda produksi dan perdagangan. Kemendag memetakan sejumlah sektor yang tidak terlalu terdampak Covid-19, seperti agrikultur, perikanan, kehutanan, makan dan minum, dan alat kesehatan. Permintaan ekspor atas produk sektor-sektor tersebut masih terus tumbuh.
”Kita juga membaca PMI manufaktur beberapa negara mitra dagang. Kalau China sudah mulai bergerak, ini akan menggerakkan sektor-sektor lain yang terhubung. Jadi, pemicunya sudah ada, pergerakan manufaktur ini tetap tanda-tanda membaik,” ujarnya.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani mengatakan, industri manufaktur masih akan menekan produksi dalam satu bulan ke depan dan belum akan kembali memproduksi hingga seperti level sebelum pandemi.
”Jangan diharapkan produksi akan kembali dalam waktu dekat karena pelaku industri masih wait and see,” kata Sintha.
Saat ini, meski kegiatan ekonomi mulai meningkat seiring pelonggaran PSBB, banyak perusahaan yang sekadar menghabiskan stok dan menjual produk yang sudah diproduksi dibandingkan memproduksi barang baru. Sebab, kondisi pasar dan daya beli belum pulih. Hal ini pun akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia yang diprediksi belum akan pulih dalam waktu dekat.
Kendala terbesar yang dihadapi pelaku usaha bukan animo pasar dan kendala volume permintaan yang belum membaik akibat pandemi, melainkan buruknya koordinasi dan transparansi penerapan kebijakan relaksasi PSBB dari pemerintah ke pelaku usaha.
”Banyak perusahaan yang masih bingung dan terus bertanya soal kepatuhan untuk mulai beroperasi saat new normal. Komunikasi dari pemerintah kurang lancar, multiinterpretasi, dan tidak ada (koneksi) hotline untuk berkonsultasi,” kata Sintha.
IA-CEPA
Sementara itu, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang telah berlaku sejak 5 Juli 2020 membawa kelegaan bagi peternak sapi Austalia. Sayangnya, perjanjian itu justru menimbulkan kekhawatiran peternak sapi Indonesia akibat absennya upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing produk mereka.
Perjanjian itu justru menimbulkan kekhawatiran peternak sapi Indonesia akibat absennya upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing produk mereka.
Baca juga: IA-CEPA Berpotensi Jadi Katalis Perekonomian di Tengah Pandemi
Dalam dokumen panduan ekspor-impor yang dipublikasikan Pemerintah Australia, IA-CEPA membuat Indonesia memperbolehkan Australia mengekspor barang berbasis daging tanpa memperhatikan faktor musiman. Kemudahan ini berlaku untuk sapi hidup, daging sapi beku, dan daging domba beku. Untuk sapi bakalan, kuota ekspor dari Australia berpotensi meningkat dari 281.215 ekor pada 2020 menjadi 700.000 ekor pada 2026.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) sekaligus Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, mengatakan, produk daging sapi potong dari peternak rakyat lokal akan semakin terpinggirkan. IA-CEPA membuat produk daging sapi dari Australia lebih kompetitif dari segi harga.
”Produk daging sapi lokal tak berdaya saing di pasar dalam negeri karena tidak ada upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi, dan kesejahteraan para peternak,” tuturnya saat dihubungi, Senin.