Pekerja Migran Tertunda Berangkat, Pemerintah Tak Boleh Lepas Tangan
Sebanyak 43.000 pekerja migran Indonesia tertunda berangkat akibat pandemi Covid-19. Pemerintah berencana memberangkatkan mereka. Langkah ini menempatkan pekerja migran pada risiko kesehatan dan keamanan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, pemerintah mengkaji rencana untuk kembali memberangkatkan pekerja migran Indonesia. Alasannya, untuk mengurangi pengangguran.
Langkah ini menempatkan pekerja pada situasi berisiko. Pemerintah mestinya tidak lepas tangan, tetapi memaksimalkan program padat karya dan jaring pengaman sosial.
Berdasarkan catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dari 83.000 orang yang terdaftar sebagai calon pekerja migran, sebanyak 43.000 orang di antaranya lolos kualifikasi serta sudah mengantongi visa dan paspor. Keberangkatan mereka tertunda akibat kebijakan penguncian wilayah beberapa negara tujuan.
Menurut Kepala BP2MI Benny Rhamdani, Minggu (5/7/2020), calon pekerja migran yang dokumennya sudah lengkap itu siap diberangkatkan lagi ke negara penempatan. Namun, pemerintah harus lebih dulu mencabut Surat Keputusan Menteri Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang berlaku sejak 20 Maret 2020.
Benny menambahkan, ia sudah bertemu dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah untuk membicarakan relaksasi pemberangkatan pekerja migran di tengah pandemi Covid-19. Lobi-lobi diplomatik juga digencarkan Kementerian Luar Negeri dan perwakilan tiap negara, khususnya dengan empat negara penempatan utama, yakni Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Hong Kong.
”Dalam diskusi, ditemukan kesepahaman, relaksasi penting untuk mengurangi angka pengangguran. Kami berharap, paling lambat Oktober sudah bisa diberangkatkan,” kata Benny.
Benny menambahkan, potensi devisa dari 43.000 pekerja migran itu diperkirakan Rp 5,7 triliun, yang bisa dipertimbangkan untuk menyelamatkan perekonomian.
Kami berharap, paling lambat Oktober sudah bisa diberangkatkan. (Benny Rhamdani)
Jumlah penganggur di Indonesia bertambah selama pandemi Covid-19 yang memukul berbagai sektor perekonomian. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, selama empat bulan pandemi, 6,4 juta pekerja dirumahkan tanpa upah dan dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK).
Data Kemenaker, pengangguran disumbang pekerja formal yang di-PHK dan dirumahkan, pekerja informal yang kehilangan sumber nafkah, serta pekerja migran Indonesia yang batal berangkat dan dipulangkan karena Covid-19. Jumlahnya 1,79 juta orang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sebanyak 6,88 juta orang di Indonesia menganggur per Februari 2020.
Kesehatan dan diplomasi
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengingatkan pemerintah perihal risiko kebijakan relaksasi di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, yakni keselamatan dan kesehatan pekerja. Proses persiapan dan pemberangkatan yang terburu-buru juga bisa jadi bumerang yang mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
Alih-alih lepas tangan dan memberangkatkan pekerja migran ke negara lain, pemerintah seharusnya fokus memaksimalkan skema jaring pengaman sosial dan program padat karya bagi para pekerja migran.
”Selain bahaya penularan virus ketika bepergian jauh, tidak ada jaminan juga bahwa mereka akan diterima dengan baik di negara tujuan saat kondisi masih seperti ini,” kata Wahyu.
Pemerintah seharusnya fokus memaksimalkan skema jaring pengaman sosial dan program padat karya bagi para pekerja migran. (Wahyu Susilo)
Saat ini, ujar Wahyu, baru sedikit pekerja migran yang masuk dalam skema jaring pengaman sosial karena tidak masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Kartu Prakerja yang seharusnya menjadi salah satu alternatif solusi juga berjalan di tempat karena sedang dievaluasi. Sebagian besar PMI pun mendapat akses bantuan sementara lewat bantuan langsung tunai (BLT) dana desa.
”Namun, hal itu sifatnya sementara, sembari menunggu mereka di-update masuk dalam DTKS. Hal ini yang seharusnya dilakukan Kemenaker dan BP2MI. Mendesak Kementerian Sosial untuk memperbarui DTKS agar pekerja migran kita terlindungi,” katanya.
Pro dan kontra
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Aris Wahyudi mengatakan, pemerintah sedang mengevaluasi Kepmenaker Nomor 151/2020. Evaluasi itu dilakukan sesuai kesiapan di daerah asal calon pekerja migran dan memperhatikan protokol keimigrasian dan kesehatan di negara tujuan.
”Jadi dilakukan tidak serentak untuk semua negara, tetapi gradual dan parsial sesuai kesiapan,” katanya.
Meski demikian, masih banyak pro dan kontra yang mewarnai rencana ini. ”Dalam diskusi dengan pihak perwakilan kita di luar negeri dan Kementerian Luar Negeri sebenarnya belum terlalu menyarankan untuk membuka penempatan calon PMI ke berbagai negara penempatan lagi,” katanya.
Untuk sementara, pemerintah akan memaksimalkan program-program bantalan sosial yang tidak hanya digencarkan Kemenaker, tetapi juga lintas kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.
Benny mengatakan, Kemenaker dan BP2MI juga masih menggodok pedoman protokol kesehatan jika keran pengiriman PMI ke luar negeri akan kembali dibuka dalam waktu dekat. ”Syaratnya, negara penempatan sudah tidak lockdown lagi, dan mau menerima tenaga kerja asing. Sejauh ini, lobi diplomatik masih berjalan,” katanya.
Ia mengatakan, persyaratan serta protokol kesehatan yang diberlakukan harus lebih ketat dipenuhi agar kebijakan ini tidak berbalik menjadi bumerang yang membahayakan para pekerja migran serta merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
”Ada usulan agar semua PMI wajib tes usap (swab test) dulu. Kita tidak ingin kecolongan. Satu saja ada yang positif, bisa merusak citra kita dan mengganggu hubungan diplomatik,” ujarnya.