Milenial Muda Belum Paham Aturan Wisata Normal Baru
Masyarakat mulai antusias untuk kembali berlibur. Sayangnya, tidak semua masyarakat, khususnya kaum milenial, paham mengenai pedoman wisata normal baru.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak pemerintah mengizinkan pembukaan kembali tempat wisata dengan protokol kesehatan, masyarakat mulai antusias untuk kembali berlibur. Sayangnya, tidak semua masyarakat, khususnya kaum milenial, paham mengenai pedoman normal baru.
Ferry (23), warga yang tinggal di Kota Yogyakarta, yang dihubungi Kompas, Senin (6/7/2020), mengaku sudah mulai berani bertamasya dengan bersepeda keliling kota hingga ke tempat wisata yang sudah dibuka, seperti pantai di Kabupaten Bantul.
Pekerja lepas itu mengatakan, sejauh ini, dirinya hanya mencari dan mendapatkan informasi mengenai pembukaan destinasi wisata dari media sosial. Adapun penerapan protokol kesehatan selama berkegiatan hanya mengacu pada panduan umum yang sudah ada.
”Selama ini, saya paling ikuti protokol yang sudah umum, seperti pakai masker, bawa hand sanitizer, dan enggak berkerumun dulu,” katanya.
Pemuda lainnya, Arlan (20), bahkan sudah mencicipi pendakian gunung di Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat, setelah kembali diizinkan dibuka pada awal Juni 2020. Kegiatan pendakian itu sempat ia lakukan di akhir Juni bersama lima temannya.
Meski protokol kesehatan sudah diatur oleh pengelola taman wisata alam, Arlan mengakui banyak pendaki yang pada akhirnya sulit beradaptasi. ”Selama naik gunung kemarin kenyataannya banyak yang enggak pakai masker dan jaga jarak,” kata warga Garut tersebut.
Survei terbaru Markplus Inc menunjukkan, mayoritas masyarakat berminat mengunjungi tempat wisata jika mengetahui adanya penerapan aturan, yang berkaitan dengan kebersihan, kesehatan, keamanan, dan ramah lingkungan (cleanliness, health, safety, environment/CHSE).
Survei terhadap 80 responden yang 74 persen tinggal di luar Jabodetabek itu mencoba mengetahui tingkat pemahaman wisatawan terkait aturan CHSE. Kemudian, pengaruhnya terhadap minat kunjungan dan kesediaan untuk menerapkan dan menyebarkan informasi terkait protokol kesehatan.
Survei itu mencatat, sebanyak 37,3 persen masyarakat pernah mendengar adanya normal baru di tempat wisata, tetapi belum paham program CHSE yang dicanangkan pemerintah pusat tersebut.
Respons tersebut terbanyak pada responden berusia di atas 25 tahun (74,7 persen). Sementara responden yang belum pernah mendengar kebanyakan berasal dari kalangan milenial muda, yakni mereka yang berusia di bawah 24 tahun (37,5 persen).
”Sosialisasi kepada masyarakat mengenai program ini masih butuh usaha ekstra, terutama kepada yang berusia di bawah 24 tahun. Kelompok umur ini adalah umur yang paling aktif bepergian dan berpotensi menjadi orang tanpa gejala (OTG) virus Covid-19,” kata Executive Director MarkPlus Toursim Mochamad Nalendra Pradono dalam webinar MarkPlus Government Roundtable, hari ini.
Minimnya pengetahuan mengetahui program CHSE itu, menurut Nalendra, dimungkinkan dengan media sosialisasi yang kurang tepat dan mengena. Mayoritas (43,8 persen) responden, terutama dari kalangan usia 25 tahun ke atas, mendapatkan informasi mengenai CHSE di suatu destinasi dari televisi.
Adapun kelompok responden usia di bawah 24 tahun mendapat informasi lebih banyak melalui Instagram. Tidak hanya itu, 50 persen responden dari generasi tersebut menilai kampanye CHSE kurang menarik.
”Perlu adanya pendekatan berbeda yang dilakukan oleh pengelola destinasi dalam menyebarkan informasi sesuai dengan target dan preferensi media khususnya bagi generasi tersebut,” katanya.
Straf Ahli Bidang Pembangunan Keberlanjutan dan Konservasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Frans Teguh mengatakan, pemerintah pusat terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) dan pemangku kebijakan dalam menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan di tempat wisata.
”Kami terus berkoordinasi dengan pemda dan stakeholders lainnya terkait CHSE ini. Kita perlu evidence base-nya karena itu bisa jadi kekuatan bagi kita untuk percaya diri berbicara dengan pasar. Kesadaran kolektif ini akan membantu kita untuk bangkit,” katanya dalam webinar.
Sementara itu, Frans mengakui Kemenparekraf masih menyiapkan standar protokol CHSE, khususnya untuk keperluan jangka panjang, dengan memperhatikan kelestarian. Selain menyiapkan pedoman, simulasi dan sosialisasi, khususnya di destinasi yang lebih siap merespons pergerakan wisatawan Nusantara dan mancanegara, masih akan perlu dilakukan.
”Sampai hari ini, kami sudah menyelesaikan beberapa panduan terkait penerapan protokol CHSE di bidang hotel, resto, homestay, spa, sampai wisata minat khusus berbasis alam. Protokol diberikan untuk meningkatkan penanganan di tingkat individu maupun masyarakat secara umum,” tuturnya.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didin Junaedi, pada kesempatan sama, mengingatkan agar pemilik tempat wisata tidak berlomba membuka tempat wisata mereka terlebih dahulu jika belum siap.
”Sekarang ini tempat wisata yang ketika dibuka ada pengunjungnya yang tidak disiplin pakai masker, belum lagi bicara soal kelestarian. Kalau belum siap, malah bisa menambah angka kasus. Jadi, kita masih perlu mengatasi ketidakdisiplinan ketika memasuki tempat wisata,” ujarnya.