Pandemi Covid-19 mengubah dan memengaruhi perekonomian, termasuk harga batubara.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengumumkan pemangkasan produksi batubara pada tahun ini sebesar 15-20 persen dari rencana semula. Upaya ini untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan batubara demi mencegah harga jatuh kian dalam. Sejumlah kajian menyatakan, tahun ini merupakan tahun yang sulit bagi bisnis batubara.
Industri batubara yang sudah berlangsung berabad-abad silam memang menjadi cikal bakal kelahiran peradaban modern. Revolusi industri yang dimulai dari Inggris Raya tak lepas dari peran si ”emas hitam” ini. Tenaga hewan dan manusia digantikan mesin uap dari hasil pembakaran batubara sehingga lahirlah perubahan besar-besaran di sektor manufaktur, pertanian, transportasi, dan teknologi.
Namun, dunia perlahan-lahan berubah. Aktivitas industri di banyak negara menyebabkan peningkatan suhu dan pemanasan global. Batubara, bersama jenis energi fosil lainnya, dituding sebagai biang keladi pencemaran lingkungan. Pembuat polusi udara.
Tanpa mengabaikan praktik pertambangan yang baik, beberapa operasi tambang batubara meninggalkan ribuan lubang bekas tambang yang tak terurus.
Lebih dari itu, di bagian hulu, beberapa praktik tambang batubara menyebabkan kerusakan dan bencana. Tanpa mengabaikan sejumlah praktik pertambangan yang baik, beberapa operasi tambang batubara meninggalkan ribuan lubang bekas tambang yang tak terurus. Selain menjadi penampung air yang mengandung asam atau zat beracun, ada juga lubang bekas tambang yang menelan korban puluhan jiwa mati tenggelam terperosok ke dalamnya.
Belum lagi praktik penyerobotan kawasan lindung dan permukiman. Beberapa fakta itu menjadi noda hitam dan stigma buruk pertambangan batubara di Indonesia. Diakui, masih ada masalah dalam hal penegakan aturan dan pengawasan di lapangan.
Sebaliknya, suka atau tidak, industri tambang batubara di Indonesia turut menjadi pilar penting perekonomian nasional. Indonesia yang lebih banyak mengandalkan penjualan ke luar negeri ketimbang pemanfaatan di dalam negeri terbantu pengumpulan devisa hasil ekspor. Bahkan, ekspor batubara dijadikan sebagai salah satu penyelamat dalam neraca perdagangan nasional yang kerap defisit.
Indonesia yang lebih banyak mengandalkan penjualan ke luar negeri ketimbang pemanfaatan di dalam negeri terbantu pengumpulan devisa hasil ekspor.
Pada 2019, batubara bersama mineral tambang lain menyumbang penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 44,8 triliun. Sementara pada 2018 sumbangan yang diberikan untuk PNBP sebesar Rp 49,6 triliun. Sektor ini merupakan penyumbang PNBP terbesar kedua dalam industri ekstraktif setelah sektor minyak dan gas bumi (migas).
Pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Tak hanya migas, tambang batubara pun terpukul pandemi. Permintaan batubara dunia perlahan berkurang, sementara pasokan di pasar melimpah. Beberapa negara tujuan utama ekspor batubara Indonesia, seperti China dan India, lebih mengutamakan produksi di dalam negeri ketimbang impor. Harganya pun jatuh perlahan.
Bulan ini, harga batubara diperkirakan di level 50 dollar AS per ton. Tahun lalu, harga batubara rata-rata hampir 78 dollar AS per ton. Pada 2018, harga batubara sempat menyentuh angka 104 dollar AS per ton, sekaligus sebagai periode emas bisnis batubara. Jatuh bangun harga adalah hal lumrah dalam bisnis komoditas.
Tak hanya migas, tambang batubara pun terpukul pandemi.
Apakah industri batubara sedang menyongsong senja kalanya? Dari sisi harga, bisnis batubara menjadi kurang menarik. Namun, sulit melepas peran batubara dalam rantai pasok energi di Indonesia. Sampai hari ini, tanpa batubara, Indonesia akan gelap gulita. Peran si emas hitam ini mencapai lebih dari 60 persen dalam bauran energi primer pembangkit listrik.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional, peran batubara direncanakan dikurangi sembari terus mengoptimalkan sumber energi baru dan terbarukan. Langkah ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani Persetujuan Paris pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon. Pada 2025, porsi batubara dikurangi menjadi 30 persen dan terus berkurang menjadi 25 persen di 2050.
Toh, pemerintah menganjurkan jalan keluar ”penyelamatan” batubara lewat proyek gasifikasi ataupun pembangkit listrik mulut tambang. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana masa depan energi setelah cadangan batubara habis? Jawabannya adalah terus mengembangkan energi baru dan terbarukan.