Cengkeh Minahasa, ”Emas Coklat” Sisa Kejayaan Masa Lalu
Cengkeh Minahasa, yang masyhur dengan sebutan “emas coklat” setengah abad lalu, kini hanyalah butir-butir murah incaran pabrik rokok.
Tatapan kosong Rio (46) jatuh pada hamparan butir-butir cengkeh yang tengah dijemur di pekarangan rumahnya. Awan kelabu yang menggantung di langit Desa Rumengkor siang itu seperti kegundahan yang melingkupi pikirannya. Cengkeh, yang masyhur dengan sebutan ”emas coklat” semasa ia kanak-kanak, kini hanyalah butir-butir murah incaran pabrik rokok.
Ada rumah bertembok beton dan satu lagi rumah panggung dari kayu berdiri menyerupai huruf L di sisi pekarangan Rio. Entah berapa luasnya, tetapi pelataran cor semen itu hampir semuanya tertutup oleh tak kurang dari 45 kain terpal yang mengalasi cengkeh. Aroma cengkeh yang khas dalam rokok Indonesia mengambang, kali ini tanpa diiringi asap.
Di bawah rumah panggung, Rio duduk menatap hasil panennya. Sebagian besar sudah kering mencoklat, sementara lainnya masih hijau kemerahan.
”Nanti kalau sudah kering semua akan dijual ke pedagang di Manado. Harganya kira-kira Rp 61.500 per kilogram. Yah, paling tidak cukup buat makan keluarga,” kata Rio pada suatu siang yang mendung, akhir Juni lalu, di Desa Rumengkor, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Anggapan Rio akan kecilnya nilai cengkeh itu tak ubahnya keluhan yang senantiasa terdengar dari petani cengkeh lain. September 2019, petani cengkeh dari Minahasa dan Minahasa Selatan pulang dengan muka kecut setelah merelakan pedagang pengumpul di Manado membeli cengkeh mereka Rp 74.500 per kg, jauh dari harapan Rp 100.000 per kg.
Ketika ditanya soal kuantitas butir-butir buah cengkeh yang sedang terhampar di hadapannya, Rio mengaku tidak tahu. Kedatangan Hendra (41) yang sesaat kemudian datang untuk bergabung dalam lamunan saudaranya, menjawab pertanyaan itu.
”Kira-kira ada 180 kilogram. Kebun kami 4 hektar, ada kira-kira 1.000 pohon,” katanya.
Setelah dijemur 3,5 hari, 180 kg cengkeh kering tersebut bisa menghasilkan Rp 11,07 juta. Masa panen masih bisa berlangsung sampai sebulan ke muka. Artinya, buah yang dipanen Hendra dan Rio dari tanaman tahunan itu masih akan terus bertambah.
Baca juga: Romantika Cengkeh Minahasa
Kendati begitu, Hendra tak juga yakin akan mampu meraup untung besar. ”Biaya perawatan kebun tidak murah. Ongkos buat buruh petik dan rawat kebun mahal,” kata Hendra.
Ia menjelaskan, kebun harus dibersihkan dari rumput-rumput liar setidaknya tiga kali setahun. Setahun sekali, pohon juga mesti diberi pupuk. Ada buruh yang biasa mereka panggil untuk mengerjakannya
Saat panen, upah buruh petik mencapai Rp 4.500 untuk setiap liter cengkeh yang dikumpulkan. Jika tiap pohon dapat menghasilkan 30 liter cengkeh, biaya petik satu pohon adalah Rp 135.000. Seribu pohon berarti Rp 135 juta. Menurut Hendra, jumlah itu sudah setengah dari total omzet dengan harga yang berlaku sekarang.
”Karena harga cengkeh sudah jatuh sekali padahal biaya perawatan besar, kami jadi malas mau merawat. Misalnya, harus baparas (bersihkan kebun) tiga kali setahun, kami hanya sekali setahun. Sudah jarang kami memberi pupuk juga. Jadi, kemungkinan hasil panen juga menurun,” kata Hendra, kini sambil mengisap rokoknya yang menguarkan bau cengkeh pula.
Kembali ke kebun
Kehadiran Lisa (41), istri Hendra, mengungkap bahwa kedua pria yang baru saja memanen cengkeh itu sejatinya bukan petani cengkeh. Mereka adalah generasi kelima dari keluarga petani cengkeh Minahasa. Meski kini nyaris tak lagi pernah merawat kebun, hidup mereka mendadak bergantung lagi pada butiran buah cengkeh.
”Mereka ini pulang kampung gara-gara pandemi Covid-19. Sama-sama kehilangan kerja,” kata Lisa, meruntuhkan tembok privasi yang sebelumnya telah dibangun dua saudara itu.
Dua tahun terakhir Hendra bekerja di Kongo, di Afrika Tengah, sebagai mekanik alat berat pertambangan. Adapun Rio meninggalkan perbukitan di kampungnya untuk bekerja di kapal sebuah perusahaan perikanan di Bitung.
Berbekal pengalaman masa kecil, kini keduanya kembali mengakrabi suasana kebun cengkeh dan aroma cengkeh kering yang tidak asing. Kendati begitu, skeptisisme mereka terhadap cengkeh telah terbentuk sejak lama. Sejak muda, mereka memutuskan tak bisa selamanya bergantung pada cengkeh seperti orangtua mereka.
”Kalau kami tahu harga cengkeh bakal terus bagus, buat apa kami pergi jauh-jauh? Lebih baik, kan, di sini saja,” kata Hendra.
Baca juga:Petani Cengkeh Minahasa Tetap Panen meski Harganya Jatuh di Tengah Pandemi
Catatan Kompas dalam ekspedisi Jalur Rempah Nusantara, wilayah Minahasa adalah salah satu daerah paling makmur di Indonesia. Dekade antara 1970 dan 1980, harga cengkeh tiap kilogram sudah mencapai Rp 1.100 ketika harga beras hanya Rp 25. Cengkeh kering 800 kg bisa ditukar dengan sebuah Hardtop atau Datsun pikap.
Mengenang masa kecilnya, Hendra dan Rio mengatakan, mobil Hardtop dan Datsun lebih umum di kalangan petani di dataran tinggi Sonder. Rumengkor yang terletak di dataran rendah sekitar 15 kilometer dari Manado kala itu belum punya jalan desa yang bagus sehingga tak banyak yang membeli mobil dari penjualan cengkeh.
”Jadi orangtua kami waktu itu pakai uang cengkeh untuk bikin rumah bagus dan perluas lahan cengkeh. Mereka juga sekolahkan anak sampai tinggi di Manado. Prestise kami saat itu beda dengan petani-petani di Sonder,” kata Hendra, lulusan politeknik mesin di Manado itu. Rio juga mengenyam pendidikan tinggi di luar bidang pertanian dan perkebunan.
Pada 1990-an, kejatuhan cengkeh dimulai. Rancangan tata kelola cengkeh yang dilakoni Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) menetapkan harga cengkeh menjadi Rp 7.500 per kg dengan potongan dana penyertaan masyarakat Rp 2.000 dan simpanan wajib Rp 1.500 di pusat koperasi unit desa (puskud). Akan tetapi, pada praktiknya petani hanya mendapat Rp 2.500 dari harga seharusnya, Rp 4.000.
Harapan akan kejayaan cengkeh kembali bersinar pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, 1999-2001. Gus Dur menahan laju impor sehingga harga cengkeh melambung tinggi dari Rp 2.000 per kg menjadi Rp 70.000 per kg, setara 35 kg beras. Nama Gus Dur pun kerap disebut dengan hormat oleh petani cengkeh yang mencicipi rezimnya.
Kendati demikian, keadaan telah berubah seiring inflasi tiap tahun. Hendra, Rio, dan Lisa tak yakin pendapatan dari cengkeh bisa memenuhi semua kebutuhan 10 atau lebih anggota keluarga besar hingga masa panen berikut. ”Tiga anak saya sekolah swasta. Bayar sekolah saja sudah berat,” kata Hendra sambil melirik anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD.
Pasrah pada pabrik rokok
Konsumen utama dari kualitas dan keharuman cengkeh Minahasa adalah pabrik rokok di Kediri, Jawa Timur, dan Kudus, Jawa Tengah. Setiap musim panen yang berlangsung sejak Juni hingga Oktober di daerah-daerah berbeda, para petani cengkeh akan berbondong-bondong ke Manado untuk menjualnya ke salah satu pengepul yang jadi langganan mereka.
Para pedagang akan menjual kembali ratusan hingga ribuan ton cengkeh yang mereka kumpulkan kepada perwakilan pabrik rokok dengan harga sedikit lebih tinggi. Lexi (71), salah satu pedagang pengumpul cengkeh di Manado, misalnya, mengambil untung Rp 1.500-Rp 2.000 per kg. ”Harga tidak bagus, yang penting menang di jumlah,” ujarnya.
Ketergantungan petani cengkeh Minahasa pada penyerapan pabrik rokok membuat mereka tak berdaya mengontrol harga, terutama saat pandemi Covid-19. Salah satu pabrik rokok di Surabaya dikabarkan tutup karena menjadi pusat satu kluster penyebaran penyakit itu. Permintaan yang berkurang ketika pasokan mulai meningkat menyebabkan rendahnya harga.
Kepasrahan petani bahkan telah sampai pada titik menjual cengkeh basah dengan harga serendah-rendahnya. Maxi Undap (56), warga Desa Kembes, Tombulu, misalnya, berhasil mengumpulkan cengkeh basah dengan harga Rp 15.500 per kg, jauh dari harga wajar Rp 29.000 per kg.
”Nantinya saya juga tetap jual ke kokoh (pedagang beretnis China). Petani di sini biasanya butuh uang cepat, jadi ingin segera jual,” kata Maxi yang tidak memiliki kebun cengkeh.
Baca juga: Sulut Bentuk Kawasan Cengkeh Berbasis Korporasi Petani
Semua petani cengkeh yang ditemui saat itu mengatakan, mereka tak punya pilihan lain selain bergantung pada pabrik rokok. Industri lain seperti minyak atsiri belum dapat diandalkan karena skalanya masih rumahan.
Para petani yang sejak dulu telah terbuai oleh harga tinggi cengkeh tak juga mencari cara untuk melindungi harga. Di Kembes dan Rumengkor, tidak ada kelompok petani cengkeh atau badan usaha milik desa (BUMDes) yang mengumpulkan cengkeh dari petani untuk menahan pasokan hingga harga bagus. Semua ditanggung tiap petani secara individual.
Eddy Sepang, tokoh petani cengkeh dari Sonder, beberapa waktu lalu menyarankan pembuatan resi gudang khusus cengkeh. Namun, saran itu dimentahkan Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Ronny Erungan karena cengkeh bukanlah produk ekspor. ”Harga Rp 60.000-Rp 70.000 per kg termasuk stabil,” kata Ronny.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung mengatakan, Sulut menghasilkan tak lebih dari 3.000 ton cengkeh setiap tahun. Pemprov Sulut sedang berupaya menghilangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dari penjualan cengkeh antara pedagang dan pabrik rokok. Dengan demikian, harga beli dari petani diperkirakan bisa meningkat.
Pemprov Sulut pernah merencanakan pembentukan kawasan perkebunan cengkeh berbasis korporasi petani di lahan seluas 62.000 hektar di enam kabupaten, Oktober lalu. Harapannya, agar petani bisa kompak mengontrol harga dengan berembuk dalam kelompoknya.
Namun, semua masih sekadar wacana, padahal panen tak pernah bisa dibendung, dan bahkan terus meluas ke daerah lain di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Artinya butir-butir cengkeh kian menggunung dan selalu siap meluncur ke pabrik rokok. Mau harga murah atau mahal, semua ikut gendangnya pabrik rokok saja.