Pekerjaan Rumah Memacu Kelas Menengah
Selain mendorong konsumsi, pertumbuhan kelas menengah akan memacu pendapatan negara. Semakin banyak penduduk naik kelas secara ekonomi, maka setoran pajak akan meningkat. Basis pajak pun akan meluas.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu menggenjot populasi penduduk kelas menengah agar tak jatuh kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah rendah. Upaya ini sebaiknya diarahkan ke luar Jawa melalui perbaikan gap produktivitas dan penciptaan lapangan usaha bernilai tambah tinggi.
Selain mendorong konsumsi, pertumbuhan kelas menengah akan memacu pendapatan negara. Semakin banyak penduduk naik kelas secara ekonomi, maka setoran pajak akan meningkat dan basis pajak juga meluas.
Per 1 Juli 2020, Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi (upper middle income), ”naik kelas” dari negara berpendapatan menengah rendah (lower middle income). Klasifikasi ini dihitung berdasarkan pendapatan nasional bruto atau PNB (gross national income/GNI) per kapita tahun 2019 yang 4.050 dollar AS.
Kelompok negara berpendapatan menengah tinggi adalah negara yang memiliki PNB per kapita 4.046 dollar AS-12.535 dollar AS. Adapun kelompok menengah rendah adalah negara dengan PNB per kapita 1.036 dollar AS-4.045 dollar AS. Dengan ketentuan itu, Indonesia dinilai rentan jatuh kembali ke kelompok menengah rendah.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, berpendapat, pertumbuhan kelas menengah perlu didorong agar Indonesia tidak jatuh kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah rendah. Salah satu syarat untuk mendorong pertumbuhan kelas menengah adalah dengan meningkatkan pendapatan penduduk.
”Peningkatan pendapatan memerlukan penciptaan lapangan kerja yang besar dan layak. Pemerintah punya pekerjaan rumah yang tidak ringan, apalagi dalam kondisi pandemi,” kata Yusuf saat dihubungi Kompas, Jumat (3/7/2020).
Kelas menengah jadi penopang utama pertumbuhan ekonomi karena konsumsinya tumbuh sekitar 12 persen per tahun sejak 2002.
Mengutip data Bank Dunia, populasi kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan rata-rata pengeluaran berkisar Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per orang per bulan. Kelas menengah Indonesia menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi karena konsumsi kelompok penduduk ini tumbuh sekitar 12 persen setiap tahun sejak 2002.
Selain mendorong konsumsi, pertumbuhan kelas menengah juga akan meningkatkan pendapatan negara. Semakin banyak penduduk yang naik kelas secara ekonomi, setoran pajak mereka meningkat. Basis pajak akan meluas dengan sendirinya sehingga rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diharapkan bisa lebih dari 10 persen.
Baca juga : Tantangan dan Harapan Baru RI
Menurut Yusuf, peningkatan serapan tenaga kerja krusial untuk memitigasi penurunan sekaligus mendorong peningkatan populasi kelas menengah dalam situasi pandemi. Indonesia butuh lebih banyak populasi kelas menengah untuk mendorong pembangunan dan mempercepat transformasi menjadi negara berpendapatan tinggi.
Peningkatan serapan tenaga kerja ini sejalan dengan pertumbuhan sektor padat karya, terutama industri manufaktur. Dibutuhkan kebijakan komprehensif untuk mendorong proses reindustrialisasi dan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan harus berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan.
”Selama 10 tahun ini tren deindustrialisasi prematur semakin terlihat di industri manufaktur. Jika tren ini berlanjut, alih-alih naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia justru akan terjebak dalam status negara berpendapatan menengah tinggi dalam waktu yang lama,” kata Yusuf.
Gap produktivitas
Dihubungi secara terpisah, Jumat, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, upaya mendorong pertumbuhan kelas menengah perlu dibarengi dengan perbaikan gap produktivitas. Banyak penduduk di luar Jawa yang bekerja di sektor usaha bernilai tambah rendah, seperti usaha berbasis komoditas sumber daya alam mentah.
Idealnya, mayoritas penduduk bekerja di sektor usaha bernilai tambah tinggi dengan konten kreativitas dan berbasis teknologi. Sektor usaha bernilai tambah tinggi akan berkontribusi besar bagi perekonomian nasional. Di sisi lain, pendapatan penduduk yang bekerja di sektor tersebut cenderung lebih tinggi.
”Sektor-sektor bernilai tambah masih didominasi di Jawa baik manufaktur, pariwisata, maupun perdagangan. Kondisi ini mesti diperbaiki agar koefisien gini tidak memburuk,” kata Ari.
Koefisien gini menjadi indikator ketimpangan kemakmuran dengan skor 0-1. Makin tinggi angka menunjukkan makin timpang. Koefisien gini Indonesia terus menciut dari 0,402 pada tahun 2015 menjadi 0,382 pada tahun 2019.
Menurut Ari, perbaikan gap produktivitas butuh waktu dan harus berkelanjutan. Korea Selatan dan Jepang, misalnya, membutuhkan waktu 20 tahun. Kunci memperbaiki gap produktivitas bukan hanya kebijakan yang komprehensif, melainkan juga perlu ada dukungan pengembangan riset dan sistem politik yang kuat, serta komitmen good governance.
Baca juga : Komposisi Lowongan dan Pencari Kerja Makin Timpang
Mengonfirmasi hal tersebut, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi mengatakan, potensi populasi kelas menengah Indonesia memang besar, yakni di kisaran 55-90 juta orang. Namun, jumlah yang besar tidak akan berarti apabila kualitas sumber daya manusianya rendah.
Oleh karena itu, strategi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan kelas menengah difokuskan pada pengentasan dari pengangguran dan kemiskinan kronis melalui usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ada empat sektor yang dibidik, yaitu industri berbasis teknologi atau industri 4.0, pertanian, pariwisata, dan infrastruktur. Keahlian pekerja di empat industri tersebut akan ditingkatkan.
”Keterampilan pekerja didorong dengan pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Pasar tenaga kerja akan diperbaiki untuk menggambarkan realitas kebutuhan industri,” kata Pungky.
Selain produktivitas tenaga kerja, pertumbuhan kelas menengah juga akan dibarengi dengan peningkatan literasi keuangan, perbaikan sistem perlindungan sosial, dan iklim investasi nasional. Peningkatan populasi penduduk kelas menengah krusial karena Indonesia akan mengalami bonus demografi tahun 2040.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menambahkan, Indonesia sudah seharusnya bekerja keras dan aktif untuk meningkatkan daya saing, terutama di sektor perdagangan. Jangan lagi bergantung pada fasilitas dan kebijakan afirmatif yang diberikan negara mitra.
Menurut Shinta, status sebagai negara berpendapatan menengah tinggi bukti keberhasilan Indonesia menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dalam beberapa tahun terakhir. Capaian ini harus dipertahankan dengan membenahi iklim usaha dan investasi nasional sehingga ekonomi bisa terus tumbuh pascapandemi.