Lingkaran Setan Daya Tahan Fiskal Nasional
Penerimaan negara merosot. Sebaliknya, pengeluaran meningkat untuk penanganan pandemi Covid-19. Jalan yang ditempuh, menambah utang.
Reformasi perpajakan belum tuntas ketika pandemi Covid-19 menerpa dunia. Dampaknya, pendapatan negara tak kuat menanggung beban penanganan pandemi Covid-19 yang sangat besar. Ujung-ujungnya, utang pemerintah dan belanja beban bunga melonjak. Inilah lingkaran setan daya tahan fiskal nasional.
Karina Isna Irawan
Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, postur APBN 2020 sudah diubah dua kali. Pendapatan negara diproyeksikan merosot 13,2 persen, bahkan diperkirakan bisa lebih dalam.
Pendapatan negara diproyeksi merosot Rp 533,3 triliun dari proyeksi awal. Penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) turun paling tajam, masing-masing sebesar 10 persen dan 3,6 persen.
Persoalan pendapatan negara yang rendah sudah mencuat sebelum pandemi Covid-19. Sebagai gambaran, rasio pendapatan negara dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2018 hanya 14,6 persen, jauh rendah dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang di dunia yang sekitar 27,8 persen.
Indonesia sebenarnya sudah memulai reformasi perpajakan sejak 1983. Reformasi itu terbagi menjadi lima babak. Saat ini Indonesia masuk babak terakhir, yaitu Reformasi Perpajakan Jilid III periode 2017-2024. Reformasi Perpajakan Jilid III ini digadang-gadang sebagai reformasi terbesar dalam sejarah merespons perkembangan teknologi digital dan dinamika ekonomi global.
Namun, reformasi perpajakan yang masih bergulir ternyata belum mampu mengungkit rasio pajak. Di Indonesia, rasio pajak justru terus merosot dalam 10 tahun terakhir. Rasio pajak turun dari 11,5 persen pada 2018 menjadi 9,8 persen tahun 2019. Bahkan, proyeksi rasio pajak pada 2020 bisa di bawah 9 persen.
Bank Dunia memperingatkan, pendapatan Indonesia pascapandemi berpotensi di bawah level 2018. Pendapatan yang rendah dipengaruhi tren pemulihan harga komoditas global yang diperkirakan berlangsung lambat serta kebijakan pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 20 persen pada 2023.
Jika reformasi perpajakan bisa lebih progresif, pendapatan Indonesia akan naik bertahap pada 2021 dan 2022. Namun, ada kemungkinan pendapatan negara tidak lebih tinggi daripada 2018, paling tidak sampai dengan 2024, tanpa skenario reformasi perpajakan. Dampaknya, risiko daya tahan fiskal semakin besar.
Menurut Ekonom Bank Dunia Bidang Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi Jaffar Al-Rikabi, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, tetapi belum digarap optimal. Salah satu indikatornya adalah tarif pajak yang rendah dan kelompok penghasilan yang dikenai PPh orang pribadi atau sering disebut pajak orang kaya.
PPh orang pribadi hanya dikenakan pada wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 500 juta per tahun dengan tarif pajak 30 persen. Padahal, rata-rata negara di dunia menetapkan tarif PPh orang pribadi sebesar 41,2 persen. Beberapa negara berkembang, seperti Turki, Filipina, dan Thailand, mengenakan tarif PPh orang pribadi 35 persen.
”Salah satu prinsip pajak adalah keadilan. Sudah seharusnya negara mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi kepada orang-orang kaya,” ujar Jaffar.
Indonesia juga berpotensi mengoptimalkan penerimaan perpajakan dari bidang lingkungan, seperti pengenaan cukai kantong plastik dan pemungutan pajak emisi karbon. Namun, rencana pengenaan kedua jenis perpajakan itu masih belum beranjak dari pembahasan dengan DPR selama bertahun-tahun.
Untungnya, ada beberapa potensi penerimaan yang mulai dioptimalkan tahun ini dan diharapkan dapat menyokong pendapatan negara, seperti kenaikan cukai rokok dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital dari luar negeri. Langkah yang ditempuh pemerintah sudah tepat, kendati dampak terhadap penerimaan belum terlihat.
Pemerintah tidak punya pilihan selain mendorong reformasi perpajakan lebih progresif. Pengalaman beberapa negara di dunia membutuhkan waktu 6 tahun sampai dengan 10 tahun untuk meningkatkan rasio pajak yang berujung pada kenaikan pendapatan negara.
Jika tidak dilakukan, apa yang akan terjadi masa depan?
Beban berat
Indonesia perlu pendapatan yang lebih tinggi untuk memulihkan ekonomi pascapandemi Covid-19. Konsensus sepakat pemulihan ekonomi tidak bisa hanya satu tahun. Skenario moderat membutuhkan waktu 2-3 tahun. Bahkan, ada kemungkinan pemulihan ekonomi lebih dari lima tahun. Sebab, kondisi yang dihadapi kali lebih parah daripada krisis keuangan 1998 dan 2008.
Biaya penanganan Covid-19 pada tahun ini saja mencapai Rp 695,2 triliun. Padahal, pendapatan negara dipastikan turun tajam. Sementara pemerintah harus memenuhi biaya penanganan Covid-19 dari tambahan utang.
Kebutuhan pembiayaan utang diperkirakan mencapai Rp 1.645,3 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) akan melonjak dari kisaran 30 persen pada 2019 menjadi 37-38 persen pada 2020.
Baca juga: BI Tanggung Bunga Utang Senilai Rp 35,9 Triliun
Utang pemerintah bersumber dari tambahan penerbitan surat berharga negara dan pinjaman luar negeri. Aturan main ketika berutang adalah pemerintah harus mengembalikan dana berikut bunganya. Dengan demikian, belanja bunga utang dipastikan akan meningkat sejalan dengan tambahan utang.
Utang pemerintah bersumber dari tambahan penerbitan surat berharga negara dan pinjaman luar negeri.
Sebelum Covid-19, bunga utang yang harus dibayar pemerintah rata-rata Rp 200 triliun per tahun atau berkisar 11-12 persen dari total alokasi belanja APBN. Pada 2020, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memproyeksikan porsi belanja bunga utang akan meningkatmenjadi 17 persen atau sekitar Rp 465,66 triliun.
Ironisnya, alokasi anggaran untuk membayar bunga utang itu lebih tinggi dari biaya penanganan Covid-19 untuk pos kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif dunia usaha Rp 120,61 triliun, dan dukungan UMKM Rp 123,46 triliun. Belanja bunga utang termasuk belanja tidak produktif.
”Pembayaran bunga utang yang meningkat akan menyingkirkan pengeluaran untuk belanja prioritas. Akibatnya, upaya menutup kesenjangan sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi lebih sulit dengan ruang fiskal yang lebih rendah dan tantangan fiskal yang muncul,” ujar Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen.
Sumber pembiayaan
Solusi jangka pendek yang ditawarkan pemerintah untuk menekan belanja bunga utang adalah dengan mencari sumber pembiayaan paling murah.
Kemenkeu dan Bank Indonesia saat ini sedang mematangkan skema dan porsi pembelian surat berharga negara (SBN) tanpa mekanisme pasar. Nantinya, Bank Indonesia akan menyerap sebagian SBN sekaligus menanggung beban bunganya.
Berulang kali Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membangun persepsi agar rakyat Indonesia jangan ”alergi” terhadap utang. Indonesia masih mengalami kesenjangan antara pendapatan dan belanja sehingga utang diperlukan. Pemerintah berjanji mengelola utang secara pruden dan menggunakannya secara produktif.
Belakangan, utang pemerintah menjadi topik hangat di lini masa. Terlebih lagi, ketika Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menawarkan debat terbuka kepada ekonom Rizal Ramli yang aktif mengkritisi peningkatan utang pemerintah di media sosial.
Pemerintah berjanji mengelola utang secara pruden dan menggunakannya secara produktif.
Persoalan utang harus didudukkan secara obyektif jangan dilihat dari satu perspektif. Perdebatan yang mengemuka kerap kali tentang nominal utang pemerintah yang sudah mencapai sekitar Rp 5.100 triliun. Namun, pangkal masalah sebenarnya adalah amunisi belanja produktif yag berkurang akibat mesti membayar bunga utang dalam kondisi ruang fiskal yang semakin ketat.
Keinginan agar ekonomi tumbuh berkelanjutan, beban bunga utang yang tinggi, dan pendapatan negara yang rendah ibarat lingkaran setan bagi daya tahan fiskal nasional. Cita-cita pemulihan ekonomi mesti dibarengi reformasi pendapatan negara yang progresif.
Sampai kapan mengandalkan utang sebagai jalan pintas?