Pandemi Covid-19 masih membelenggu bisnis batubara Indonesia. Permintaan menurun, sedangkan pasokan batubara melimpah. Ini menyebabkan harga batubara terus merosot dalam tiga bulan terakhir.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga batubara acuan untuk periode Juli 2020 kembali turun menjadi 52,16 dollar AS per ton dibandingkan Juni 2020 yang tercatat 52,98 dollar AS per ton. Penurunan harga batubara akan terus berlangsung seiring dengan belum jelasnya kapan pandemi Covid-19 berakhir.
Para pengusaha batubara di dalam negeri sudah merencanakan pemotongan produksi untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan batubara serta mencegah kejatuhan harga berlanjut.
Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi, faktor fundamental masih membayangi pergerakan harga batubara dunia, yaitu pasokan berlebih di tengah permintaan menurun. Apalagi, negara seperti India dan China mengutamakan produksi batubara di dalam negeri. Dua negara tersebut menjadi pasar penting bagi ekspor batubara asal Indonesia.
”Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, permintaan batubara global melemah disebabkan pasar utama batubara dunia, seperti China dan India, lebih memprioritaskan produksi dalam negeri ketimbang impor. Selain itu, kebijakan pembatasan pergerakan barang juga turut memengaruhi permintaan batubara,” kata Agung saat dihubungi, Jumat (3/7/2020), di Jakarta.
China dan India lebih memprioritaskan produksi dalam negeri ketimbang impor. Selain itu, kebijakan pembatasan pergerakan barang juga turut memengaruhi permintaan batubara.
Di awal tahun 2020, harga batubara ada di level 65,93 dollar AS per ton. Setelah sempat naik menjadi 67,08 dollar AS per ton hingga Maret 2020, harga batubara secara perlahan terus menurun. Situasi ini mirip dengan yang terjadi pada 2016 lalu saat harga batubara terperosok sampai ke level 50 dollar AS per ton.
Untuk mencegah kemerosotan harga lebih dalam, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengumumkan rencana pemotongan produksi batubara tahun ini sebesar 15-20 persen. Pemotongan produksi ini diharapkan dapat menyeimbangkan pasokan dan permintaan batubara dunia. Rencana tersebut diperkirakan akan berdampak pada target penerimaan negara bukan pajak dari sektor tambang batubara.
”Rencana pemotongan produksi tentu akan berdampak pada target penerimaan negara. Namun, menurut kami, ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan produsen batubara dengan dukungan pemerintah agar industri pertambangan batubara bisa bertahan di tengah situasi pandemi Covid-19,” ujar Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir dalam pernyataan resmi 1 Juli 2020.
Target produksi batubara Indonesia tahun ini ditetapkan sebanyak 550 juta ton. Namun, dengan rencana pemotongan produksi oleh produsen batubara dalam negeri, diperkirakan target tersebut tidak tercapai. Pada 2019 lalu, realisasi produksi batubara mencapai 610 juta ton.
Sebelumnya, Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM Jonson Pakpahan membenarkan bahwa anjloknya harga komoditas menyebabkan penerimaan negara bakal turun. Tak hanya batubara, harga mineral juga sebagian besar merosot selama pandemi Covid-19. Namun, harga komoditas tersebut diperkirakan kembali naik pada 2021.
Menurut kami, ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan produsen batubara dengan dukungan pemerintah agar industri pertambangan batubara bisa bertahan di tengah situasi pandemi Covid-19.
”Sebelum terjadi pandemi Covid-19, kami memprediksi harga batubara di tahun 2020 rata-rata sebesar 71 dollar AS per ton. Namun, kenyataannya merosot di angka 66-67 dollar AS per ton,” kata Jonson dalam sebuah webinar tentang penerimaan negara dari sektor tambang batubara yang digelar Publish What You Pay Indonesia, Jumat (5/6/2020).
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2016, besaran PNBP sektor tersebut tercatat Rp 27,2 triliun dan merangkak naik menjadi Rp 49,8 triliun pada 2017. Pada 2018, besaran PNBP turun menjadi Rp 43,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp 44,8 triliun pada 2019.