Sistem jaminan sosial semestinya terintegrasi dan diselenggarakan secara efisien sehingga mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem jaminan sosial nasional semestinya terintegrasi dan dirancang untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat Indonesia. Hal itu perlu diwujudkan dengan cara yang efisien dan optimal sehingga mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
”Sistem jaminan sosial harus menjadi satu kesatuan,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani dalam diskusi Dewas Menyapa Indonesia yang digelar BPJamsostek secara daring, Rabu (1/6/2020). Acara itu mengusung dua isu utama, yakni terkait penataan rumah rakyat serta relaksasi jaminan sosial tenaga kerja.
Menurut Hariyadi, Apindo sejak awal mendukung tersusunnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Masalah perumahan sudah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). Selain itu juga dalam PP No 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial.
”Intinya BPJS Ketenagakerjaan dapat mengalokasikan 30 persen dari JHT untuk program perumahan,” kata Hariyadi.
Kemudian terbit UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang di beberapa pasalnya mulai menyebutkan diperlukan suatu penggalangan dana untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di dalam perjalanannya muncul UU No 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mengacu UU No 1/2011.
Menurut Hariyadi, Tapera dari awal mempunyai sumber yang memang berbeda dengan SJSN. Walaupun demikian, kalau diurut sampai UUD 1945, bisa saja ketemu dasarnya.
”Poinnya adalah ketika bicara satu SJSN, situ sebetulnya sudah tercakup semua aturan mainnya, lalu muncul Tapera, yang tadinya bertujuan memberikan fasilitas untuk MBR, tentu ini sesuatu hal yang berbeda,” katanya.
Saat pembahasan awal, ketika membedah UU Tapera, Apindo melihat bahwa hal seperti ini membuat SJSN menjadi tidak terintegrasi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat, hak atas rumah dan hak atas jaminan sosial berada pada satu kluster di UUD 1945 Pasal 28 H. ”Jadi itu sebenarnya tanggung jawab negara untuk menghadirkannya kepada seluruh rakyat,” katanya.
Artinya, seluruh rakyat mempunyai hak. Namun, ada persoalan pada konstruksi di UU Tapera dengan peraturan pemerintahnya. ”Menurut saya Tapera bagus, tapi tidak bisa menjawab hak konstitusional rakyat,” ujar Timboel.
Deputi Komisioner BP Tapera, Ari Eko, mengatakan, upaya pemerintah melalui UU No 4/2016 dan PP No 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera—yang baru dikeluarkan sekitar sebulan lalu—memastikan penataan rumah rakyat menjadi keniscayaan.
Ada 12 asas pengelolaan Tapera, termasuk kegotongroyongan, kemanfaatan, dan keadilan. Tapera bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan. Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta MBR.
Visi BP Tapera adalah terwujudnya kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta MBR melalui pembiayaan dana murah berkelanjutan berlandaskan gotong royong. ”Sumber dana Tapera dari tabungan peserta dan juga sumber dana lain,” kata Ari Eko.