Penting, Basis Data Mustahik dan Muzaki dalam Pengelolaan Zakat
Dalam menyambut era digital, kepemilikan basis data mustahik dan muzaki dalam pengelolaan zakat dinilai penting. Hal ini dapat meningkatkan akurasi penyaluran zakat dan mengurangi potensi penyaluran ganda.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam menyambut era digital, kepemilikan basis data mustahik dan muzaki dalam pengelolaan zakat dinilai penting. Hal ini dapat meningkatkan akurasi penyaluran zakat dan mengurangi potensi penyaluran ganda.
Forum Zakat dan Filantropi Indonesia merilis hasil penelitian tentang kesiapan lembaga amil zakat dalam menghadapi era digital. Penelitian yang melibatkan 104 lembaga amil zakat anggota Forum Zakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota ini diselenggarakan 12 Juli-15 Oktober 2019.
Metodologi penelitian yang digunakan menggunakan metode deskripsi mendalam dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun data yang diambil sebagian besar merupakan data antara 2016-2018.
Salah satu hasil penelitian itu menunjukkan bahwa mayoritas lembaga amil zakat telah memiliki basis data mustahik (penerima zakat) dan muzaki (pemberi zakat). Dari 104 lembaga, 73 lembaga di antaranya memiliki basis data mustahik, sedangkan 75 lembaga memiliki data muzaki.
Menurut Manajer Penelitian dan Pengembangan Forum Zakat Siti Nur Rosifah, ketersediaan basis data mustahik sangat penting. Hal itu terutama berkaitan dengan penyaluran zakat. Dengan adanya basis data itu, penyaluran zakat akan lebih akurat.
”Database ini bisa menghindari penyaluran yang berulang atau menghindari mustahik yang seharusnya mendapatkan zakat, tetapi terlewat,” katanya dalam Diseminasi Hasil Riset Kesiapan LAZ dalam Menghadapi Era Digital di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Saat ini masih ada 27 lembaga belum memiliki basis data mustahik, sedangkan 24 lembaga belum memiliki basis data muzaki. Sementara itu, empat lembaga tidak menjawab tentang ketersediaan basis data mustahik dan lima lembaga tidak menjawab tentang kepemilikan basis data muzaki.
Siti menjelaskan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) saat ini tengah mengupayakan agar basis data mustahik dapat terintegrasi dengan data dari Badan Statistik Nasional, Kementerian Sosial, ataupun Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Saat ini, integrasi basis data sudah dijalin antara Baznas dan Bank Indonesia.
”Hal ini masih sebatas untuk mencatat pembayaran-pembayaran zakat dari muzaki yang melalui bank,” katanya.
Sementara itu, dalam resolusi Forum Zakat yang dikeluarkan pada 2019, penggunaan teknologi blockchain menjadi salah satu yang diusulkan dalam menyambut digitalisasi zakat. Teknologi ini memungkinkan pelacakan dana zakat sejak mulai dihimpun, saat dikelola, sampai pada tahap penyaluran.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 74 lembaga amil zakat tidak mengetahui tentang teknologi blockchain tersebut. Sementara itu, 25 lembaga mengaku sudah mengetahui, dan lima lainnya tidak menjawab.
Padahal, rencana penggunaan blockchain ini, menurut Siti, sangat bergantung pada pemahaman lembaga amil zakat terhadap sistem tersebut. ”Semakin tinggi pemahaman lembaga zakat, maka semakin besar kemungkinan mereka memanfaatkan teknologi ini,” katanya.
Siti mengatakan, pandemi covid-19 turut memberikan peningkatan pada pembayaran zakat, infak, dan sedekah secara digital. Meski begitu, persentase pembayaran lewat digital masih relatif rendah dibandingkan dengan total penghimpunannya.
Pada April 2020, jumlah penghimpunan zakat infak dan sedekah lewat kanal digital mencapai Rp 33,5 miliar dari total Rp 126,2 miliar. Pada Mei 2020, penghimpunan zakat lewat kanal digital mencapai Rp 65 miliar dari total penghimpunan Rp 180 miliar.
Secara nominal, penghimpunan melalui digital naik 94 persen dari April ke Mei. Namun, persentasenya terhadap total penghimpunan hanya naik tipis, dari 18,53 persen menjadi 19,4 persen.
Vice President Group Head Syariah Link Aja Widjayanto Djaenudin mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang cukup besar. Data dari Baznas menyebutkan bahwa potensi zakat Indonesia tahun 2019 mencapai Rp 233,84 triliun.
”Apalagi kita masuk dalam 10 besar negara paling dermawan dalam World Giving Index 2019. Pada 2018 kita bahkan nomor satu,” katanya.
Sayangnya, realisasi pencapaian dana zakat baru mencapai 4,31 persen dari potensinya. Sebagai gambaran, untuk memenuhi 30 persen kebutuhan dana sosial di Indonesia sebesar Rp 217 triliun per tahun, dana zakat yang dikumpulkan setidaknya harus mencapai 92,8 persen dari potensinya.
”Apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, optimalisasi penghimpunan zakat sangat penting,” ujar Widjayanto.
Meyakinkan masyarakat
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman menyatakan, salah satu kendala yang dihadapi untuk mengoptimalkan zakat digital adalah sulitnya meyakinkan masyarakat. Tidak sedikit yang berkeyakinan bahwa penyaluran zakat secara digital sering kali tidak merata.
Di sisi lain masih banyak masyarakat di daerah yang enggan menunaikan zakat melalui kanal digital karena adanya pengaruh kearifan lokal yang kuat. Untuk itu, edukasi masih harus digalakkan.
”Misalnya, masih banyak muzaki yang menganggap zakat tidak afdal jika tidak salaman dengan amil zakat. Mereka juga didoakan lewat proses itu,” katanya.
Dewan Pengawas Syariah Lembaga Amil Zakat Nasional Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Oni Sahroni mengatakan, pembayaran zakat yang mudah merupakan target dari maqashid syariah. Dalam hal ini, pembayaran melalui e-wallet, barcode, atau mobile banking dianggap sebagai sarana untuk mempermudah pengumpulan dan penyaluran zakat.
”Bayangkan jika pembayaran melalui sarana digital tersebut mampu meningkatkan zakat, maka kaum duafa yang terbantu juga melonjak,” katanya.
Oni menyebutkan bahwa sarana pembayaran zakat digital sudah memenuhi kriteria ijab kabul dan serah terima non-fisik. Menurut dia, hal tersebut sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembayaran Musyarakah.
Di dalamnya dijelaskan bahwa akad dituangkan secara tertulis melalui korespondensi atau dengan cara-cara komunikasi modern. ”Standar Syariah International menyimpulkan bahwa sedekah daring diperkenankan karena serah terima dan ijab kabulnya sesuai dengan kelaziman,” ujarnya.
Dalil tersebut juga berlaku untuk kurban digital. Menurut Oni, ibadah kurban memang harus dilakukan dengan menyembelih hewan tertentu. Artinya, kurban tidak bisa diganti dengan uang. Dalam konsep kurban digital, orang yang hendak melakukan kurban bisa menitipkan uang kepada amil zakat untuk dibelikan hewan.
”Kita bisa mengirimkan sejumlah uang kepada amil zakat untuk dibelikan hewan yang kita inginkan. Dengan begitu, kita tetap bisa berkurban,” katanya.