Konten unik, menarik, dan mendidik akan bertahan, tetapi konten viral yang sengaja dibuat untuk membangun fitnah, misinformasi, mengejar klik, dan kabar bohong bakal menemui ajal.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Betapa senangnya ketika sebuah konten yang kita bikin kemudian menjadi perbincangan di media sosial. Istilah yang sekarang kerap dipakai adalah konten kita menjadi viral di media sosial. Konten unik, menarik, dan mendidik akan bertahan, tetapi konten viral yang sengaja dibuat untuk membangun fitnah, misinformasi, mengejar klik, dan kabar bohong bakal menemui ajal. Ruang mereka bakal makin sempit.
Cara-cara untuk membuat konten yang viral mudah didapat. Anda cukup mengetik viral content di platform mesin pencarian, Anda akan mendapatkan berbagai cara untuk membuat konten menjadi perbincangan di media sosial. Latar belakang bagaimana sebuah konten bisa viral juga bisa didapat. Di berbagai kalangan sekarang kita mudah menemukan orang-orang yang berusaha agar konten menjadi viral, tetapi tidak sedikit orang yang membajak strategi itu untuk kepentingan politik dan bisnis.
Persoalan bahaya konten viral karena dibajak oleh sejumlah orang ini sudah lama dibahas. Di kalangan ahli pemasaran mereka telah memperingatkan, menjadi viral kadang membuat mereka terjebak pada kuantitas seperti jumlah like, komentar, dan juga seberapa banyak konten itu dibagikan, tetapi mereka melupakan kualitas konten pemasaran. Strategi konten viral juga kadang melupakan sisi-sisi lain konsumen seperti keinginan, minat, kecemasan, dan masalah mereka karena pembuat konten hanya fokus, pokoknya viral.
Kritik lainnya, mereka yang bernafsu pada konten viral berfokus sebagai tujuan akhir kerap melupakan perjalanan sebuah merek. Bila itu terjadi, merek tidak akan melekat di benak konsumen. Relasi antara merek dan konsumen terbangun melalui sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu dan ketekunan. Oleh karena itu, relasi merek dan konsumen tidak bisa dibangun hanya melalui konten viral semata.
Seorang penulis bernama Spencer Creal di laman Nonprofithub mengatakan, mereka yang memburu klik dengan konten-konten sensasional demi menjadi viral sesungguhnya tengah membunuh nilai dari merek sebuah korporasi. Oleh karena itu, Creal menyarankan para pemilik merek tetap memproduksi konten yang bagus bagi organisasi dan membiarkan dunia tahu semua yang baik yang kita kerjakan. Meningkatkan keterbacaan sebuah konten dilakukan dengan niat baik, yaitu mempermudah orang untuk mendapatkan informasi dan membuat informasi makin bermutu. Cara ini berbeda dengan konten yang sejak awal berprinsip yang penting viral.
Kini pembahasan tentang konten viral kembali muncul setidaknya lewat salah satu tulisan di laman The Guardian awal pekan ini berjudul ”No More Going Viral: Why Not Apply Social Distancing to Social Media”. Penulis artikel itu, Leo Mirani, memaparkan sejumlah fakta yang memperlihatkan para pembajak strategi konten viral tidak menunggu waktu lama lagi untuk menemui ajal. Perusahaan platform media sosial dan publik mulai mengkritik cara-cara mereka menjebak publik demi mendapatkan atensi dari pembaca.
Pada awalnya moderasi konten dianggap salah satu cara yang pas, tetapi cara ini sangat tidak masuk akal. Sehebat apa pun moderasi tidak bakal bisa menangani konten yang terus mengalir selama 24 jam. Oleh karena itu, Mirani lebih berfokus soal pengendalian sistem yang membuat viral. Pandemi saat ini memberikan pelajaran kepada kita dalam bermedia sosial. Menjaga jarak menjadi efektif untuk menekan penyebaran virus. Dalam bermedia sosial, menjaga jarak juga akan mengurangi viralitas sebuah konten.
Beberapa tahun lalu Whatsapp telah membatasi konten yang bisa dibagikan, dari tidak terbatas hanya menjadi lima kali untuk satu pesan. Dampak dari langkah ini menjadikan umur pesan menjadi pendek. Sekitar 80 persen pesan mati dalam waktu dua hari. Perubahan itu juga menyebabkan pembagian ulang konten menurun 25 persen. Aplikasi ini juga menandai konten yang sudah terlalu jenuh disebar ke mana mana. Cara ini menurunkan pembagian ulang konten hingga 70 persen untuk konten-konten yang ramai.
Beberapa tahun lalu, Whatsapp telah membatasi konten yang bisa dibagikan, dari tidak terbatas hanya menjadi lima kali untuk satu pesan. Dampak dari langkah ini menjadikan umur pesan menjadi pendek. Sekitar 80 persen pesan mati dalam waktu dua hari. Perubahan itu juga menyebabkan pembagian ulang konten menurun 25 persen. Aplikasi ini juga menandai konten yang sudah terlalu jenuh disebar ke mana mana. Cara ini menurunkan pembagian ulang konten hingga 70 persen untuk konten-konten yang ramai.
Mirani menyarankan cara yang mirip dilakukan oleh perusahaan-perusahaan platform media sosial. Ia menyarankan Facebook agar mereka bisa mengendalikan konten-konten yang dibagikan secara tidak normal melalui sistem mereka. Ia juga menyarankan fasilitas untuk membagikan konten dibikin tidak nyaman. Mereka juga perlu mendesain alarm untuk mempertanyakan apakah pengguna benar-benar berniat untuk membagikan konten itu. Twitter bisa melakukan hal yang sama, yaitu mempersulit orang untuk membagikan sebuah konten. Youtube disarankan agar mempertimbangkan diversitas konten pada fasilitas rekomendasi bagi pengguna.
Para penentang pengendalian penyebaran konten ini pasti akan beragumen, konten yang baik juga akan terkena dampak oleh pengendalian penyebaran konten, yaitu sulit disebarkan. Ia menjawab, konten yang baik memang secara alami lambat tersebar sehingga pengendalian penyebaran konten tidak akan berdampak bagi mereka yang menyebar konten-konten baik dan bermutu. Mereka tidak akan menggunakan cara-cara rekayasa emosional agar konten dibaca.
Para pembuat konten yang baik dan bermutu pada saatnya akan mendapatkan sesuatu dari kerja keras dan biaya yang selama ini dikeluarkan. Merekalah yang selama ini melayani publik agar mendapatkan informasi yang sehat. Sebaliknya para pembajak strategi konten viral pada saatnya hanya akan lelah dan kehabisan tenaga.
Kampanye #StopHateForProfit menjadi bukti bahwa publik ogah dijejali konten yang menyebarkan kebencian dan rasisme. Perusahaan platform media sosial dihukum oleh publik dan kemudian oleh perusahaan-perusahaan besar pemasang iklan karena terkesan tidak mau menekan unggahan-unggahan yang memunculkan kebencian dan rasisme. Platform juga tidak mau menandai konten yang dinilai bermasalah. Publik kemudian bersuara. Mereka ingin dunia maya diisi konten bermutu dan baik.