Regulasi Sepeda Diperlukan demi Keselamatan Pengguna
Regulasi diperlukan agar penggunaan sepeda tetap mengutamakan keselamatan dan tidak menimbulkan persoalan baru dalam transportasi nasional.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Institut Studi Transportasi menilai Kementerian Perhubungan dapat membuat regulasi khusus mengenai sepeda. Hal itu agar penggunaan sepeda tetap berkeselamatan dan tidak menimbulkan persoalan baru dalam transportasi nasional, terutama di perkotaan yang memiliki banyak kendaraan bermotor.
”Sesuai kewenangannya, pemda (pemerintah daerah) dapat membuat regulasi yang mengatur mengenai sepeda, termasuk apakah sepeda itu perlu dipajaki atau tidak,” kata Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, melalui pesan tertulis, Selasa (30/6/2020).
Menurut dia, sejak tahun 2001 Instran mendorong agar sepeda diregulasi, termasuk dipungut pajak yang di masa lalu disebut plombir. Peneng dipasang di sepeda yang pajaknya sudah dibayar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, plombir diartikan sebagai meterai dari timah dan sebagainya dipakai sebagai tanda sudah membayar pajak kendaraan.
Darmaningtyas menuturkan, sampai pertengahan dekade 1980-an di Kota Yogyakarta masih sering dilakukan operasi sepeda yang belum bayar pajak, yang dapat diketahui melalui peneng.
Sepeda juga dapat dikenai tarif parkir. ”Mengapa mereka perlu bayar pajak dan dikenai tarif parkir? Agar mereka memiliki hak yang sama dengan kendaraan bermotor,” katanya.
Selama ini, sepeda jadi kendaraan nomor ketiga setelah mobil dan sepeda motor. Pengguna sepeda sering kerepotan saat akan parkir ketika di tempat-tempat umum tidak tersedia tempat parkir.
Apabila mereka harus bayar pajak dan dikenai tarif parkir, mereka berhak menuntut penyediaan tempat parkir khusus. Mereka tidak boleh dipinggirkan. Mereka berhak memperoleh fasilitas jalur atau lajur khusus sepeda.
”Masalah berapa besaran dan tarif parkir, itu merupakan domain kebijakan teknis yang dapat ditentukan oleh setiap daerah,” katanya.
Intinya, kata Darmaningtyas, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak keliru bila mengatur sepeda. ”Oleh karena itu, tidak ada salahnya pula bila Kemenhub maupun dinas-dinas perhubungan membuat kajian sebagai dasar untuk meregulasi sepeda di era normal baru,” ujarnya.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) jelas mengatur posisi sepeda dalam sistem transportasi nasional.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi pada diskusi dalam jaringan Forum Wartawan Perhubungan di Jakarta, Jumat (26/6/2020) pekan lalu, mengatakan, UU LLAJ mengklasifikasikan moda transportasi darat menjadi dua.
Pertama, yang digerakkan dengan mesin. Kedua, digerakkan dengan tenaga manusia atau hewan. ”Sepeda—yang bukan tergolong sepeda motor—biasa diatur oleh peraturan daerah. Jadi, menurut saya, nanti akan ada dorongan juga kepada pemerintah daerah untuk mulai mengatur, minimal dengan menyiapkan infrastruktur jalan,” ujar Budi.
Sebelumnya, akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, akomodasi kepentingan kendaraan tidak bermotor harus diperkuat lagi dalam revisi UU LLAJ.