Rempah ”Bumbu Penawar Rindu” Diaspora Nusantara
Rempah-rempah di mata diaspora Indonesia bukan sekadar bumbu masak untuk memperkaya rasa. Lebih dari itu, sebagai penawar rindu kampung halaman hingga identitas kebangsaan yang dibanggakan di ”negeri orang”.
Racikan rempah-rempah Indonesia yang tertuang pada masakan Nusantara meninggalkan kesan yang khas, bahkan sulit tergantikan. Kesan ini dirindukan oleh indera pengecap para perantau yang kini tinggal di luar negeri.
Rempah-rempah di mata diaspora Indonesia bukan sekadar bumbu masak untuk memperkaya rasa. Lebih dari itu, sebagai penawar rindu kampung halaman hingga identitas kebangsaan yang dibanggakan di ”negeri orang”.
Bagi Nisa Johan (18), masakan Indonesia dan kekayaan rempah-rempahnya membawa kembali memori yang kuat akan kampung halaman. Meski terbiasa melanglang buana sejak kecil, Nisa dan keluarganya tetap tidak lepas dari cita rasa Nusantara. Saat tinggal di Kolombia, Amerika Selatan, kerinduan menikmati masakan tradisional seperti rendang dan gulai kerap terhalang sulitnya mencari bahan rempah.
Demi menuntaskan kerinduan akan masakan Indonesia, berbagai cara ditempuh, dari menitip bumbu rempah-rempah dari kerabat yang berkunjung hingga memborong bumbu masak begitu pulang ke Indonesia.
”Saking sulitnya mendapat bumbu masak di sana, ibu saya pernah memakai sereh sampai berkali-kali, disimpan, lalu dimasak lagi, sampai sudah enggak ada rasanya lagi,” tutur Nisa.
Kini, Nisa sudah berpindah negara ke Beijing, China. Di sana, sebagai mahasiswa yang tidak lagi tinggal bersama keluarganya, Nisa lebih banyak mengandalkan membeli rempah-rempah lewat toko belanja daring China, Tao Bao. Kebetulan, platform e-dagang itu kerap menjual bumbu masak khas Indonesia meski dengan harga jauh lebih mahal.
Saking sulitnya mendapat bumbu masak di sana, ibu saya pernah memakai sereh sampai berkali-kali, disimpan, lalu dimasak lagi, sampai sudah enggak ada rasanya lagi.
Menurut dia, mencari rempah-rempah di ”negeri orang” kini tidak lagi menjadi tantangan sesulit masa kecilnya di Kolombia. Sudah banyak supermarket dan toko daring yang menjual produk rempah tiap kali kerinduan akan kampung halaman muncul.
Rempah-rempah bukan sekadar bumbu masak yang memperkaya rasa. Saat rindu kampung halaman, mengecap masakan Indonesia bisa membuatnya meneteskan air mata. Nisa mengatakan, masakan Indonesia yang kaya rempah-rempah juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi para diaspora.
”Memori saya ikut melekat. Kalau kangen masakan Indo, bukan berarti kangen rasanya saja, tetapi lagi homesick, kangen Indonesia. Di sisi lain, ada kebanggaan tersendiri kalau bisa masak masakan khas Indonesia di negeri orang,” katanya.
Kesulitan mencari bumbu rempah juga kerap dirasakan Andi Renaldi (24) yang sudah empat tahun tinggal di St Petersburg, Rusia, untuk kuliah kedokteran. Secara berkala, Andi dan teman-temannya sesama komunitas warga Indonesia kerap mengadakan acara kumpul-kumpul untuk bersama-sama memasak menu Nusantara.
”Biasanya, ada saja satu atau dua rempah-rempah yang susah didapat, misalnya untuk rendang atau sop buntut,” katanya.
Baca juga : Rempah Pelecut Asa Warga Borobudur
Solusi Andi pun sama dengan Nisa, yakni menitipkan rempah-rempah dalam jumlah banyak ke teman dan kerabat yang sedang pulang ke Indonesia. ”Kalau balik ke Indonesia, saya juga sering dititipkan bumbu masak. Biasanya saya bawa satu koper, sengaja saya kosongkan, karena nanti penuh sama bumbu-bumbu rempah,” katanya.
Ia mengatakan, tidak hanya WNI, warga negara asing yang terpincut masakan Indonesia pun menitip bumbu masak. Kebiasaan ini biasanya ditemukan pada WNI yang menikah dengan warga setempat. ”Senior saya sudah lama tinggal di Rusia. Kalau dia balik ke Indonesia, mertuanya ikut menitip bumbu karena doyan masakan Indonesia,” tutur Andi.
”Medok”
Bagi Farhan Ramadzan Nursanto (22), pemuda Indonesia yang tengah menempuh studi di Perancis, bumbu masakan Indonesia lebih kompleks dibandingkan dengan masakan di negara tempat tinggalnya kini.
”Masakan Indonesia membuat saya kangen karena ada kepuasan tersendiri ketika lidah menyentuh rasa yang kompleks saat makan. Rasa yang ditimbulkan (pada masakan) pun medok atau pekat,” ujarnya saat dihubungi, Senin (29/6/2020).
Ada sejumlah rempah bumbu makanan Indonesia yang menurut Farhan sulit ditemukan di Perancis, misalnya kemiri dan lengkuas. Biasanya, dia membelinya secara dalam jaringan ke toko Indonesia atau menitip kepada rekan yang datang dari Tanah Air dan hendak ke negara tempat tinggalnya kini.
Jika ingin memasak makanan khas Nusantara, Farhan mencari bumbunya di toko-toko Asia. Sayang, toko-toko tersebut jarang menjual bumbu-bumbu berbahan baku rempah dari Indonesia.
Acap kali Farhan mengakalinya dengan membeli bumbu-bumbu kering atau bubuk, seperti pala, ketumbar, cabai rawit (dalam bentuk serbuk Cayenne Pepper), kunyit, dan jahe. ”Namun, karena tidak diproduksi di Indonesia, rasanya berbeda. Rasanya kurang ’nendang’. Kalau pakai bumbu-bumbu itu, takarannya mesti dua kali lipat dari biasanya agar terasa,” tuturnya.
Baca juga : Jalur Rempah Disiapkan Jadi Warisan Dunia
Meskipun berada di satu benua, Stephani Edwina (23), pelajar Indonesia yang tinggal di Korea Selatan, merasa kesulitan mencari bumbu-bumbu khas Indonesia. Biasanya dia mesti ke toko bernama Global Food Market yang ditempuh selamat 30 menit perjalanan dari asramanya.
Selain ke toko itu, Stephani juga dapat memperoleh bumbu-bumbu Nusantara dari Bali Resto, restoran yang menyajikan menu Indonesia dan dimiliki oleh seorang diaspora.
”Aku kangen banget makan masakan Indonesia, seperti masakan Padang, nasi uduk, bahkan bakso. Di sini masakannya cenderung terasa hambar. Bahkan, teman-temanku (yang juga dari Indonesia) mesti membawa bumbu sendiri dalam bentuk bubuk setiap mau makan di rumah makan di Korea,” katanya.
Stephani menggambarkan, rasa yang paling kuat terasa di masakan Korea ialah asam dari hasil proses fermentasi. Tentu, rasa asam ini berbeda jauh dengan yang dihasilkan oleh asam jawa.
Sebagai salah satu produsen rempah yang sudah diolah menjadi bubuk, Founder Agradaya Andhika Mahardika mengatakan, sejumlah diaspora terkadang memesan produknya dalam skala ecer. Diaspora-diaspora tersebut menghubunginya lantaran Agradaya pernah mengikuti pameran di Inggris.
Andhika menceritakan, produk yang sering dipesan oleh diaspora ialah jahe dan varian teh. ”Suhu di Benua Eropa dan Amerika itu dingin. Oleh karena itu, mereka mencari rempah yang dapat menghangatkan tubuh,” ujarnya.
”Hand-carry export”
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, diaspora memainkan peranan besar untuk membantu kinerja ekspor komoditas Indonesia, terutama rempah-rempah. Sebelum pandemi Covid-19, polanya muncul berupa hand-carry export (ekspor barang bawaan) bumbu rempah melalui barang bawaan WNI yang bepergian lintas negara.
Baca juga : Harga Bunga Pala Tertinggi dalam 20 Tahun
Setelah pandemi ini, dengan arus perjalanan orang yang berkurang drastis karena kebijakan penguncian wilayah di sejumlah negara, peluang hand-carry export itu pun menurun. Namun, diaspora tetap memainkan peran besar. Beberapa jenis rempah kini dikirimkan secara langsung ke diaspora pebisnis lokal di negara tujuan ekspor yang memiliki gudang penyimpanan.
Praktik ini sudah diterapkan di Belanda dan Australia. Produk rempah dikirim dalam jumlah besar ke diaspora Indonesia yang memiliki gudang di negara tujuan. ”Mereka yang nanti memasok ke komunitas diaspora setempat. Jadi, sifatnya bukan lagi hand-carry export, tetapi direct export. Ini salah satu cara untuk mempertahankan kinerja ekspor kita selama pandemi,” kata Kasan.