Indonesia menargetkan Jalur Rempah masuk dalam daftar sementara warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO tahun ini. Momen ini menjadi kesempatan emas untuk mengangkat produk-produk rempah khas Nusantara.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·3 menit baca
Sejak tahun lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyiapkan dokumen pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan budaya tak benda dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Targetnya, tahun ini Jalur Rempah bisa masuk dalam daftar sementara atau tentative list.
Indonesia akan melalui beberapa tahapan pengusulan dari tahun 2020 hingga 2024. Beberapa tahapan yang akan dilalui meliputi konsultasi, pengembangan pusat data dan publikasi, penyusunan dossier, kerja sama dan diplomasi, pengembangan platform budaya, dan akhirnya penetapan sebagai warisan dunia.
Tentu kabar ini sangat menggembirakan. Apalagi, CEO Komite Jalur Rempah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Ananto Kusuma Seta menyebut, sudah ada 100 kepala daerah yang berkomitmen terlibat dalam rencana ini.
Akan tetapi, apakah pengakuan dunia terhadap Jalur Rempah Nusantara menjadi satu-satunya tujuan yang mendesak dan utama pada saat ini? Pertanyaan ini bisa menjadi bahan diskusi menarik yang bisa dikupas bersama-sama.
Fakta menunjukkan, harga rempah-rempah Nusantara mengalami pasang surut serta ketidakpastian akibat cuaca, serangan hama penyakit, hingga proses pascapanen yang kurang terjaga. Meski demikian, upaya menjaga kualitas dan harga rempah telah dilakukan oleh petani, asosiasi petani, serta lembaga/instansi di beberapa tempat, antara lain dengan mengurus sertifikat indikasi geografis (SIG).
Para petani di Bangka Belitung, misalnya, bisa memiliki daya tawar lebih setelah mengantongi SIG Muntok White Pepper, juga para petani di Lampung dengan merek dagang internasionalnya Lampung Black Peper, serta para petani di Pulau Siau, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) dengan pala Siau-nya.
Kekhasan-kekhasan produk rempah Nusantara yang telah ditabalkan dengan SIG masing-masing semestinya diikuti para petani-petani lain agar produk rempah-rempah mereka terangkat ”kastanya” di panggung pasar internasional.
Lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan mace menjadi sebagian komoditas utama ekspor rempah Indonesia. Setiap tahun, ratusan juta dollar Amerika Serikat diperoleh dari ekspor lima jenis rempah tersebut. Namun, sampai sekarang, pengembangannya belum optimal.
Kondisi itu tecermin dari sejumlah masalah mendasar yang masih terjadi dan dialami petani di daerah-daerah sentra produksi, seperti pemakaian bibit unggul, pemupukan, perawatan tanaman, dan pengendalian hama penyakit yang seadanya. Upaya pengembangan rempah masih menghadapi tantangan di hulu dan hilir.
Kembali ke soal pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia, momen ini menjadi kesempatan emas untuk mengangkat produk-produk rempah khas Nusantara. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19, antara Januari hingga April 2020, permintaan rempah-rempah nasional meningkat 19,28 persen menurut catatan Kementerian Perdagangan.
Dengan demikian, pertanyaan apakah pengakuan dunia terhadap Jalur Rempah Nusantara menjadi tujuan yang mendesak dan utama bisa terjawab. Pengakuan tentu bukan menjadi satu-satunya tujuan yang mendesak dan utama. Niatan Indonesia mengangkat kembali sejarah Jalur Rempah menjadi kesempatan emas untuk bersama-sama mengangkat martabat rempah-rempah Nusantara.
Dengan demikian, kisah Jack Turner menggambarkan bagaimana rempah Nusantara begitu menggoda dan memikat dalam bukunya, Spice, The History of A Temptation, tidak hanya menjadi romantisme sejarah masa lalu. Marilah kita mengulangi kata-kata Turner…, ”Cita rasanya melayarkan ribuan kapal. Aromanya mengundang negara-negara Barat datang ke Nusantara.”