Kompetisi Virtual yang Menjadi Realitas Persaingan Usaha
Persaingan usaha di dunia digital semakin tinggi. Para pelaku usaha pun harus berstrategi untuk bertahan dan mengembangkan usaha. Adaptasi dan inovasi harus dilakukan untuk bisa bersaing dengan pelaku usaha lain.
Internet telah membuat dunia kita semakin kecil. Bahkan ketika tidak dapat bebas keluar rumah akibat Covid-19, berselancar di dunia maya untuk memenuhi berbagai kebutuhan harian menjadi pilihan banyak orang.
Hanya dengan menyentuh layar kaca pada ponsel, berbagai jenis produk lengkap dengan ulasan dan harga terpajang di etalase dan siap untuk dipilih. Persaingan usaha antarpenjual pun terjadi secara virtual.
Pemikiran ini tertuang dalam buku berjudul Virtual Competition: The Promise And Perils of the Algorithm Driven Economy. Buku terbitan Harvard University Press pada 2016 ini ditulis oleh Ariel Ezrachi dan Maurice E Stucke.
Dalam buku tersebut dituliskan, platform dalam jaringan (daring) dapat membantu mengurangi biaya dan waktu pencarian suatu produk. Pengguna juga dapat membandingkan kualitas berbagai produk beserta harganya secara langsung sehingga membantu dalam membuat keputusan.
Transparansi pasar yang terjadi tidak hanya bagi pengguna, tetapi juga bagi para penjual. Mereka dapat memetakan dan membandingkan kinerja dengan para pesaing untuk menyusun strategi usaha ke depan.
Secara umum, kehadiran marketplace dinilai telah mengurangi biaya pencarian dan menurunkan modal usaha karena tidak perlu menyewa tempat. Meski begitu, inovasi tetap diperlukan untuk bersaing dalam kompetisi virtual melalui promosi-promosi yang dilakukan.
Platform daring, dalam buku ini dikatakan, telah membuat persaingan berjalan semakin optimal karena adanya transparansi produk dan harga. Dengan begitu, monopoli dinilai tidak akan terjadi karena harga akan terus mendekati biaya marginal dan perusahaan akan berinovasi untuk tetap relevan.
Manfaatkan peluang
Indah Ananda (24) menjadi salah satu pelaku usaha yang tidak ingin kehilangan peluang usaha dari pemanfaatan platform daring. Sudah sebulan ini, ia mencoba untuk menjajakan kue buatannya di laman Instagram, Tokopedia, dan GoFood.
”Awalnya ibuku, sudah tiga tahun ini, jual jajanan pasar untuk dimasukkan ke kantor, mal, dan sekolah. Namun, karena ada Covid-19, selain sekarang bantu usaha ibu dengan jualan online, aku juga bikin kue sebagai menu baru,” kata Indah saat dihubungi Kompas, Selasa (30/6/2020).
Dalam sehari, omzet dikatakan berkisar Rp 50.000-Rp 500.000 dengan berjualan daring. Dengan peluang usaha yang menjanjikan, Indah bertekad untuk memperluas promosinya melalui berbagai media sosial dan marketplace.
”Sekarang, kan, saya promosi lewat Instagram. Saya masukkan juga produknya ke akun @jktfoodbang biar semakin banyak yang lihat. Nanti kalau sudah terkumpul uang lebih, saya rencananya mau kembangkan dengan meng-endorse dan memanfaatkan platform lain,” ujar Indah.
Menurut dia, berjualan daring saat ini memang menjanjikan, tetapi harus tetap berinovasi karena pesaing semakin banyak. Bagi pemula, menemukan keinginan pasar menjadi hal kunci untuk memulai usaha.
Selain itu, testimoni dari orang-orang terdekat dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kualitas produk. Bantuan promosi dari keluarga dan teman juga dinilai penting untuk mengenalkan produk ke pasar yang lebih luas.
”Saya juga manfaatkan berbagai layanan yang disediakan, misalnya kalau di Instagram itu ada support small business agar orang-orang sekitar Ciledug, Tangerang Selatan, tahu ada produk ini. Kalau di GoFood, saya juga ikut promo yang diadakan biar produknya bisa terlihat di depan,” kata Indah.
Poin penting berbisnis daring, kata Indah, yaitu bagaimana melihat strategi para pesaing. ”Kita harus lihat juga harga produk serupa yang dijual akun lain agar bisa tahu harga pasaran sehingga bisa tetap bersaing,” ujarnya.
Begitupun dengan Bambang Sugiharto Surya (55), pemilik restoran Mie Haw, Bakmi Ayam Halal di International Trade Center (ITC) Fatmawati, Jakarta Selatan. Baru dua bulan membuka usaha, pandemi Covid-19 datang, Bambang pun harus memutar otak untuk tetap berjualan.
Awalnya, ia mengaku bingung karena sama sekali tidak paham dengan teknik pemasaran digital. Ia pun coba menghubungi temannya yang merupakan food blogger dan cukup terkenal di dunia maya.
”Saya punya teman namanya William. Saya lihat dia itu suka mengulas makanan-makanan di media sosial. Saya bersyukur karena dia ternyata mau membantu untuk mengajarkan bagaimana berjualan online. Sekarang, menu yang tidak kelihatan menjadi terlihat di internet,” kata Bambang.
Baca juga: Dampak Paling Parah Dialami UMKM yang Andalkan Toko Fisik
Covid-19, menurut Bambang, ternyata membawa dampak positif juga bagi para pelaku usaha seperti dirinya. ”Saya sekarang jadi ’dipaksa’ belajar untuk tahu caranya berjualan online. Tampilan Instagram saya sekarang jadi bagus,” ujarnya.
Penjualan daring, kata Bambang, penting untuk terus dimaksimalkan sebagai peluang mempertahankan bisnis. Selain melalui grup Whatsapp, usaha kulinernya saat ini sudah dapat dipesan melalui media sosial Instagram, juga tersedia di GrabFood dan GoFood.
Transformasi
Setelah adanya Covid-19, melayani konsumen bukan lagi di restoran atau pun pusat perbelanjaan, melainkan bagaimana dapat menghadirkan layanan di rumah. Sebab, perilaku konsumen saat ini pun sudah berubah.
Chef sekaligus praktisi bisnis kuliner Arnold Poernomo menilai, pemanfaatan platform daring dan bermitra dengan layanan antar pesan makanan menjadi poin penting untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha. Berbagai fitur yang disediakan untuk mendukung usaha harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kata Arnold, bisnis memang sedang sulit. Namun, ada kenyataan lain, yaitu terbukanya peluang untuk memulai usaha dengan memanfaatkan platform daring.
”Mau tidak mau, arahnya memang ke digitalisasi. Sebagai pemilik bisnis kita jangan mengeluhkan, kok sulit bisnis sekarang. Solusinya itu sudah ada di depan mata, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya,” kata Arnold.
Sebagai informasi, dari catatan Asosiasi UMKM, jumlah pelaku usaha yang bertransformasi ke digital selama masa pandemi Covid-19 meningkat dari 13 persen menjadi 25 persen. Secara jumlah, ada sekitar 16 juta pelaku UMKM dari total 64,19 juta pelaku usaha yang sudah masuk dalam pasar digital.
Baca juga: Pandemi sebagai Momentum Perubahan
Keputusan bertransformasi ke digital diharapkan dapat menjadi pilihan bagi para pelaku usaha. Sebab, di era pandemi Covid-19, hanya mereka yang terhubung dengan dunia digital yang akan bertahan dan berkembang.