Pandemi membawa asa peningkatan ekspor rempah-rempah Nusantara. Namun, masih banyak hambatan yang perlu diselesaikan, terutama terkait nilai tambah dan standardisasi.
Oleh
Agnes Theodora/M paschalia judith j
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang meningkatnya ekspor rempah-rempah di tengah pandemi Covid-19 harus diiringi langkah konkret peningkatan daya saing, baik dari segi harga maupun mutu. Penjualan rempah dalam bentuk mentah serta buruknya penanganan produksi dari hulu ke hilir bisa menghalangi produk rempah Indonesia untuk kembali berjaya di pasar global.
Di tengah pandemi Covid-19, pasar ekspor rempah diprediksi prospektif. Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, pada Januari-April 2020, saat tren perdagangan dunia menurun akibat Covid-19, nilai ekspor rempah Indonesia senilai 218,69 juta dollar AS atau tumbuh 19,28 persen dibandingkan periode sama 2019.
Dalam periode itu, komoditas ekspor rempah utama yang naik daun antara lain lada piper utuh yang nilai ekspornya tumbuh 18,7 persen, cengkeh utuh (17,04 persen), pala utuh (12,11 persen), dan bubuk kayu manis (11,61 persen).
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Kasan Muhri, Senin (29/6/2020), mengatakan, tren peningkatan itu diprediksi akan terus naik di tengah kondisi negara-negara yang membutuhkan rempah-rempah untuk menjaga daya tahan tubuh di tengah pandemi. Terlebih, rempah-rempah dibutuhkan pula untuk industri kosmetik, selain makanan-minuman dan pengobatan tradisional.
Meski nilai ekspor rempah relatif kecil dibandingkan dengan ekspor nonmigas lainnya, prospek selama pandemi menunjukkan ekspor rempah akan terus meningkat selama Covid-19.
”Indikasinya, selama empat bulan pertama tahun ini saja, ekspor rempah-rempah meningkat hampir 20 persen ketika komoditas lain anjlok. Artinya, permintaan akan terus ada, prospeknya cukup besar,” katanya.
Meski nilai ekspor rempah relatif kecil dibandingkan dengan ekspor nonmigas lainnya, prospek selama pandemi menunjukkan ekspor rempah akan terus meningkat selama Covid-19.
Kendati demikian, peluang itu harus cermat disikapi lewat perubahan strategi ekspor. Anggota Dewan Rempah Indonesia, Lukman Basri, menuturkan, meski pasar ekspor rempah prospektif, daya saing rempah Indonesia di pasar global masih cenderung rendah. Indonesia saat ini menduduki posisi keenam negara eksportir rempah utama dunia, masih di bawah India, China, Vietnam, dan Madagaskar.
”Ekspor rempah Indonesia terhambat daya saing mutu yang rendah. Rempah Indonesia kerap ditolak karena kadar kandungan alfatoksin dan bakteri salmonella yang masih ditemukan di sejumlah jenis rempah, seperti pala dan lada, dua produk rempah andalan Indonesia,” tuturnya.
Menurut Lukman, kasus ini banyak ditemukan karena buruknya penanganan di proses produksi, seperti pengeringan dan penyimpanan rempah. Persoalan klasik itu juga sekarang ditambah dengan tantangan lain karena pandemi Covid-19 sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas petani rempah.
Di sisi lain, kata Lukman, dari segi daya saing harga, Indonesia masih tertinggal dari negara lain karena lebih banyak mengekspor produk rempah dalam bentuk mentah yang tidak memberi nilai tambah.
Sebagai wilayah produsen lada, Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman mengatakan, Indonesia justru ditengarai memperkaya negara lain, seperti Vietnam, yang mengimpor lada putuh muntok mentah dari Indonesia, lalu mengolah, mencampurnya, dan menjualnya ke negara lain dengan keuntungan lebih tinggi.
Ekspor rempah juga belum menyejahterakan petani lokal. Erzaldi mencontohkan, lada putih muntok Babel dari tahun ke tahun selalu terkonsentrasi pada empat perusahaan eksportir besar.
”Saya berharap pemerintah bisa memberi dukungan lebih kepada petani dan industri kecil menengah (IKM) untuk mengekspor secara langsung,” kata Erzaldi.
Indonesia justru ditengarai memperkaya negara lain, seperti Vietnam, yang mengimpor lada putuh muntok mentah dari Indonesia, lalu mengolah, mencampurnya, dan menjualnya ke negara lain dengan keuntungan lebih tinggi.
Selama ini, pelaku IKM masih menghadapi kendala standardisasi produk olahan rempah Nusantara. Padahal, standardisasi berperan signifikan untuk mengoptimalkan daya saing produk di pasar.
Direktur Jenderal IKM dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, IKM yang mengolah rempah-rempah menjadi obat-obatan herbal mesti berupaya dan mengeluarkan modal untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM).
Untuk rempah-rempah yang diolah menjadi bumbu siap pakai, IKM mesti berjibaku menghadapi uji standar kesehatan dan pengemasan. Saat ini, Kementerian Perindustrian tengah menantikan kemudahan prosedur dari BPOM bagi IKM.
”Kami juga meminta dinas-dinas di daerah untuk melatih dan membina IKM yang mengolah rempah-rempah agar dapat memenuhi standar,” ujar Gati.
Pelaku industri olahan rempah dan juga Founder Agradaya Andhika Mahardika mengaku tengah berjibaku mengupayakan standardisasi produk. Agradaya merupakan salah satu industri yang mengolah rempah-rempah langsung dari petani sehingga memberi nilai tambah. Penghasilan petani yang bermitra dengan Agradaya meningkat rata-rata sekitar tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya.
Kunci nilai tambah itu, menurut Andhika, terletak pada proses pengeringan yang membuat umur simpan dan daya tahan produk rempah-rempah meningkat. ”Saat ini, kami masih fokus menyasar pasar dalam negeri. Namun, kami juga melayani pembelian skala ecer dari warga Indonesia yang tinggal di luar negeri,” katanya.
Indikasi geografis
Untuk meningkatkan nilai tambah, Indonesia akan mulai memangkas ekspor rempah mentah. Program pemberdayaan kepada petani dan IKM akan dilakukan agar produk rempah diolah dan dikemas sebelum diekspor.
”Pelan-pelan, sudah mulai mengarah ke sana, kalau mau merebut peluang. Komoditas ini rentan dari sisi harga, jadi harus distabilkan lewat pemberian nilai tambah,” kata Kasan.
Pemerintah juga membantu pengusaha mengembangkan sertifikasi indikasi geografis (IG). Selain menonjolkan keunikan produk daerah dan menambah nilai produk rempah, sertifikasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan harga jual dan menguntungkan petani.
Ada 11 komoditas rempah Indonesia yang sudah mendapat sertifikasi IG. Beberapa di antaranya, cengkeh minahasa (Sulawesi Utara), cengkeh moloku kie raha (Maluku Utara), lada putih muntok (Babel), lada hitam lampung, lada luwu timur (Sulawesi Selatan), pala tomandin fakfak (Papua Barat), dan pala kepulauan banda (Maluku).