Dalam pidato berdurasi 10 menit 20 detik itu, Jokowi juga menyebutkan bahwa negara tengah berada dalam kondisi krisis serta meminta jajaran kabinet memiliki ”sense of crisis” yang sama.
Oleh
hendriyo widi/karina isna irawan/agnes theodora
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat ekonomi dunia dan nasional kian tidak pasti. Dinding-dinding kokoh negara, bahkan sebuah negara adidaya pun, dengan mudah disusupi dan diporakporandakan. Tak mengherankan jika beberapa kalangan menyebut krisis ekonomi akibat penyakit yang disebabkan virus korona baru ini secara beragam.
Di awal kemunculannya, sejumlah ekonom pasar modal menyebut krisis itu sebagai kejutan yang menghadirkan ketidakpastian, yang diistilahkan sebagai ”angsa hitam” (black swan). Terminologi ini merujuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga yang terjadi serta memberi dampak masif. Dalam kacamata ekonomi, sebuah kejutan yang mengganggu persepsi dan menimbulkan sentimen negatif bisa berakibat timbulnya gejolak, bahkan krisis.
Ada juga yang mengistilahkan sebagai krisis akibat rambatan kebocoran tak kasatmata. Sekali ada lubang di satu titik dan tidak segera diketahui, Covid-19 bisa menggerogoti berbagai lini kehidupan. Ibarat ban kendaraan bermotor yang bocor halus, kalau tidak dideteksi dengan baik, kebocoran itu baru diketahui setelahnya atau bahkan bisa membahayakan pengemudinya jika kebocoran semakin besar.
Sementara itu, dalam laporan terbaru berjudul ”A Crisis Like No Other, an Uncertain Recovery” pada 27 Juni 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kondisi ketidakpastian ini sebagai a crisis like no other atau krisis yang lain daripada yang lain. Krisis luar biasa yang disebut-sebut juga sebagai ”Great Lockdown”.
IMF menyebut kondisi ketidakpastian ini sebagai a crisis like no other atau krisis yang lain daripada yang lain. Krisis luar biasa yang disebut-sebut juga sebagai ”Great Lockdown”.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutnya sebagai sebuah krisis ekonomi yang membuat banyak negara berjalan di titian tali. Metafora itu tertuang dalam judul laporan ekonomi OECD Juni 2020 berjudul ”The World Economy on a Tightrope".
Bank Dunia juga tidak tinggal diam dengan menyebutnya sebagai krisis yang akan menyebabkan resesi terdalam sejak Perang Dunia II (1939-1945). Pandemi Covid-19 memang bukan hanya persoalan kesehatan. Pandemi juga menggerogoti ekonomi dunia, ekonomi setiap negara. Efek domino ketidakpastiannya membuat setiap negara dan lembaga internasional berulang kali mengoreksi pertumbuhan ekonomi, bahkan berkali-kali menggaungkan bahaya resesi.
Pada 2020, IMF memperkirakan ekonomi dunia tumbuh minus 4,9 persen. Sebelumnya, pada April 2020, IMF memproyeksikan ekonomi dunia tumbuh minus 3 persen. IMF juga menyebutkan, negara-negara mitra dagang utama Indonesia akan mengalami kontraksi ekonomi terberat. Ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan terkontraksi sebesar 8 persen dan Uni Eropa rata-rata 10,2 persen.
Di Asia, ekonomi Jepang diperkirakan tumbuh minus 5,8 persen, China tumbuh 1 persen, dan India minus 4,5 persen. Adapun ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan minus 3 persen.
Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global bisa tumbuh minus 5,2 persen pada tahun ini. Hal ini terjadi karena rantai pasok perdagangan global dan keuangan dunia terganggu. Bank Dunia juga menyebutkan, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan minus 2,5 persen dan pendapatan per kapita turun 3,6 persen.
Bahkan, OECD menyajikan dua skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia berdasarkan ada atau tidaknya gelombang kedua Covid-19. Jika terjadi gelombang kedua Covid-19, ekonomi global diperkirakan tumbuh minus 7,6 persen tahun ini. Jika gelombang kedua tidak terjadi, ekonomi global bisa tumbuh minus 6 persen tahun ini.
Namun, angka pengangguran tetap akan meningkat tajam dari 5,4 persen tahun 2019 menjadi 9,2 persen tahun 2020. Kenaikan angka pengangguran dan kemiskinan harus diwaspadai semua negara.
Khusus Indonesia, OECD menyebutkan, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan minus 2,8 persen jika tekanan ekonomi dari sisi penawaran, permintaan, dan perdagangan hanya terjadi satu kali. Namun, apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh minus 3,9 persen.
Pemerintah Indonesia memperkirakan, ekonomi nasional tumbuh di rentang 1 persen hingga minus 4 persen. Berdasarkan prediksi pertumbuhan ekonomi tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk atau 26,2 juta-27,5 juta orang. Artinya, ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin sepanjang 2020.
Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berdampak pada peningkatan kerentanan masyarakat untuk jatuh miskin. Penduduk di kelompok menuju kelas menengah berpeluang 55 persen menjadi kelompok rentan. Adapun rata-rata peluang penduduk miskin menjadi miskin kronis 55 persen.
Mengutip riset World Data Lab yang dirilis Mei 2020, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan peningkatan angka kemiskinan tertinggi akibat Covid-19, yaitu sekitar 3 juta orang. Peringkat pertama ditempati India, sebanyak 10 juta orang, disusul Nigeria, yakni 8 juta orang.
Marah-marah Jokowi
Pada Minggu (28/6/2020), video Presiden Joko Widodo marah-marah dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada 18 Juni 2020 viral setelah diunggah di Yuotube Sekretariat Presiden.
Jokowi marah kepada jajaran kabinetnya karena melihat belum ada kemajuan progres penanganan pandemi Covid-19. Presiden menilai, mereka bekerja biasa-biasa dan menyebut tidak akan segan membubarkan lembaga negara dan melakukan pergantian (reshuffle) kabinet.
Presiden menilai, mereka bekerja biasa-biasa dan menyebut tidak akan segan membubarkan lembaga negara dan melakukan pergantian (reshuffle) kabinet.
Dalam pidato berdurasi 10 menit 20 detik itu, Jokowi juga menyebutkan bahwa negara tengah berada dalam kondisi krisis dan meminta jajaran kabinet memiliki sense of crisis yang sama. Presiden juga mengutip proyeksi pertumbuhan ekonomi OECD dan Bank Dunia serta meminta jajarannya berhati-hati dan sigap mencermati kondisi perekonomian.
Keseriusan pemerintah menangani Covid-19 di berbagai sektor kehidupan memang tengah ditunggu-tunggu hasilnya. Apalagi, dana yang dialokasikan pemerintah untuk menangani Covid-19 sangat besar. Pada 16 Juni 2020, pemerintah telah mengalokasikan biaya penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun.
Dana tersebut dibagi untuk sektor kesehatan (Rp 87,55 triliun), perlindungan sosial (Rp 203,9 triliun), insentif usaha (Rp 120,61 triliun), insentif UMKM (Rp 123,46 triliun), pembiayaan korporasi (Rp 53,57 triliun), serta kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (Rp 106,11 triliun).
Terkait dengan anggaran penangaan Covid-19 itu, dalam pidatonya, Jokowi menyinggung mengenai minimnya serapan dana di sektor kesehatan. Presiden menyebut, realisasi anggaran kesehatan tersebut baru 1,53 persen. Adapun terkait dana bantuan sosial, Jokowi menilai sudah lumayan penyalurannya. Namun dia meminta agar segera dicairkan semua (100 persen) untuk menangani kondisi yang luar biasa ini.
Penggunaan dana tersebut memang tengah disorot publik, baik terkait realisasi serapan, tepat sasaran atau tidak, pengawasan, maupun transparansinya. Artinya, tidak hanya uang negara yang merupakan uang rakyat yang dipertaruhkan. Kinerja dan kebecusan setiap kementerian/lembaga terkait juga dipertaruhkan.