Sejumlah sentimen masih akan mengambil kendali atas fluktuasi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di sepanjang paruh kedua tahun 2020.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stimulus berupa relaksasi biaya, yang digelontorkan otoritas bursa, dianggap belum cukup untuk kembali membuat pasar modal bergairah seperti sedia kala. Namun, secara psikologis, berbagai stimulus yang ada bisa menarik minat pelaku pasar untuk berinvestasi ataupun mencari sumber pendanaan di pasar modal.
Sebelumnya, seluruh otoritas pasar modal, yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), menerbitkan berbagai macam pelonggaran.
BEI meluncurkan stimulus berupa diskon 50 persen bagi pencatatan saham perdana bagi perusahaan publik, berlaku mulai 18 Juni sampai dengan 17 Desember 2020. Adapun KPEI menerapkan relaksasi atas dana jaminan anggota kliring yang sebelumnya sebesar 0,01 persen menjadi 0,005 persen dari nilai setiap transaksi bursa atas efek bersifat ekuitas.
Sementara KSEI bakal memberikan diskon biaya jasa, pembebasan biaya jasa, dan pembiayaan. Stimulus ini diarahkan untuk menyentuh perusahaan penerbit efek, perusahaan efek dan bank kustodian, serta industri reksadana hingga ke investor.
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi dalam telekonferensi, Jumat (26/6), menyatakan, total stimulus yang diberikan senilai Rp 133,8 miliar. ”Stimulus ini sudah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kami memahami pandemi Covid-19 ini memperberat kondisi bursa,” ujarnya.
Menurut Direktur Penilaian Perusahaan BEI, IGD Nyoman Yetna Setia, stimulus yang diberikan BEI pada calon emiten berupa potongan harga 50 persen apabila ingin melantai di bursa. Normalnya, perusahaan baru yang hendak mencatatkan saham pertama kali mesti membayar Rp 25 juta-Rp 250 juta di papan utama dan Rp 25 juta di papan akselerasi.
Sejauh ini, BEI mencatat, terdapat 21 perusahaan yang berencana melantai di bursa saham. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di sektor perdagangan, jasa, dan investasi; properti, real estate, dan konstruksi; pertanian; industri dasar dan kimia; keuangan; serta barang konsumsi. Nyoman menyebutkan, 11 dari 21 perusahaan tersebut tergolong besar karena nilai asetnya di atas Rp 250 miliar.
Hingga saat ini, sebanyak 28 perusahaan telah mencatatkan saham perdananya di bursa selama 2020. Adapun sepanjang 2019, terdapat 55 perusahaan emiten baru di bursa saham.
Bukan faktor utama
Analis pasar modal dari Avere Mitra Investama, Teguh Hidayat, berpendapat, stimulus-stimulus tersebut tak menjadi solusi bagi persoalan utama saat ini. Perbaikan industri manajemen investasi lebih esensial dibandingkan dengan stimulus tersebut.
Teguh menuturkan, nilai transaksi pasar modal di Indonesia saat ini didominasi oleh investor institusi yang dananya secara umum dikelola oleh manajer investasi. Sayangnya, sejumlah manajer investasi menjalankan praktik yang tidak akuntabel sehingga memunculkan kasus gagal bayar di tengah masyarakat. Hal inilah yang menjadi sumber kerapuhan pasar modal nasional.
Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, stimulus yang diberikan BEI secara psikologis dapat menimbulkan dampak positif karena kondisi saat ini membuat para pelaku pasar membutuhkan efisiensi biaya. Namun, investor akan lebih berhati-hati dalam melakukan investasi jangka panjang.
”Dari sisi besaran nominal untuk keseluruhan proses dan biaya, stimulus tersebut belum terlalu menjadi faktor utama untuk menggairahkan pasar,” ujarnya.
Adapun hal yang perlu dilakukan pemangku kebijakan pasar modal untuk mengembalikan gairah pasar, menurut Aria, adalah edukasi publik untuk berinvestasi jangka panjang. Agar edukasi publik dapat optimal, otoritas terkait perlu memberi arahan terkait cara memilih emiten yang kinerjanya baik untuk dipilih sebagai investasi.
Dihubungi secara terpisah, analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, salah satu sentimen utama yang akan menentukan arah IHSG adalah laporan keuangan emiten pada triwulan II-2020. Data keuangan di periode ini akan menjadi pembuktian asumsi pelaku pasar mengenai efek pandemi Covid-19 terhadap kinerja perusahaan.
Sentimen utama yang akan menentukan arah IHSG adalah laporan keuangan emiten pada triwulan II-2020.
”Laporan keuangan triwulan II-2020 akan menjadi pembuktian asumsi mengenai efek pandemi karena pada triwulan I-2020, pemerintah terkesan agak terlambat menangani Covid-19,” ujar William.
Adapun sentimen internal yang tidak kalah kuat dalam menyetir pergerakan IHSG di semester II-2020 adalah perkembangan kasus korupsi Jiwasraya. Pelaku pasar cenderung menunggu kelanjutan dari kasus ini, sebelum membuat keputusan transaksi atau investasi di pasar modal.
Di sisi lain, kejelasan mengenai kelanjutan PSBB juga akan menjadi perhatian pasar memasuki paruh kedua di tahun 2020. ”Sentimen-sentimen domestik tersebut memiliki pengaruh lebih kuat dalam menggerakkan IHSG,” kata William.
Sementara itu, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai sentimen global yang akan mewarnai pergerakan pasar modal sepanjang pekan ini masih akan berkutat pada kekawatiran lonjakan kasus Covid-19 yang telah mendorong potensi lockdown di sejumlah negara bagian Amerika Serikat dan negara Eropa.
Selain itu, sentimen global lainnya adalah data pengangguran tidak sebaik yang di harapkan yang mengonfirmasi prediksi Hans bahwa pembukaan ekonomi tidak mengembalikan daya beli. ”Pasar perlu konfirmasi kenaikan daya beli dan perbaikan data ekonomi sesudah pembukaan ekonomi,” ujar Hans.