Menunda Wisata, Menunda Rasa Jatuh Cinta
Ingat saat pertama kali menapakkan kaki di tempat baru, merasa takjub dan berdebar-debar seperti jatuh cinta? Bagaimana jika jatuh cinta itu mesti tertunda?
Melancong atau berwisata punya beragam makna bagi setiap orang. Namun, pengalaman atau sensasinya hampir menciptakan rasa senang dan bahagia yang sama, hingga membuat ketagihan. Seperti jatuh cinta!
Akibatnya, berwisata tak lagi jadi kegiatan yang dilakukan saat sedang ada sisa waktu. Banyak yang merencanakan wisata jauh-jauh hari. Pertimbangannya, selain waktu libur, juga memesan tiket transportasi dan akomodasi.
Bagi sebagian orang, berwisata ditunjukkan melalui gaya di depan kamera, lalu eksis di media sosial.
Namun, bagaimana jika tawa tak terlihat di kamera karena tertutup masker? Atau debar saat menginjakkan kaki di tempat baru berganti dengan debar khawatir karena protokol kesehatan terlalu longgar? Atau rasa senang berubah menjadi panik saat teman seperjalanan mendadak terbatuk-batuk?
Pandemi Covid-19 mengubah banyak hal dalam kehidupan, termasuk berwisata. Banyak hal yang mesti diadopsi dalam kegiatan wisata. Perlengkapan wajib yang mesti digunakan selama pandemi Covid-19 dan vaksin belum ditemukan adalah masker. Tak lupa sering mencuci tangan menggunakan sabun, menjaga jarak dengan orang lain, dan berolahraga agar sehat.
Bayangkan saja jika hal tersebut dilakukan di sepanjang perjalanan, di tempat wisata, atau kembali ke rumah. Ditambah lagi ada risiko bertemu orang tanpa gejala selama berwisata, namun bisa menularkan Covid-19.
Ada yang bersedia menunda merasakan jatuh cinta pada tempat baru selama pandemi Covid-19 belum usai. Namun, ada juga yang tetap ingin menikmati debar antusias saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat baru meski dunia sedang dikepung Covid-19.
Saselia Dela yang tinggal di Jawa Barat ”menyerah” untuk bepergian selama pandemi Covid-19. Jika benar-benar sudah tak tahan ingin mencari suasana baru, pilihan paling masuk akal baginya adalah menginap di sebuah hotel di Jakarta. Ia mempertimbangkan untuk tinggal di sarana akomodasi yang menerapkan protokol kesehatan secara ketat karena tidak mau mengambil risiko tertular Covid-19.
Kekhawatiran dirasakan Michael D yang tinggal di Jakarta. Ia sebenarnya sudah berencana liburan ke Thailand pada akhir tahun ini. Namun, Michael memilih untuk menundanya. Pertimbangannya terutama dari sisi kesehatan di sepanjang perjalanan dan saat bertemu dengan banyak orang di tempat wisata.
Pemerintah telah menerbitkan berbagai aturan agar masyarakat produktif dan aman Covid-19, salah satunya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 yang diterbitkan pada 19 Juni 2020. Keputusan Menkes itu berupa protokol kesehatan bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum dalam rangka pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Di masa pandemi Covid-19, kapasitas tempat menginap hanya bisa diisi setengahnya. Interaksi antar-orang dibatasi. Restoran hanya bisa diisi setengahnya dengan jarak aman droplet antar-pengunjung. Sarana transportasi tak bisa diisi penuh karena harus memberi jarak aman bagi penumpang.
Batas maksimal bisa diatasi dengan menerapkan sistem pemesanan. Sistem yang sudah banyak diterapkan hotel dan restoran ini bisa diperluas di banyak tempat, namun dengan penerapan yang lebih ketat. Jika batas maksimal sudah tercapai, pemesanan ditutup. Tak ada toleransi dalam penerapan protokol kesehatan. Sebab, kita berurusan dengan virus yang tak menoleransi kelengahan kita dalam mematuhi protokol kesehatan.
Selain masyarakat, pengelola fasilitas juga mesti mematuhi panduan kesehatan. Bentuknya antara lain mendisinfeksi sarana yang digunakan masyarakat, misalnya kamar hotel, kursi pesawat terbang, atau meja di restoran.
Director of Communications Shangri-La Hotel Jakarta Debby Setiawaty menyebutkan, hotel menjaga dan meningkatkan layanan dan standardisasi, khususnya kebersihan. Tujuannya, menjaga kenyamanan dan kepercayaan tamu. Hotel juga menyediakan masker dan penyanitasi tangan bagi tamu.
”Dengan cara itu, tamu merasa aman untuk bertemu, bersantap, dan menginap di hotel,” katanya.
Sementara Direktur Utama PT Pelni (Persero) Insan Purwarisya L Tobing mengatakan, transportasi dijaga agar berjalan aman, selamat, dan sehat. Untuk itu, protokol kesehatan dipatuhi, antara lain dengan menerapkan batas maksimal penumpang, menyediakan penyanitasi tangan, dan mendisinfeksi kapal.
Pariwisata tak hanya berkaitan dengan urusan keindahan destinasi wisata. Namun, pariwisata berurusan juga dengan hal lain, di antaranya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, makan dan minum di lokasi wisata, menginap, serta membeli cendera mata.
Ada harga untuk segala urusan itu. Di masa pandemi Covid-19, masyarakat semakin terbiasa membayar secara nontunai. Kebiasaan ini diakomodasi bank dan pengelola dompet elektronik untuk memperluas jaringan agar masyarakat semakin mudah bertransaksi.
Pengeluaran ekstra yang mesti dikeluarkan pengelola jasa aktivitas wisata bisa jadi akan ditanggung wisatawan. Kursi sarana transportasi yang kosong agar kapasitas maksimal tak melebihi aturan, misalnya, membuat harga tiket yang ditanggung penumpang meningkat. Adapun upaya menjaga kebersihan dan mecegah penularan Covid-19 mungkin saja dinyatakan sebagai biaya operasional dan diperhitungkan dalam harga layanan.
Percaya
Pandemi Covid-19 meruntuhkan industri pariwisata di banyak negara, bahkan di dunia. Sektor yang berlandaskan kepercayaan dan rasa aman wisatawan itu porak poranda karena warga dunia tinggal di rumah untuk mencegah penularan Covid-19.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) dengan tegas meminta warga dunia tinggal di rumah selama pandemi Covid-19. Organisasi ini bahkan mengusung tagar #TravelTomorrow atau mengajak masyarakat berdiam diri lebih dulu sehingga bisa melancong lagi saat kondisi dunia mulai pulih.
Meski demikian, UNWTO menyebutkan, seiring pelonggaran karantina wilayah, sejumlah negara mulai membuka sektor pariwisata kembali. Langkah yang dilakukan dengan protokol kesehatan ini mempertimbangkan peran besar sektor pariwisata terhadap perekonomian negara itu.
Di Indonesia, peran sektor pariwisata sebesar 4,7 persen produk domestik bruto (PDB) dan menciptakan 1 dari 10,3 lapangan kerja pada 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku per akhir 2019 sebesar Rp 15.833 triliun.
Data yang dihimpun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), devisa dari sektor pariwisata pada 2019 sebesar 19,7 miliar dollar AS. Adapun tenaga kerja yang diserap sektor ini sebanyak 12,6 juta orang. Berdasarkan data Bank Indonesia, sebanyak 16,163 juta orang melancong ke Indonesia pada 2019.
Hantaman pandemi Covid-19 terhadap sektor pariwisata tak hanya berdampak langsung, yakni kamar hotel dan penginapan yang kosong serta jumlah penumpang pesawat dan moda transportasi lain yang anjlok. Ketiadaan turis juga membuat penyedia makanan dan minuman, khususnya di destinasi wisata, tak mendapat pemasukan, bahkan gulung tikar. Jasa kesenian, hiburan, dan rekreasi yang mengandalkan kegiatan wisata pun menganggur.
Ada juga dampak tak langsung, misalnya di sektor perdagangan dan penunjang usaha. Dampak itu tak hanya dari sisi devisa, namun juga dari serapan tenaga kerja yang merosot.
Indonesia juga berencana mengaktifkan kembali sektor pariwisata.
Terkait rencana itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menekankan, protokol kesehatan mesti dilaksanakan.
Sementara Direktur Komunikasi Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Martini Mohammad Paham meyakini, perilaku wisatawan akan berubah dan menyesuaikan dengan situasi terkini. ”Wisatawan mungkin cenderung berwisata dalam grup kecil atau bersama keluarga yang diyakini sama-sama sehat. Karakter ini akan memengaruhi pelaku industri untuk menyesuaikan lagi paket-paket wisata yang ditawarkan,” kata Martini.
Perubahan dalam sektor pariwisata akan terjadi. Wisatawan tinggal memilih, siap atau tak siap menjalani perubahan. Selanjutnya, pilih menunda keluar rumah atau tetap melangkahkan kaki ke tempat baru dengan mematuhi protokol kesehatan. (LKT/AGE/CAS/DIM/JUD)