Nasabah reksa dana pada 13 perusahaan manajemen investasi yang ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya diminta tidak khawatir dengan investasinya.
JAKARTA, KOMPAS - Nasabah reksa dana pada perusahaan manajemen investasi, khususnya 13 perusahaan yang ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi di PT Jiwasraya Asuransi (Persero), diminta tidak khawatir dengan investasinya. Selain 13 perusahaan itu tetap beroperasi, proses hukum juga terbatas pada reksa dana dan investasi dari pengelolaan keuangan Jiwasraya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyampaikan hal tersebut di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Ia menambahkan, setiap portofolio reksa dana dikelola secara terpisah sehingga tidak serta-merta memengaruhi produk reksa dana lain.
”Sepanjang produk reksa dana lainnya yang dikelola 13 perusahaan itu tidak ada hubungannya dengan pengelolaan keuangan PT Asuransi Jiwasraya, para nasabah tidak perlu khawatir,” ucapnya.
Kejagung menduga 13 perusahaan itu terkait dengan penempatan dana bermasalah dari Jiwasraya 2014-2018. Akibatnya, kerugian negara mencapai Rp 12,157 triliun atau sebagian besar dari total kerugian negara dalam kasus Jiwasraya yang diperkirakan Rp 16,81 triliun.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo membenarkan 13 perusahaan manajemen investasi itu tetap dapat beroperasi normal. ”Tidak ada pembatasan operasional dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi berpendapat, investasi nasabah reksa dana yang dikelola oleh 13 perusahaan manajemen investasi tersebut mestinya terlindungi karena di bawah tanggung jawab bank kustodian.
Reformasi OJK
Terkait penetapan tersangka salah satu pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kasus Jiwasraya, dosen Program Master Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Kapler Marpaung, mendorong agar OJK melakukan reformasi internal secara serius dan memperketat kontrol transaksi yang dilakukan oleh perusahaan manajemen investasi.
”Buatlah aturan yang bisa membuat apa yang dilakukan oleh manajer investasi bisa dilihat. Kalau OJK tak bisa mengetahui transaksi di manajer investasi, OJK di dalam proses reformasi bikinlah aturan agar OJK bisa lihat transaksi itu ke depan,” kata Kapler.
Hal itu penting karena kasus Jiwasraya menunjukkan lemahnya pengawasan di industri keuangan non-bank (IKNB) oleh OJK. Selama ini, OJK hanya mengatur teknis alur investasi, sedangkan yang paling mengetahui aliran uang investasi itu adalah pasar modal.
Peran pejabat OJK
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, FH, pejabat di OJK yang ditetapkan tersangka, disebut mengetahui adanya penyimpangan transaksi saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP) yang harga sahamnya digelembungkan secara signifikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro dan dijadikan portofolio reksa dana 13 perusahaan manajemen investasi.
FH selaku Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal OJK mengetahuinya berdasarkan laporan pengawasan dari Direktorat Transaksi Efek/Saham (DPTE) OJK.
Benny dan Heru berstatus terdakwa bersama empat terdakwa lain dalam kasus Jiwasraya dan saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
FH juga disebut mengetahui pengelolaan investasi khusus reksa dana dari saham IIKP yang harganya sudah digelembungkan oleh Heru dan Benny menjadi portofolio produk reksa dana yang dikelola ke-13 perusahaan manajemen investasi. Hal ini berdasarkan temuan Direktorat Pengelolaan Investasi (DPIV) OJK.
”Namun, berdasarkan fakta yang ditemukan DPTE dan DPIV itu, FH tak memberikan sanksi yang tegas terhadap produk reksa dana itu karena FH telah memiliki kesepakatan dengan Erry Firmansyah dan Joko Hartono Tirto, yang mana keduanya pihak terafiliasi dengan Heru,” kata Hari.
Alhasil, investasi PT Jiwasraya tetap berjalan. ”Akibat dari perbuatan FH yang tidak memberikan sanksi tegas terhadap produk reksa dana dimaksud pada 2016 menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi PT Asuransi Jiwasraya pada 2018 hingga mencapai Rp 16,8 triliun sesuai LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) 2020,” tambahnya.