Publikasikan Serapan Dana Penanganan Covid-19 secara Berkala
Selama ini belum pernah ada publikasi serapan dana Covid-19. Transparansi diperlukan. Pemerintah akan mempublikasikan penggunaan dana itu secara berkala.
Oleh
Agnes Theodora/sharon patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Untuk menjawab kritik atas pengelolaan dana penanganan Covid-19 yang tidak transparan, pemerintah membentuk tim monitoring dan evaluasi yang bertugas menyosialisasikan penggunaan anggaran secara berkala ke publik. Pemerintah juga akan berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk melaporkan secara rutin implementasi penggunaan uang tersebut.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, Jumat (26/6/2020) mengatakan, tim monitoring dan evaluasi sudah bekerja mulai Juni 2020 ini. Tugas awalnya adalah menyiapkan dan memetakan data-data awal serta regulasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tim ini juga bertugas memantau pelaksanaan kegiatan dan anggaran PEN agar efektif.
Ke depan, untuk memenuhi pertanggungjawaban dana ke publik, tim ini akan secara berkala menyosialisasikan penggunaan dana penanganan Covid-19 ke publik. Salah satunya, melalui konferensi pers bulanan secara rutin lewat laporan kinerja APBN KiTa.
Menurut Askolani, cakupan tim monitoring dan evaluasi yang saat ini masih di bawah Kementerian Keuangan juga dapat diperluas hingga berkoordinasi dengan institusi negara lain, berhubung anggaran Covid-19 dikelola lintas kementerian/lembaga (K/L).
“Kami sedang mengoordinasikan hal ini. Saat ini, tim monitoring dan evaluasi masih dibentuk untuk internal Kementerian Keuangan. Tapi ke depan, dimungkinkan melakukan koordinasi dengan K/L terkait, termasuk dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan,” kata dia saat dihubungi di Jakarta.
Saat ini, tim monitoring dan evaluasi masih dibentuk untuk internal Kementerian Keuangan. Tapi ke depan, dimungkinkan melakukan koordinasi dengan K/L terkait, termasuk dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan.
Sebelumnya, transparansi pengelolaan dana penanganan Covid-19 menjadi sorotan publik. Pasalnya, dana tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu, tetapi tidak diiringi dengan transparansi realisasi penggunaan dana. Laporan dana Covid-19 yang dibuka ke publik hanya menampilkan besaran kerangka anggaran yang dialokasikan, tetapi besaran dana yang terpakai dan peruntukannya tidak dibuka ke publik.
Awalnya, pada pertengahan Maret 2020, dana penanganan Covid-19 yang dialokasikan melalui APBN sebesar Rp 121,3 triliun, kemudian meningkat pada April menjadi Rp 405,1 triliun. Selang dua bulan, pada 3 Juni, dana kembali ditambah menjadi Rp 677,2 triliun.
Pada 16 Juni, total biaya penanganan Covid-19 itu kembali bertambah menjadi sebesar Rp 695,2 triliun. Dana tersebut dibagi untuk sektor kesehatan (Rp 87,55 triliun), perlindungan sosial (Rp 203,9 triliun), insentif usaha (120,61 triliun), insentif UMKM (123,46 triliun), pembiayaan korporasi (Rp 53,57 triliun), dan sektoral kementerian lembaga serta pemerintah daerah (Rp 106,11 triliun).
Pemerintah diberikan keleluasaan mengatur dana penanganan Covid-19 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
UU yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 itu kini sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi. UU itu digugat karena dinilai mengatur imunitas hukum pemerintah dan otoritas terkait dalam mengelola uang negara. Hal itu merujuk pada Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan, belum pernah ada evaluasi terhadap penggunaan dana yang sudah berjalan. Besarnya kerangka anggaran dibuat tanpa melihat sudah seberapa besar penyerapan yang mampu dilakukan. Sementara itu, dana penanganan Covid-19 terus meningkat.
Sebagai contoh, terkait anggaran di sektor kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun atau kurang dari 15 persen total dana penanganan Covid-19. Penyerapan dana di sektor kesehatan pun baru 1,54 persen, yang artinya dukungan penanganan Covid-19 menjadi tidak memadai.
Saya yakin, hampir lebih dari 50 persen itu enggak tepat sasaran. Potensi korupsi secara sistematis itu terjadi, yang akhirnya mendorong konsumsi menjadi tidak efektif.
Sama halnya terkait dana perlindungan sosial yang mendapat porsi terbesar, yakni Rp 203,9 triliun dengan penyerapan sebesar Rp 28,63 persen. Namun, daya beli masyarakat tetap rendah jika melihat dari perkiraan pertumbuhan ekonomi pada triwulan-II sebesar negatif 3,8 persen.
”Ini menandakan bantuan sosial tidak mampu mendongkrak konsumsi masyarakat. Saya yakin, hampir lebih dari 50 persen itu enggak tepat sasaran. Potensi korupsi secara sistematis itu terjadi, yang akhirnya mendorong konsumsi menjadi tidak efektif,” kata Tauhid.