Perluas Bantuan Langsung Tunai agar Daya Beli Tumbuh
Target penerima bantuan langsung tunai perlu diperluas bukan hanya untuk kelompok miskin, melainkan juga bagi kelompok menuju kelas menengah yang rentan jatuh miskin karena tidak memiliki tabungan cukup.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi keuangan rumah tangga di Indonesia jauh lebih buruk ketimbang sebelum Covid-19. Jika dibiarkan, kemiskinan bisa semakin bertambah. Lonjakan kemiskinan akibat pandemi itu hanya bisa dicegah dengan menumbuhkan daya beli masyarakat, salah satunya melalui perluasan bantuan langsung tunai.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terhadap 1.978 responden di 34 provinsi Indonesia pada 18-20 Juni 2020 menunjukkan, sekitar 71 persen responden mengaku kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Mayoritas responden sebesar 76 persen pendapatannya merosot akibat Covid-19.
Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando menuturkan, pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap rumah tangga dengan mata pencarian sebagai sopir, ojek, pedagang warung, kaki lima, buruh, bahkan calon pekerja atau yang masih mencari pekerjaan. Pendapatan mereka berkisar di bawah Rp 1 juta hingga Rp 4 juta.
”Dukungan agar aktivitas ekonomi kembali pulih dengan protokol normal baru banyak disuarakan oleh mereka yang bekerja di sektor informal,” kata Ade dalam telekonferensi pers hasil survei SMRC tentang ”Kondisi Ekonomi Masa Covid-19 dan Respons Kebijakan”, di Jakarta, Kamis (25/6/2020).
Adapun survei Nielsen menyebutkan, pandemi Covid-19 membuat masyarakat menyesuaikan anggaran, pengeluaran, dan keuangan keluarga. Penyesuaian ini berdampak pada pengurangan tabungan, khususnya masyarakat kelas sosial-ekonomi lebih rendah (lower SES) dengan pengeluaran di bawah Rp 700.000 per bulan.
Director of Consumer Panel Nielsen Connect Indonesia Mia Triscahyani menyatakan, ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 mendorong konsumen menyesuaikan anggaran, pengeluaran, dan keuangan keluarga. Pada masyarakat di kelompok lower SES, pos anggaran untuk rekreasi dikurangi hingga 28 persen, sedangkan untuk tabungan dan pinjaman dikorbankan dan dikurangi hingga 18 persen.
”Artinya, mereka berpotensi tidak dapat menabung atau mengembalikan pinjamannya dalam beberapa waktu ke depan,” tuturnya.
Menurut riset Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 diperkirakan 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan itu sekitar 26,2 juta-27,5 juta orang. Penduduk miskin sepanjang tahun ini akan bertambah 3,9 juta orang.
Peningkatan kemiskinan dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1 persen sampai dengan minus 0,4 persen pada tahun ini.
Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, berpendapat, penduduk miskin di Indonesia tidak mempunyai kemewahan. Mereka harus bekerja untuk bertahan hidup, terutama yang berpendapatan di bawah Rp 2 juta per bulan. Adapun penduduk berpendapatan Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan terpaksa bekerja karena tidak memiliki tabungan cukup.
Kerentanan masyarakat untuk jatuh miskin meningkat akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Mayoritas penduduk Indonesia, tidak hanya kelompok miskin, tetapi juga pekerja informal, mengalami penurunan, bahkan kehilangan pendapatan. Mereka perlu diberikan perlindungan berupa bantuan langsung tunai agar daya beli tumbuh.
”Target penerima bantuan langsung tunai perlu diperluas bukan hanya untuk kelompok miskin, melainkan juga bagi kelompok menuju kelas menengah yang rentan jatuh miskin karena tidak memiliki tabungan cukup,” kata Chatib.
Target penerima bantuan langsung tunai perlu diperluas bukan hanya untuk kelompok miskin, melainkan juga bagi kelompok menuju kelas menengah yang rentan jatuh miskin karena tidak memiliki tabungan cukup.
Mengutip Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, sejauh ini pemerintah baru memberikan bantuan langsung tunai kepada 30 keluarga melalui empat program, yaitu 10 juta keluarga melalui Program Keluarga Harapan, 9 juta keluarga penerima bantuan sosial tunai, dan 11 juta keluarga penerima bantuan langsung tunai desa. Besaran bantuan langsung tunai setiap program berbeda.
PKH diberikan untuk kelompok rumah tangga di bawah 10 persen sampai 20 persen (desil 1 dan 2), bantuan sosial tunai untuk kelompok 40 persen termiskin (desil 4), dan bantuan langsung tunai desa untuk kelompok 40-50 persen termiskin (desil 4-5). Rumah tangga dalam kelompok 30 persen termiskin tidak mendapat bantuan langsung tunai.
Menurut Chatib, hal yang penting dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli hanya bisa melalui instrumen fiskal dengan pemberian bantuan langsung tunai. Jika daya beli tidak ditingkatkan, permintaan untuk produksi tetap lemah dan stimulus bagi dunia usaha akan sia-sia.
”Jangan sampai terjadi seperti di China. Aktivitas ekonomi mulai pulih, produksi dilakukan, tetapi tidak ada yang beli,” kata Chatib.
Baca juga: Waspadai Miskin Kronis di Akhir Tahun
Anggota DPR Komisi XI, Didi Irawadi Syamsudin, berpendapat, pelaksanaan bantuan sosial di lapangan banyak yang belum tepat sasaran. Bahkan, ada dugaan penyelewengan anggaran bantuan sosial oleh oknum. Pemerintah harus memperketat penyaluran bantuan sosial agar lebih tepat sasaran dan kemiskinan menurun.
”Bantuan sosial seharusnya ditujukan ke masyarakat miskin dan terdampak Covid-19, tetapi banyak ditemukan salah sasaran, bahkan ada dugaan korupsi dalam perjalanannya,” ujarnya.
Kondisi ekonomi
Survei SMRC juga menunjukkan, mayoritas responden sebesar 80 persen setuju agar pemerintah memulai kebijakan transisi kendati kasus penularan Covid-19 belum menurun. Secara spesifik, warga setuju dengan kebijakan pemerintah melonggarkan PSBB dengan protokol kesehatan, bekerja di luar rumah, penggunaan tempat ibadah, penggunaan transportasi umum, serta dibukanya kembali pasar, mal dan tempat perbelanjaan.
Ade menambahkan, warga optimistis penerapan tatanan normal baru akan mempercepat pemulihan ekonomi asalkan dibarengi protokol kesehatan yang ketat. Dukungan agar normal baru diberlakukan saat ini paling banyak datang dari kelompok warga yang menilai kondisi ekonomi nasional ke depan lebih buruk.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Nasional Bisa Terhambat
Pengusaha sejauh ini masih berusaha untuk mempertahankan pegawainya kendati beberapa sudah melakukan PHK.
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, pengusaha sejauh ini masih berusaha untuk mempertahankan pegawainya kendati beberapa sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Situasi normal baru saat ini memaksa pengusaha menurunkan produktivitas dan meningkatkan biaya kesehatan.
”Di satu sisi, pabrik maksimal berisi 50 pekerja dengan sistem sif yang berarti akan ada penurunan produktivitas. Di sisi lain, ada peningkatan biaya untuk membeli penyanitasi tangan dan disinfektan,” kata Rosan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Kamis (25/6/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 yang berdampak pada aspek sosial ekonomi memukul mundur upaya pencapaian agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Untuk kembali pada rel semula, memulihkan kondisi ekonomi dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri.
Perlu ada kolaborasi intensif antara pemerintah dan pelaku usaha. Namun, perlu ada pergeseran paradigma dalam menjalankan bisnis di era pandemi ini.
”Situasi saat ini memerlukan keseimbangan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial, khususnya program yang mendukung SDGs,” katanya dalam forum diskusi daring ”Mencapai Target SDG di Era New Normal” yang diadakan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) bersama Kadin Indonesia dan Bappenas di Jakarta.
Baca juga: Ikhtiar Mengentaskan Rakyat Miskin, Pengusaha Mainkan Peran Penting
Chairman IBCSD Sihol Aritonang berpendapat, prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi kompas atau penunjuk arah untuk keluar dari krisis pasca-Covid-19. Di era pandemi ini, pelaku usaha mengemban tanggung jawab sosial yang besar untuk membantu memulihkan ekonomi dan menjamin kesejahteraan pekerja serta masyarakat sekitar.
Menurut Sihol, untuk menerapkan cita-cita besar SDGs di tengah pandemi itu, ada dua pendekatan praktis berbasis komunitas yang harus ditempuh pelaku usaha. Pertama, membantu menghubungkan kegiatan perekonomian masyarakat sekitar dengan pasar.
Kedua, mengintegrasikan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar dengan rantai pasok perusahaan. Paling sederhana dimulai dari memasukkan bisnis lokal ke dalam rantai pasok.
”Penyediaan barang dan jasa untuk kebutuhan bisnis tidak usah lagi dicari jauh-jauh, tetpi dipenuhi dari pengusaha lokal di sekitar perusahaan,” ujarnya.