Pandemi Covid-19 membuat perubahan secara radikal, termasuk di dunia bisnis. Nilai-nilai dalam dunia bisnis bergeser, kini mengakomodasi kolaborasi atau solidaritas.
Oleh
andreas maryoto
·4 menit baca
Gedung opera Barcelona dibuka kembali sehari setelah Pemerintah Spanyol memutuskan untuk mengurangi pembatasan sosial pada awal pekan ini. Sejumlah seniman memainkan alat musik. Penonton yang hadir dalam acara itu adalah ribuan pohon. Seharian, media di berbagai belahan dunia heboh soal konser ini. Konser musik kali ini untuk pohon, bukan untuk manusia. Normal baru harus menghadirkan perubahan radikal.
Sepintas, Eugenio Ampudia, si penggagas acara itu, seperti main-main. Beberapa orang mungkin juga melihat pertunjukan itu hanyalah iseng belaka. Akan tetapi, pesan dari Ampudia sangat jelas, yaitu kehidupan baru yang berbeda dengan tiga bulan lalu, kelestarian alam harus menjadi pilihan umat manusia dan betapa selama ini penonton itu sangat penting bagi mereka. Satu lagi pesan yang tak kalah menonjol dari konser itu, paradigma berpikir dan bertindak harus berubah total saat menyambut normal baru.
Pesan Ampudia yang terakhir tentang perubahan paradigma untuk menghadapi kehidupan baru menjadi relevan dengan dunia bisnis. Perubahan bakal tidak setengah-setengah. Salah satu tulisan agak kontroversial di majalah Global Trade bertanya, apakah pandemi kali ini bakal mengubah nilai-nilai di dalam dunia bisnis? Penulis artikel ini, Virginie Fauvel, yakin bahwa penggerak bisnis secara tradisional berdasarkan nilai-nilai kapitalisme, yaitu produktivitas, pertumbuhan, dan keuntungan, bakal ditinjau ulang.
Fauvel yang menjadi Chief Transformation Officer di salah satu perusahaan tidak mengelaborasi soal di atas lebih mendalam. Ia hanya menyebutkan sudah ada tanda-tanda generasi muda mulai kurang tertarik dengan bentuk-bentuk kapitalisme. Ia mengutip sebuah survei di AS yang menyebutkan bahwa generasi baru mulai mempelajari nilai-nilai sosialisme. Sekitar 61 persen generasi Z atau generasi pascamilenial berumur 18 sampai 24 bereaksi positif terkait dengan sosialisme. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan reaksi mereka terhadap kapitalisme yang hanya 58 persen.
Krisis kali ini mungkin akan makin mempercepat perubahan pandangan soal nilai-nilai yang ada selama ini dan dianut di dalam dunia bisnis. Fauvel kemudian mengingatkan tentang bagaimana perusahaan harus memosisikan diri di tengah kecenderungan itu. Korporasi perlu ”menyetel frekuensi” dengan sejumlah gerakan sosial di berbagai tempat agar anak-anak muda tertarik dan bekerja dengan nyaman di dalam perusahaan.
Fauvel menambahkan, perubahan yang juga terlihat adalah kolaborasi yang bakal lebih menonjol ke depan. Penderitaan selama pandemi yang dirasakan bersama bakal memperkuat kolaborasi yang sudah muncul belakangan ini. Individu, perusahaan, dan pemerintah bakal membuat jalinan baru. Saat pandemi, pemerintah bekerja sama dengan berbagai kalangan untuk menangani masalah ini. Tidak sedikit perusahaan yang mengubah lini produksi untuk membantu penanganan Covid-19. Individu juga saling membantu, seperti membeli produk kenalan, membantu korban, dan membantu tenaga medis.
Di Indonesia, gotong royong untuk mengatasi dampak pandemi juga terlihat di mana-mana. Dunia bisnis melakukan perubahan. Sekecil apa pun bisnis kita, perubahan dilakukan. Pengusaha UKM yang selama ini melakukan penjualan langsung harus segera masuk ke dalam laman pemasaran digital. Beberapa kalangan membantu perubahan ini. Korporasi yang produknya dibutuhkan pada saat pandemi tak mungkin berleha-leha. Mereka harus memutar otak untuk menaikkan produksi. Mereka juga terjun membantu di lapangan. Perusahaan yang terkena dampak harus segera mencari haluan baru agar bisa selamat. Mereka ini, meski terdampak, juga ikut memberikan pertolongan.
Melihat fenomena itu di berbagai tempat, dugaan Fauvel tentang nilai-nilai di dalam dunia bisnis yang bakal berubah sepertinya bukan isapan jempol. Nilai-nilai baik dari berbagai kalangan selama pandemi tidak bakal hilang, tetapi akan diadopsi oleh banyak individu, korporasi, dan lembaga pemerintah. Solidaritas bakal menjadi nilai kuat di dalam dunia bisnis. Nilai ini mungkin tidak dibikin oleh perusahaan itu, tetapi didikte oleh konsumen. Konsumen akan menghargai lebih terhadap produk dan jasa yang menunjukkan nilai solidaritas, kolaborasi, atau gotong royong. Sebaliknya, konsumen bakal menghukum perusahaan yang sekadar cari untung.
Perusahaan tidak bisa lagi pasif dengan perubahan paradigma di dunia bisnis. Sebaiknya mereka menjemput nilai-nilai baru itu. Mereka bisa mengkreasi produk atau layanan dan cara pemasaran yang mencerminkan solidaritas dan kolaborasi. Di Indonesia sudah lama muncul istilah ”kepedulian sosial”, tetapi sayang sekali istilah ini kerap diracuni kepentingan politik dan ekonomi sehingga banyak yang alergi dengan istilah itu. Istilah itu kurang pas digunakan. Kolaborasi atau gotong royong lebih menarik. Konser bagi pohon Ampudia sudah cukup menjadi ide bagi kita untuk sejauh mana kita perlu bergerak membuat perubahan di dunia bisnis.