Untuk memutus mata rantai generasi ”sandwich”, orangtua sejak dini perlu melakukan investasi untuk masa depannya agar tidak membebani anak. Anak juga dapat melakukan investasi sejak dini untuk persiapan masa depannya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Achmad Baihaqie (29), seorang event organizer di Jakarta, mengaku cukup kesulitan untuk bisa menabung. Selain karena beberapa sumber pendapatannya hilang semenjak pandemi, setiap bulan ia rutin mengirimkan sejumlah uang untuk kebutuhan harian orangtuanya yang tinggal di Gresik, Jawa Timur.
Selain bekerja sebagai EO, pria beranak satu yang akrab disapa Baqi ini juga memiliki usaha di bidang fotografi pernikahan. Meski bisnis yang ia dirikan bersama sang istri dua tahun lalu sempat berkembang, pandemi Covid-19 membuat mereka dalam lima bulan terakhir ini tidak mengerjakan proyek.
”Saya sukarela membantu keuangan orangtua karena ini tugas kami sebagai anak-anak mereka. Hanya saja, karena sekarang cuma bisa mengandalkan gaji, jadinya cukup susah juga buat menabung,” ujarnya.
Baqi adalah satu dari jutaan warga Indonesia yang termasuk ke dalam generasi sandwich atau sandwich generation. Sesuai dengan namanya, generasi ini memiliki karakteristik seperti daging atau sayuran yang terjepit di antara dua roti.
Konsep mengenai generasi sandwich ini pertama kali muncul pada 1980-an, seperti yang tertera dalam jurnal ekonomi oleh Brody (1981) yang mendeskripsikan sebuah generasi, yang umumnya ada di usia produktif, tetapi terjepit di antara dua tugas utama, yaitu membesarkan anak dan merawat orangtua, bahkan keluarga besar.
Tahun ini, Indonesia memasuki periode bonus demografi yang secara sederhana diartikan sebagai periode ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk di usia yang tidak produktif.
Pada saat yang sama, Indonesia memiliki 24,5 juta warga lanjut usia. Mulai tahun 2021, struktur penduduk Indonesia pun diprediksi memasuki populasi menua. Jumlah warga lanjut usia diperkirakan mencapai 48,2 juta jiwa atau 15,7 persen dari populasi penduduk Indonesia pada 2035.
Menurut pendiri dan CEO Jouska Indonesia, Aakar Abyasa Fidzuno, generasi sandwich adalah fenomena yang secara kultur tidak dapat dihindari. Seorang kepala keluarga tentunya memiliki tanggungan, yakni pasangan dan anak. Namun, di sisi lain, mereka pun memiliki orangtua yang membutuhkan dukungan finansial.
”Kenapa fenomena ini bisa terjadi? Karena secara data, banyak generasi orangtua yang tidak siap untuk pensiun secara finansial sehingga anaknya, dalam tanda kutip, terpaksa harus menopang,” ujarnya dalam diskusi virtual yang diadakan PT Bank Commonwealth, Senin (21/6/2020).
Meski secara kultur banyak orang yang tidak keberatan untuk menjadi bagian dari generasi sandwich, mengelola keuangan dalam situasi tersebut harus diakui tidak mudah. Aakar menilai, untuk terlepas dari jebakan ini, mereka perlu mengidentifikasi alasan untuk tetap membiayai orangtua.
Beberapa orang, lanjut Aakar, terjebak menjadi generasi sandwich meski orangtua serta sanak saudara mereka sebenarnya masih mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. ”Pada orang ada rasa tanggung jawab untuk membantu finansial orangtua, yang sebenarnya kalau enggak dibantu juga tidak apa-apa,” katanya.
Komunikasi dengan orangtua serta keluarga besar juga penting untuk dilakukan. Terutama untuk generasi sandwich yang ”wajib” membantu orangtua serta anggota keluarga lain. Maka, masing-masing sebaiknya memiliki pengertian dan toleransi.
Mengelola keuangan
Baik pihak yang dibantu maupun yang membantu sebaiknya turut mengelola gaya hidupnya sebisa mungkin agar tidak terjadi pemborosan dalam biaya hidup. Menurut Aakar, indikasi dari pengeluaran yang terkontrol adalah saat sanggup menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilan setiap bulannya untuk menabung, dalam kondisi keuangan sesulit apa pun.
”Tidak menutup kemungkinan juga kalau dari pihak orangtua bisa kembali produktif menghasilkan pemasukan. Sebab, kalau kita lihat di AS, sebagian besar pensiunan masih bekerja sepanjang hidupnya,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Investment & Liabilities Department Head PT Bank Commonwealth Ivan Kusuma menyebutkan, untuk memutus mata rantai generasi sandwich, orangtua sejak dini perlu melakukan investasi untuk masa depannya agar tidak membebani anak.
”Anak juga dapat melakukan investasi sejak dini untuk persiapan masa depannya, begitupun seterusnya. Terapkan pengaturan keuangan dan tetapkan tujuan keuangan,” kata Ivan.
Untuk memutus mata rantai generas sandwich, orangtua sejak dini perlu melakukan investasi untuk masa depannya agar tidak membebani anak.
Instrumen investasi sesuai dengan tujuan investasi dan profil risiko, monitor portofolio investasi, disiplin dan fokus pada tujuan, serta memiliki asuransi dan dana darurat sehingga jika ada keadaan darurat tidak mengganggu portofolio investasi. Selain itu, diversifikasi investasi juga penting untuk melindungi aset.
Menurut Ivan, saat ini instrumen yang paling menarik salah satunya adalah obligasi. Pasar obligasi Indonesia saat ini menawarkan tingkat selisih bunga yang cukup atraktif jika dibandingkan dengan pasar negara berkembang lain yakni di sekitar 5,16 persen.
”Hal ini disebabkan karena kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik dapat membuat para investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara emerging market yang menjadi tujuan investasi,” ujarnya.