Penyesuaian Keuangan Masyarakat Dapat Menggerus Tabungan
Masyarakat kelompok sosio-ekonomi lebih rendah atau yang berpenghasilan di bawah Rp 700.000 per bulan berpotensi tidak dapat menabung atau mengembalikan pinjamannya dalam beberapa waktu ke depan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat masyarakat menyesuaikan anggaran, pengeluaran, dan keuangan keluarga. Penyesuaian ini berdampak pada pengurangan tabungan, khususnya di masyarakat dengan kelas soial-ekonomi lebih rendah atau lower SES.
Director of Consumer Panel Nielsen Connect Indonesia Mia Triscahyani menyatakan, ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 mendorong konsumen menyesuaikan anggaran, pengeluaran, dan keuangan keluarga. Pada masyarakat di kelompok lower SES, pos anggaran untuk rekreasi dikurangi hingga 28 persen, sedangkan untuk tabungan dan pinjaman dikorbankan dan dikurangi hingga 18 persen.
”Artinya, mereka berpotensi tidak dapat menabung atau mengembalikan pinjamannya dalam beberapa waktu ke depan,” tuturnya dalam seminar daring ”Beyond Covid-19: Keeping Up With The (Not So) New Consumers” yang diadakan Nielsen, Kamis (25/6/2020).
Masyarakat kelompok sosio-ekonomi lebih rendah atau yang berpenghasilan di bawah Rp 700.000 per bulan berpotensi tidak dapat menabung atau mengembalikan pinjamannya dalam beberapa waktu ke depan.
Hal itu berdasarkan hasil penelitian Nielsen terhadap tiga kelompok masyarakat. Tiga kelompok itu terdiri dari SES lebih tinggi (pengeluaran di atas Rp 3 juta per bulan), SES menengah (pengeluaran sekitar Rp 1 juta per bulan), dan SES lebih rendah (pengeluaran di bawah Rp 700.000 per bulan).
Riset itu juga menunjukkan, kelompok SES lebih tinggi (upper) dan menengah lebih fleksibel mengatur keuangannya serta tidak mengurangi anggaran untuk tabungan dan pinjaman. Kelompok SES menengah mengurangi pos anggaran rekreasi sebesar 32 persen dan pendidikan senilai 20 persen, sedangkan kelompok SES lebih tinggi mengurangi anggaran rekreasi hingga 43 persen dan transportasi sebesar 27 persen.
Data ketiga kelompok tersebut juga menunjukkan, produk pangan segar mengalami penyesuaian anggaran yang moderat, yakni berkurang 5 persen hingga bertambah 5 persen. Dari keseluruhan produk pangan segar, beras menjadi prioritas belanja bagi seluruh kelompok masyarakat itu.
Dari sisi jenis barang konsumsi bergerak cepat (FMCG) atau produk-produk kebutuhan harian, ketiga kelompok masyarakat yang disurvei Nielsen memprioritaskan perlengkapan memasak, produk susu, dan obat-obatan. Meskipun demikian, tingkat pengutamaan belanja FMCG bagi kelompok masyarakat SES lebih rendah tergolong moderat.
Mia menilai masyarakat kini mencari produk-produk yang bersifat esensial. Jika memungkinkan, dia menyarankan pelaku usaha ritel untuk mengatur ulang tata letak barang sehingga produk-produk yang berkaitan dengan kebutuhan dasar lebih mudah terlihat dan ditemukan oleh konsumen.
Bagi pelaku industri yang memproduksi FMCG, kata Mia, mereka bisa fokus pada produk esensial yang memiliki nilai kesehatan dan merupakan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dari segi bahan baku, pelaku industri mesti mampu mengangkat tingkat kelokalan karena dinilai penting bagi masyarakat.
”Apabila industri ingin meluncurkan produk baru, pastikan produk itu bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat, harganya terjangkau, memiliki nilai kesehatan, dan relevan dengan situasi saat ini,” katanya.
Aktivitas mal
Ditilik dari minat masyarakat untuk mengunjungi pusat perbelanjaan, Executive Director Nielsen Media Indonesia Hellen Katherina menyebutkan, terdapat 84 persen responden yang berintensi pergi ke mal setelah pandemi Covid-19 berakhir. Jika dilihat dari lini masa, sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 100 persen responden mengunjungi mal dalam frekuensi tertentu.
”Artinya, ada pengurangan 16 persen antara sebelum dan sesudah pandemi. Pengurangan ini disebabkan oleh kekhawatiran masyarakat terhadap pengelola mal yang tidak secara ketat menerapkan protokol kesehatan,” tuturnya.
Aktivitas konsumen di mal saat sebelum dan setelah pandemi pun berbeda. Hellen memaparkan, masyarakat memilih untuk menikmati makanan cepat saji, minuman, dan menonton film di bioskop sebelum pandemi.
Setelah pandemi, masyarakat memilih untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, rekreasi, dan membeli kudapan. Konsumen juga akan menghindari makan di tempat atau dine-in.
Tawarkan nilai
Chairman Indonesia Brand Forum 2020 Yuswohady menyatakan, pelaku usaha dan industri mesti mengubah nilai yang dibawa dalam mengangkat jenamanya ke tataran masyarakat. ”Perubahan nilai yang diangkat dibutuhkan karena adanya perubahan pola perilaku konsumen selama pandemi Covid-19,” katanya saat konferensi pers daring mengenai Indonesia Brand Forum 2020 yang akan digelar pada 30 Juni-2 Juli 2020, Kamis.
Konsumen kini memiliki gaya hidup yang berorientasi di tempat tinggal.
Menurut Yuswohady, ada empat poin perubahan pola perilaku masyarakat. Pertama, konsumen kini memiliki gaya hidup yang berorientasi di tempat tinggal. Kedua, konsumen cenderung kembali pada produk-produk yang berkaitan dengan kebutuhan dasar yang terdiri dari, sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keselamatan.
Perilaku masyarakat saat ini cenderung bersifat virtual, misalnya bekerja, belajar, halalbihalal, bahkan konsultasi ke dokter secara daring. Pola perilaku keempat adalah memiliki empati yang ditunjukkan dengan peningkatan kegiatan donasi.