Ikhtiar Mengentaskan Rakyat Miskin, Pengusaha Mainkan Peran Penting
Kita tidak bisa lagi berdiri sendiri. Ada usaha kecil, mikro, dan sektor informal yang harus kita perhatikan. Pandemi ini menyadarkan, begitu satu dari rantai pasok itu terpukul, seluruh mata rantai ikut terpengaruh.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha ikut mengemban tanggung jawab sosial dalam ikhtiar menggerakkan kembali perekonomian rakyat dan mengentaskan rakyat miskin yang meningkat akibat pandemi Covid-19. Perlu ada pergeseran paradigma dalam menjalankan bisnis. Bisnis tidak bisa lagi dijalankan seperti biasa, tetapi harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk atau 26,2 juta-27,5 juta orang. Artinya, ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin sepanjang 2020.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Kamis (25/6/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 yang berdampak pada aspek sosial ekonomi memukul mundur upaya pencapaian agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Untuk kembali pada rel semula memulihkan kondisi ekonomi dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri.
Perlu ada kolaborasi intensif antara pemerintah dan pelaku usaha. Namun, perlu ada pergeseran paradigma dalam menjalankan bisnis di era pandemi ini.
”Situasi saat ini memerlukan keseimbangan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial, khususnya program yang mendukung pembangunan berkelanjutan,” katanya dalam forum diskusi daring Mencapai Target SDG di Era New Normal yang diadakan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia serta Bappenas di Jakarta.
Situasi saat ini memerlukan keseimbangan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial, khususnya program yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Menurut Suharso, pemerintah telah menyusun sasaran pembangunan nasional 2021 yang berorientasi pada pemulihan ekonomi di berbagai sektor utama, seperti industri, pariwisata, dan investasi, serta reformasi perlindungan sosial. Dengan menerapkan strategi reformasi perlindungan sosial, tingkat kemiskinan pada 2021 ditargetkan menjadi 9,2-9,7 persen dari jumlah penduduk.
Paket jaring pengaman sosial bisa membantu menahan guncangan untuk masyarakat miskin. ”Namun, perlu ada strategi lain untuk menjaga ketahanan masyarakat kelas menengah agar tidak menjadi orang miskin baru karena mereka ini yang menopang 42 persen konsumsi nasional,” katanya.
Chairman IBCSD Sihol Aritonang mengemukakan, prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi kompas atau penunjuk arah untuk keluar dari krisis pasca-Covid-19. Di era pandemi ini, pelaku usaha mengemban tanggung jawab sosial yang besar untuk membantu memulihkan ekonomi dan menjamin kesejahteraan pekerja serta masyarakat sekitar.
”Dulu, pendekatan do no harm lazim digunakan dalam berbisnis. Kali ini, kita bergeser pada lanskap di mana ekspektasi pada sektor bisnis sudah melebihi itu. Bukan lagi business as usual, melainkan bisnis diharapkan memberi atensi pada masalah sosial,” kata Sihol, yang juga Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (April Group).
Ia mengatakan, dari survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis anggota IBCSD, pelaku usaha memiliki kesadaran akan urgensi perannya mendongkrak pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di masyarakat.
”Namun, seperti halnya inisiatif bisnis lain, pencapaian pembangunan berkelanjutan tidak bisa hanya di atas kertas, tetapi harus melekat dalam strategi bisnis dan diimplementasikan lewat key performance indicator,” katanya.
Rantai pasok
Menurut Sihol, untuk menerapkan cita-cita besar pembangunan berkelanjutan di tengah pandemi itu, ada dua pendekatan praktis berbasis komunitas yang harus ditempuh pelaku usaha. Pertama, membantu menghubungkan kegiatan perekonomian masyarakat sekitar dengan pasar.
Kedua, mengintegrasikan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar dengan rantai pasok perusahaan. Paling sederhana dimulai dari memasukkan bisnis lokal ke dalam rantai pasok.
”Penyediaan barang dan jasa untuk kebutuhan bisnis tidak usah lagi dicari jauh-jauh, tetpi dipenuhi dari pengusaha lokal di sekitar perusahaan,” ujarnya.
Perusahaan, kata Sihol, juga memainkan peran penting untuk mengembangkan komoditas tertentu dari usaha masyarakat dan membantu pemasarannya. Salah satu perusahaan anggota IBCSD, misalnya, punya program one village one community. Satu desa dibantu untuk mengembangkan komoditas lokalnya, seperti madu atau nanas, dan perusahaan membantu menghubungkan dengan pasar.
Direktur Manufaktur PT Solusi Bangun Indonesia (dulu Holcim Indonesia) Lilik Unggul Raharjo mengatakan, paradigma pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 jangan kembali pada kondisi normal sebelum Covid-19. Model bisnis harus berorientasi pada pembangunan manusia yang tidak sekadar mengandalkan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), tetapi terinternalisasi lewat strategi bisnis sehari-hari.
”Kita tidak bisa lagi berdiri sendiri. Ada usaha kecil, mikro, pedagang, sektor informal yang harus kita perhatikan karena pandemi ini menyadarkan, begitu satu dari rantai pasok itu terpukul, seluruh mata rantai ikut terpengaruh,” ujar Lilik.
Kita tidak bisa lagi berdiri sendiri. Ada usaha kecil, mikro, pedagang, sektor informal yang harus kita perhatikan karena pandemi ini menyadarkan begitu satu dari rantai pasok itu terpukul, seluruh mata rantai ikut terpengaruh.
Menata ulang hubungan
Deputi CEO PT Vale Indonesia Febriany Eddy mengatakan, nilai-nilai kemanusiaan diuji selama pandemi. PT Vale Indonesia berupaya untuk menerapkan paradigma pembangunan manusia dalam mengambil kebijakan selama pandemi.
Hal pertama yang dilakukan adalah tidak melakukan pemutusan hubungan karyawan (PHK). Karyawan yang dirumahkan pun tetap diberi gaji untuk bertahan hidup selama pandemi.
Sebagai perusahaan tambang, PT Vale Indonesia juga bekerja sama dengan sejumlah kontraktor skala kecil. Selama pandemi, ujar Febriany, pihaknya mempercepat proses pembayaran dari 30 hari menjadi 7 hari agar kontraktor kecil cepat mendapat dana untuk mencukupi kebutuhan hidup.
”Ini bukan krisis biasa. Pandemi ini memaksa kita untuk mendobrak pemikiran lama dan menata ulang hubungan kita dengan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan,” katanya.