PLN Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Lombok
Pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan terus diperkuat. Pandemi Covid-19 diperkirakan menghambat pengembangan energi bersih. Target 23 persen energi terbarukan di 2025 diperkirakan sulit dicapai.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengoperasikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro atau PLTMH yang kedelapan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. PLTMH yang ada di Desa Buwun Sejati, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, tersebut mampu menerangi 520 rumah bagi pelanggan golongan 900 volt ampere. Pembangkit tersebut memanfaatkan aliran Sungai Sesaot.
Menurut General Manager PLN Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Barat Rudi Purnomoloka, PLTMH ini adalah yang kedelapan yang dibangun di Lombok. PLTMH Batu Bedil ini dibangun sejak 2015 dan memiliki kapasitas terpasang 2 x 275 kilowatt. Sumber-sumber energi terbarukan yang ada di Lombok akan terus dimanfaatkan sebagai sumber pasokan listrik.
”Selain terus memperkuat pasokan listrik di NTB, PLN menghadirkan energi bersih dan ramah lingkungan adalah tantangan tersendiri bagi kami,” kata Rudi dalam keterangan pers, Rabu (24/6/2020).
Hingga Juni 2020, kapasitas terpasang listrik dari sumber energi terbarukan di NTB sebesar 11,5 persen atau setara dengan 38 megawatt.
Hingga Juni 2020, kapasitas terpasang listrik dari sumber energi terbarukan di NTB mencapai 11,5 persen atau setara dengan 38 megawatt. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21 megawatt menggunakan tenaga surya dan sisanya sebesar 17 megawatt berasal dari pemanfaatan aliran sungai atau tenaga air.
Pemerintah menetapkan target peran energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional di tahun 2025. Kontribusi 23 persen tersebut setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 megawatt. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang listrik energi terbarukan per 2019 baru sebesar 10.157 megawatt.
Dalam bauran energi primer pembangkit listrik milik PLN, porsi energi fosil, khususnya batubara, masih sangat dominan. Data 2019 menunjukkan, batubara berkontribusi 60,5 persen dalam bauran energi pembangkit listrik. Adapun peran energi terbarukan sebesar 12,3 persen dan sisanya adalah gas dan bahan bakar minyak yang masing-masing 23,2 persen dan 4 persen.
Pengembangan terhambat
Pengembangan energi terbarukan diprediksi tidak mencapai target yang ditetapkan. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun ini membuat pengembangan energi terbarukan terhambat. Selain faktor terbatasnya pergerakan barang dan jasa, harga minyak mentah yang merosot membuat energi terbarukan sulit bersaing dari segi harga.
Realokasi anggaran di Kementerian ESDM membuat belanja di sektor energi terbarukan terpangkas. Dalam pembahasan anggaran perubahan di Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM, Rabu (24/6/2020), alokasi di Direktorat Energi Terbarukan dan Konservasi Energi dipangkas dari semula Rp 1,3 triliun menjadi Rp 816 miliar. Secara keseluruhan, pagu anggaran Rp 9,6 triliun di Kementerian ESDM dipangkas menjadi Rp 6,2 triliun.
Pemerintah menargetkan investasi di sektor energi terbarukan sebesar 2,3 miliar dollar AS tahun ini.
Menurut Direktur Eksekutif Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, tren positif pengembangan energi terbarukan di Indonesia menjadi tersendat sejak munculnya pandemi Covid-19. Konsumsi listrik nasional juga terus menurun sejak diberlakukan kebijakan bekerja dari rumah dan pembatasan sosial berskala besar. Hal itu turut berdampak pada melambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Lantaran situasi makroekonomi turut terpukul pandemi Covid-19, masyarakat menunda pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PTSA) atap, baik itu di sektor rumah tangga, bisnis, maupun komersial. Mereka cenderung menahan belanja untuk kebutuhan yang tidak mendesak,” kata Fabby.
Pemerintah menargetkan investasi di sektor energi terbarukan sebesar 2,3 miliar dollar AS pada tahun ini. Pada 2019, realisasi investasi di sektor ini mencapai 1,5 miliar dollar AS. Pandemi Covid-19 yang turut melanda Indonesia sejak awal Maret lalu diperkirakan membuat pengembangan energi terbarukan lesu dan tak sesuai dengan target.