PHK Meningkat, Pencairan Jaminan Hari Tua Melonjak
Pencairan tabungan di BP Jamsostek itu jadi alternatif untuk mendukung daya beli pekerja yang tergerus. Selam Januari-10 Juni 2020, BP Jamsostek mencatat pengajuan klaim untuk 921.000 kasus senilai Rp 11,9 triliun.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja di tengah pandemi Covid-19, klaim BPJS Ketenagakerjaan turut melonjak. Pencairan tabungan di BP Jamsostek itu menjadi alternatif untuk mendukung daya beli pekerja yang tergerus. Potensi lonjakan pengajuan klaim ini harus diantisipasi dengan kesiapan sistem pencairan dan ketersediaan dana.
Sejak Januari sampai 10 Juni 2020, BP Jamsostek mencatat terdapat pengajuan klaim untuk 921.000 kasus dengan nilai klaim mencapai Rp 11,9 triliun. Akhir Mei, pengajuan klaim peserta mencapai 832.000 kasus. Artinya, dalam waktu sekitar dua minggu, jumlah klaim meningkat sebanyak 89.000 kasus. Potensi klaim itu diperkirakan terus meningkat di tengah kasus PHK yang bergulir.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, Selasa (23/6/2020), mengatakan, pencairan jaminan hari tua (JHT) akibat PHK bisa menjadi alternatif bagi pekerja untuk bertahan hidup di tengah pandemi tanpa mata pencarian. Pemerintah seharusnya menyiapkan program lain untuk mendukung daya beli pekerja tanpa harus mencairkan JHT yang merupakan tabungan untuk masa tua.
”Seharusnya Kartu Prakerja bisa mendukung para korban PHK, tetapi kenyataannya sekarang program itu ditunda sehingga mau tidak mau pencairan JHT menjadi solusi. Apalagi, dengan PHK yang semakin banyak terjadi, pencairan tabungan pasti lebih masif,” kata Timboel.
Dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, Timboel memprediksi peningkatan klaim akan melonjak karena banyaknya perusahaan yang melakukan PHK karyawan di tengah pandemi. Sebagai perbandingan, tahun lalu, pada periode Januari-September 2019, jumlah klaim BPJS mencapai Rp 19,42 triliun.
”Tahun ini, dalam satu semester sudah mencapai Rp 11,9 triliun. Kalau dua semester dengan laju yang sama seperti ini, nilai klaim bisa mencapai Rp 23,8 triliun, apalagi PHK masih akan berlanjut,” ujarnya.
Direktur Utama BP Jamsostek Agus Susanto mengatakan, pengajuan klaim meningkat di tengah pandemi Covid-19 yang memukul kondisi banyak perusahaan. ”Selama pandemi ini akan ada peningkatan klaim JHT yang signifikan dibandingkan periode yang sama pada 2019. Ini terlihat dari adanya tren kenaikan jumlah tenaga kerja nonaktif yang akan mengambil JHT-nya,” kata Agus.
Di sejumlah cabang, seperti Depok, Jawa Barat, dalam waktu satu bulan terakhir, ada 500 peserta BP Jamsostek yang mengajukan klaim setiap hari. Mereka terdiri dari 300 orang yang mengajukan klaim secara luring (luar jaringan/offline) dan 200 orang yang melalui jalur daring (dalam jaringan/online).
Untuk mengantisipasi lonjakan klaim JHT, BP Jamsostek membenahi sistem pencairan secara daring, luring, dan klaim kolektif yang dilakukan oleh perusahaan.
Salah satu layanan baru pencairan klaim adalah melalui protokol layanan tanpa kontak fisik yang seluruhnya dilakukan secara daring. Setiap petugas pelayanan akan melayani empat sampai enam orang sekaligus dalam waktu bersamaan. ”Prosesnya dimulai dari registrasi ke laman BP Jamsostek di antrian.bpjsketenagakerjaan.go.id, dilanjutkan unggah dokumen via e-mail, verifikasi via telepon atau panggilan video, dan dana ditransfer,” kata Direktur Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja.
Mengenai kesiapan ketersediaan dana untuk membayar klaim kepada peserta, Agus mengatakan, hal itu bukan masalah. ”Kami sudah mengantisipasi lonjakan klaim tersebut, baik dari peningkatan kapasitas layanan maupun penyediaan likuiditas dana. Dari ketersediaan dana sangat siap, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Agus.
Antisipasi
Meski demikian, tutur Timboel, pada kenyataannya, sistem pencairan klaim secara daring sulit diakses oleh pekerja karena kendala sistem. Untuk mempermudah akses pencairan, ia mengusulkan agar BP Jamsostek bisa membuka akses pencairan klaim JHT secara luring dengan protokol kesehatan yang ketat.
Di sisi lain, banyak pekerja yang sulit mencairkan tabungan JHT karena syarat dokumen surat keterangan kerja. Pasalnya, tidak semua perusahaan memberikan surat keterangan kerja sehingga pekerja terkendala mencairkan JHT. ”BP Jamsostek seharusnya bisa lebih proaktif mengontak perusahaan terkait. Dengan informasi pekerja bersangkutan sudah di-PHK, seharusnya JHT bisa dicairkan,” kata Timboel.
Demikian pula dari sisi ketersediaan dana. Kondisi perekonomian yang buruk saat ini bisa memengaruhi kemampuan BP Jamsostek membayarkan klaim. Pasalnya, iuran JHT diproyeksikan menurun dengan kondisi arus kas perusahaan yang macet dan PHK di banyak tempat karena pandemi. Di sisi lain, imbal hasil investasi dana JHT di sejumlah instrumen juga bisa menurun karena kondisi pasar yang buruk.
”Dengan melihat kondisi iuran JHT dan imbal hasil investasi yang menurun itu, seharusnya dana JHT di deposito bisa ditingkatkan dengan tenor yang lebih cepat sebagai dana berjaga-jaga untuk klaim yang meningkat,” kata Timboel.
Pengangguran naik
Kondisi ketenagakerjaan diprediksi tidak akan banyak terbantu dengan dibukanya kembali perekonomian pada fase normal baru.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan, akan terjadi peningkatan jumlah pengangguran yang tinggi di Indonesia akibat Covid-19. Ia memprediksi, pada 2021, tingkat pengangguran terbuka berpotensi mencapai 10,7 juta-12,7 juta orang. Sementara, pada 2020, diprediksi angka pengangguran meningkat 4 juta-5,5 juta orang.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, selama pandemi ini, sampai Juni 2020, sudah ada 6,4 juta orang pekerja yang kehilangan sumber nafkah akibat pandemi. Hal itu terlihat dari tujuh sektor yang paling banyak memutus hubungan kerja dan merumahkan karyawannya, yaitu perhotelan, restoran, alas kaki, ritel, farmasi, tekstil, dan transportasi darat.
Sementara itu, versi Kementerian Ketenagakerjaan, sampai Juni 2020, jumlah tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan adalah 1,7 juta orang. Pemerintah sendiri mengantisipasi tambahan pengangguran sampai 2,92 juta-5,23 juta orang pada tahun ini.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenaker Aris Wahyudi mengatakan, pemerintah terus berupaya mendorong perusahaan untuk adaptif menyikapi pandemi dan menghindari PHK. ”PHK itu pilihan paling terakhir. Perusahaan harus lebih inovatif dan kreatif menyikapi perubahan ini tanpa harus melepas karyawannya,” kata Aris.
Ia mengatakan, Indonesia tidak memiliki jaring pengaman sosial yang kuat untuk mengantisipasi meledaknya angka pengangguran. Oleh karena itu, upaya yang bisa ditempuh adalah melalui skema perlindungan dari BP Jamsostek serta mendorong lagi kegiatan perluasan kesempatan kerja.
”Misalnya, memperbanyak kegiatan dan program padat karya di berbagai kementerian, termasuk meneruskan proyek-proyek strategis,” katanya.