Guncangan perdagangan global dan rapuhnya ketahanan seiring tren peningkatan volume pangan impor semestinya jadi cambuk untuk memperbaiki kebijakan pangan nasional. Pandemi telah mengirim ”cermin” untuk berkaca diri.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda akan berakhir. Namun, ada sederet pelajaran yang bisa dipetik dari situasi lima bulan ini, termasuk soal bagaimana membangun sektor pertanian dan pangan nasional. Ada hikmah dari gangguan distribusi barang, tren proteksionisme perdagangan, dan perlambatan ekonomi global.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan negara anggota untuk menjaga ketersediaan pangan. Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Selasa (5/5/2020), juga memberi perhatian khusus peringatan FAO soal kemungkinan krisis pangan akibat pandemi.
Sejauh ini, pasokan makanan dan sereal global diperkirakan masih aman. FAO mencatat, pasar sereal global akan dipasok dengan baik sebab produksi sepanjang musim 2019/2020 naik 2,4 persen dibandingkan produksi musim 2018/2019.
Harga pangan global juga rendah. Indeks harga pangan FAO pada Mei 2020 tercatat 162,5 atau turun 3,1 poin dibandingkan April 2020. Dengan berlanjutnya dampak pandemi, indeks harga pangan global turun dalam empat bulan berturut-turut, terjadi pada semua subindeks, kecuali gula yang naik untuk pertama kali dalam tiga bulan.
Namun, surplus pangan global tak menjamin kecukupan pangan di seluruh negara atau seluruh keluarga di dunia. Hambatan logistik dan kecenderungan proteksionisme perdagangan bisa mengganggu pasokan dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Sejumlah negara membatasi ekspor demi memastikan kecukupan pasokan domestik. Program Pangan Dunia PBB World Food Pragramme/WFP) dalam kajian bertajuk ”Indonesia Covid-19: Economic and Food Security Implications” menyebutkan, Ukraina sebagai pengekspor gandum terbesar ke Indonesia (tahun 2019 tercatat 3 juta ton) mengumumkan akan membatasi ekspor gandum pada musim 2019/2020 menjadi 20,2 juta ton dan mungkin mempertimbangkan pemberlakuan larangan total jika dianggap perlu.
Vietnam, pemasok 34 persen impor beras Indonesia tahun 2018 dan 7,5 persen tahun 2019, telah menerapkan larangan ekspor beras pada 24 Maret 2020 meski kemudian mulai mengurangi pembatasan dengan mengizinkan ekspor 400.000 ton beras di bulan April 2020. Indonesia juga masih sangat bergantung pada segelintir negara sumber impor beberapa komoditas. Pada tahun 2019, misalnya, China memasok 100 persen bawang putih yang diimpor Indonesia. Adapun Amerika Serikat memasok 94,1 persen kedelai impor dan Thailand memasok 86,5 persen gula impor.
Guncangan perdagangan global dan rapuhnya ketahanan seiring kecenderungan meningkatnya volume pangan impor semestinya jadi cambuk untuk memperbaiki kebijakan pangan nasional. Pandemi Covid-19 telah mengirim sinyal ke semua negara soal pentingnya memperkuat kemandirian dan kedaulatan pangan.
Sinyal itu pula yang mesti yang jadi pertimbangan untuk menyisir lagi pasal demi pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Apalagi tak sedikit lembaga, akademisi, dan aktivis yang menolak omnibus law itu karena kehadirannya justru melemahkan pertanian serta usaha mikro, kecil, dan menengah bidang pangan yang selama ini jadi penyerap tenaga kerja.
Jika benar segenap ketentuan impor dihapus dan pangan impor jadi sumber utama, tamat sudah kedaulatan dan kemandirian pangan kita. Sebelum hal itu terjadi, mari berbenah. Pademi telah mengirim ”cermin” untuk berkaca dan introspeksi.