Ketergantungan Meningkat, Teknologi Komunikasi Dituntut Terus Berkembang
Pandemi Covid-19 semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat pada penggunaan gawai dan akses internet. Peningkatan teknologi informasi dan komunikasi mutlak diperlukan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Melia Rachma (20) tidak lagi bisa menghitung berapa lama waktu yang ia habiskan di depan layar gawai. Sejak pandemi Covid-19 membatasi mobilitasnya, termasuk menghalanginya pulang ke kampung halaman di Sulawesi Tenggara, mahasiswi di Jakarta itu menjadi ketergantungan gawai.
Sejak bangun tidur, mengecek notifikasi dan aplikasi pesan di ponsel sudah seperti pekerjaan yang refleks dilakukan. Pagi hingga sore, ia pun disibukkan dengan pertemuan virtual dan aktivitas browsing internet lewat laptop untuk mengerjakan tugas perkuliahan.
Malam hari, gawainya lebih banyak untuk mendapatkan hiburan atau menghubungi keluarga dan kawan. Jaringan Wi-Fi yang bisa diakses selama 24 jam per 7 hari telah membawanya ke jagat maya yang tidak sebanding dengan kamar indekosnya.
”Wi-Fi ini baru dipasang bapak kost sebulan lalu karena permintaan saya dan anak-anak kost lain yang kesulitan dapat jaringan di HP. Alhamdulillah, sejauh ini jadi lebih cepat internetnya dan biaya murah karena urunan,” katanya saat dihubungi Kompas, Rabu (24/6/2020).
Ketergantungan pada akses dan teknologi komunikasi juga dirasakan Eveline (30), karyawan swasta di Jakarta. Ibu satu anak itu kini masih bergantung dengan akses internet meski masa transisi membuatnya kembali lagi ke kantor.
”Walaupun sudah kembali di kantor, kami tetap sering mengadakan virtual meeting. Kalau seperti ini, meeting jadi bisa di mana aja, kalau enggak di rumah atau di kantor, ya bisa di jalan saat saya ke kantor,” tuturnya yang dihubungi terpisah.
Meski sebagian besar wilayah di Jakarta sudah terhubung jaringan internet, terutama 4G, dengan kebutuhan saat ini, Eveline dituntut untuk terus memiliki akses internet yang stabil.
Kebutuhan beragam
Penyedia layanan internet di Indonesia, seperti PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dan PT XL Axiata Tbk, mencatat, pembatasan sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir meningkatkan trafik penggunaan internet sampai rata-rata 20 persen dari kondisi normal.
Kepala Komunikasi Eksternal PT XL Axiata Tbk Henry Wijayanto, dalam keterangan tertulis, memaparkan, layanan meningkat untuk beragam kebutuhan streaming video, game, film, dan musik (66 persen). Kemudian, pesan singkat (16 persen), media sosial (11,5 persen), dan lain-lain sekitar (6,5 persen).
Penelitian terkini Ericsson Consumer Lab, pada 8-24 April lalu, juga menangkap fenomena yang sama secara global. Penelitian yang diikuti 11.000 responden di 11 negara itu mencoba membaca tren kebiasaan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) selama masa karantina, antara lain di Tiongkok, Perancis, India, Italia, Korea Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Sebanyak 70 persen responden mengaku mengakses internet secara umum. Lebih rinci, mereka menggunakan internet untuk berkirim pesan instan (59 persen), akses video durasi panjang (58 persen), mendengarkan musik dan radio (41 persen), dan bermain game (39 persen).
Konektivitas internet melalui TIK digunakan untuk membantu mereka menjalani masa karantina dengan memanfaatkan aplikasi pembelajaran daring dan kesehatan (83 persen responden). Juga untuk bekerja di rumah (67 persen) dan berbelanja (45 persen).
”Perpindahan tempat kerja atau proses belajar ke rumah secara cepat menggeser pertumbuhan data trafik dari bisnis ke perumahan. Hal ini semakin menunjukkan pentingnya konektivitas,” kata Jerry Soper, selaku Country Head of Ericsson Indonesia, dalam webinar, Rabu (24/6/2020).
Perpindahan tempat kerja atau proses belajar ke rumah secara cepat menggeser pertumbuhan data trafik dari bisnis ke perumahan.
Pandemi pun diprediksi secara pesat meningkatkan penggunaan TIK dan koneksi internet. Di Indonesia, perkembangan tersebut telah terlihat dalam lima tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik, dalam laporan ”Statistik Telekomunikasi Indonesia 2018” menyebutkan, persentase penduduk yang menggunakan internet mengalami peningkatan selama kurun waktu 2014-2018, dari sekitar 17,14 persen menjadi 39,90 persen.
Pertumbuhan penggunaan internet seiring pertumbuhan penggunaan telepon seluler yang pada tahun 2018 mencapai 62,41 persen. Pada tahun yang sama, kepemilikan komputer dalam rumah tangga naik menjadi 20,05 persen.
Teknologi 5G
Dalam laporannya, Ericsson juga menangkap, adanya permintaan masyarakat di sejumlah negara terhadap pengembangan jaringan 5G. Teknologi setelah 4G itu dinilai bisa mendukung responden menjalani kebutuhan dan kebiasaan hidup baru di tengah pandemi.
”Teknologi konektivitas ini bisa merumuskan ulang cara orang berinteraksi, berkegiatan sehari-hari, serta bekerja,” kata Jerry.
Magnus Ewerbring, Ericsson Chief Technology Officer for Asia-Pacific, mengatakan, jaringan 5G menawarkan kecepatan lebih tinggi, latensi sangat rendah, dan jangkauan luas tanpa batas. Manfaat 5G akan lebih dibutuhkan seiring dengan meningkatnya digitalisasi dan penggunaan internet untuk segala (internet of things/IoT).
”Ini memungkinkan pengguna memiliki pengalaman berinternet lebih cepat dan mulus, lebih dari yang pernah mereka rasakan sebelumnya,” kata Magnus pada kesempatan yang sama.
Sepertiga dari responden dalam penelitian pun berencana berinvestasi pada 5G dan jaringan broadband yang lebih baik di rumah mereka. Hal tersebut dilakukan untuk menyiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan gelombang kedua Covid-19.
Sejauh ini, pertumbuhan jumlah pelanggan 5G di beberapa negara lain dilaporkan terus meningkat. Ericsson memperkirakan jumlah pelanggan 5G di seluruh dunia akan mencapai 190 juta pada akhir 2020 dan 2,8 miliar pada akhir 2025.
Di wilayah Asia Tenggara dan Oseania, 5G diperkirakan akan digunakan 21 persen pelanggan seluler pada 2025.