Sejumlah korporasi, baik milik pemerintah maupun swasta, terus menunjukkan kiprahnya di luar negeri. Ada banyak peluang dari ekspansi itu guna menggeliatkan ekonomi nasional.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspansi korporasi Indonesia ke sejumlah negara semakin memperkuat sinergi bisnis. Rambatan investasi di sektor-sektor lain bisa terjadi. Selain itu, jika sinergi terus diperkuat, ekspor nonmigas dan jasa akan turut terdongkrak.
Direktur Eksekutif Indonesian Agency for Outbond Investment Development Guspiabri Sumowigeno mengatakan, Indonesia perlu memasuki pasar baru untuk ekspor barang dan jasa. Salah satunya melalui ekspansi korporasi nasional ke luar negeri.
”Investasi ke luar negeri dapat menjadi bagian dari strategi meningkatkan ekspor,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (22/6/2020).
Investasi ke luar negeri dapat menjadi bagian dari strategi meningkatkan ekspor. (Guspiabri Sumowigeno)
Guspiabri menuturkan, perusahaan Indonesia yang bergerak di jasa konstruksi dan berekspansi ke negara lain bisa turut meningkatkan ekspor jasa. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika, misalnya, berekspansi membangun infrastruktur ke sejumlah negara di Afrika.
”Perusahaan tersebut memiliki kemampuan di sisi teknis dan manajerial infrastruktur yang dapat ditawarkan ke negara lain. Tenaga kerja terdidik dari Indonesia tentu dapat bekerja untuk menyelesaikan proyek di negara itu,” ujarnya.
Pada 2 Desember 2019, Wika menandatangani kontrak tahap I proyek pembangunan Goree Tower di Senegal, Afrika Barat. Proyek dengan nilai kontrak tahap I sebesar 50 juta euro itu merupakan bagian kesepakatan dari total nilai proyek yang sebesar 250 juta euro.
Wika juga telah menandatangani perjanjian kerangka kerja proyek pembangunan sejumlah kawasan industri dan infrastruktur di Tanzania senilai total 50 juta dollar AS dengan National Service Corporation Sole Tanzania, Afrika Timur, pada 17 Desember 2019. Sementara dengan Commonwealth Investment Company Limited Tanzania, Wika sepakat bekerja sama untuk membangun hotel bintang lima di Dodoma, ibu kota baru Tanzania, senilai 33 juta dollar AS.
Hubungan ekonomi antara Indonesia dan Afrika dalam bentuk investasi langsung oleh perusahaan Indonesia ke Afrika sudah berlangsung cukup lama. Indonesian Agency for Outbond Investment Development mencatat, perusahaan yang selama ini juga aktif masuk ke negara-negara Afrika antara lain Pertamina, Medco, Sinar Ancol, Indofood, Petrokimia Gresik, dan Telkom.
Menurut Guspiabri, pemerintah dapat berinisiatif menyinergikan atau mendukung perusahaan-perusahaan yang berinvestasi menggarap peluang di luar negeri. ”Kalau bisa, jangan terlalu bertumpu pada BUMN. Sebab, sebagai Indonesia Incorporated, swasta pun mau berkiprah. Bukan hanya yang besar, termasuk juga swasta yang skala medium,” katanya.
Negara-negara lain, lanjut Guspiabri, juga menyadari pentingnya investasi ke luar negeri sebagai bagian dari strategi meningkatkan ekspor. Perusahaan dari Malaysia, misalnya, juga berinvestasi di sektor perkebunan kakao di Afrika. Ini karena Afrika memiliki fasilitas mengekspor ke Eropa dengan bea masuk jauh lebih rendah dibandingkan dengan kalau dikirim dari Malaysia.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) Tbk berusaha mempertahankan kinerja di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya melalui 13 lapangan minyak dan gas bumi yang dikelola Pertamina di luar negeri. Sepanjang 2019, produksi 13 lapangan itu menyumbang 104.000 barel minyak per hari dan gas bumi sebanyak 273 juta standar kaki kubik per hari.
”Tidak dapat dimungkiri pandemi Covid-19 menimbulkan konsekuensi secara operasional dan finansial. Namun, kami pastikan bahwa semua operasi lapangan migas Pertamina di luar negeri tetap berjalan baik sembari mematuhi protokol Covid-19 yang berlaku di masing-masing negara,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, Senin.
Sepanjang 2019, produksi 13 lapangan migas di luar negeri itu menyumbang 104.000 barel minyak per hari dan gas bumi sebanyak 273 juta standar kaki kubik per hari.
Ke-13 lapangan migas yang dikelola Pertamina tersebar di Eropa, Amerika, hingga Asia. Dalam kinerja keuangan 2019, Pertamina berhasil membukukan laba bersih 2,53 miliar dollar AS atau sedikit lebih rendah dari raihan 2018 yang sebanyak 2,6 miliar dollar AS. Pajak dan deviden yang disetorkan Pertamina mencapai Rp 136,6 triliun.
Faktor utama penunjang kinerja Pertamina di 2019 adalah masih tingginya harga minyak mentah dunia di tahun tersebut, yakni ada di kisaran 62 dollar AS per barel dengan rerata kurs rupiah sebesar Rp 14.146 per dollar AS.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pekan lalu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dwi Soetjipto menyatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan aktivitas hulu migas di Indonesia terhambat. Permintaan minyak yang rendah menyebabkan harga minyak merosot drastis. Sejumlah perusahaan terpaksa merevisi proyeksi kinerja masing-masing.
”Rata-rata semua perusahaan hulu migas di dunia memangkas modal kerja mereka tahun ini sebesar 30 persen,” kata Dwi.
Dwi menambahkan, disebabkan pandemi Covid-19 yang menyeret penurunan harga minyak mentah dunia dan harga gas alam, dampak investasi hulu migas di Indonesia signifikan. Hingga Mei 2020, realisasi investasi hulu migas Indonesia sebanyak 3,93 miliar dollar AS. Adapun target tahun ini adalah 13,8 miliar dollar AS yang kemungkinan hanya tercapai 11,8 miliar dollar AS sampai akhir tahun ini.