Pergerakan harga saham di pasar modal dalam negeri, secara umum, masih fluktuatif di sepanjang tahun ini akibat minimnya katalis positif yang dapat menggugah IHSG.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi lonjakan indeks saham semakin terbatas pada tahun ini. Hal ini membuat pelaku pasar semakin selektif dalam memilih saham. Terlebih lagi, tahun 2020 diproyeksi akan menjadi tahun minim katalis positif bagi pasar modal.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali parkir di zona merah dengan koreksi 0,81 persen ke level 4.879,13 di akhir sesi perdagangan, Selasa (23/6/2020). Indeks hanya mampu menembus level tertinggi 4.938,39 dan gagal kembali menembus level 5.000.
Pada perdagangan hari ini, investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih di seluruh papan perdagangan senilai Rp 527,9 miliar. Sementara total nilai jual bersih sepanjang periode berjalan senilai Rp 13,37 triliun.
Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, fluktuasi level IHSG masih akan terus terjadi hingga akhir tahun 2020 sehingga para pelaku pasar sulit memastikan apakah level IHSG bisa kembali menuju 5.000. Kondisi itu sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang hanya berkisar 0,4 persen-1 persen.
Terlebih lagi, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menurunkan proyeksi pertumbuhan global. Prediksi itu menjadi tekanan untuk kenaikan IHSG.
Masih tingginya tingkat penyebaran infeksi Covid-19, baik di Indonesia maupun secara global, juga menyebabkan investor dan pelaku pasar menjadi cenderung lebih berhati-hati. Peningkatan kasus di Amerika dan negara Afrika menimbulkan kekawatiran terjadinya gelombang kedua.
”Ketika ekonomi aktif kembali ternyata terjadi semakin banyak infeksi yang memudarkan harapan ekonomi akan cepat pulih pada Juli-September setelah suram pada April-Juni,” ujarnya.
Ketika ekonomi aktif kembali ternyata terjadi semakin banyak infeksi yang memudarkan harapan ekonomi akan cepat pulih pada Juli-September setelah suram pada April-Juni.
Sementara itu, Analis PT Kresna Securities Etta Rusdiana Putra melihat kemungkinan selera pasar dapat bergeser kepada saham lapis kedua pada periode 2020. Hal ini membuat banyak manajer investasi mulai mengurangi eksposur pada saham yang telah mencapai atau memasuki area nilai wajarnya, terutama untuk pelaku pasar yang memiliki horizon pendek di bawah 1 tahun.
”Namun, kami masih optimistis dan melihat tekanan jual sebagai peluang untuk melakukan akumulasi pada saham blue chip jika memiliki horizon investasi jangka panjang di atas 2 tahun,” ujarnya.
Dalam situasi saat ini, lanjut Rusdiana Putra, saham dari emiten perbankan menjadi saham favorit manajer investasi karena valuasi yang sudah terdiskon. Dalam jangka panjang, saham di sektor perbankan dinilai masih memiliki prospek yang baik. Terlebih lagi, dari sisi permodalan industri perbankan saat ini relatif lebih baik dibandingkan sektor lainnya.
Di sisi lain, Associate Director PT Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, sentimen positif dari dalam negeri masih minim. Ia menilai belum ada faktor pendorong yang bisa mengakselerasi laju indeks sehingga dalam beberapa waktu ke depan pasar akan cenderung naik-turun.
Pelaku pasar, lanjutnya, juga mulai khawatir perihal perlambatan pemulihan ekonomi. Selain itu, pasar menilai bahwa realisasi stimulus ekonomi masih rendah. ”Tidak ada katalis positif yang kuat. Ekspektasi pelaku pasar hanya akan terdorong oleh ekspektasi dan harapan ekonomi akan membaik,” ujar Nico.