Bank Dunia: Fiskal Berpotensi Makin Ketat Pascapandemi
Bank Dunia memperingatkan risiko pengetatan ruang fiskal Indonesia pascapandemi Covid-19. Pendapatan negara akan merosot lebih rendah dari sebelum terjadi pandemi, sementara pengeluaran utang dan bunga meningkat pesat.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan mengalami pengetatan ruang fiskal pascapandemi Covid-19. Tanpa reformasi kebijakan yang signifikan, pendapatan negara akan merosot lebih rendah dari sebelum terjadi pandemi, sementara pengeluaran utang dan bunga meningkat pesat. Kondisi ini berbahaya dan patut diwaspadai.
Bank Dunia dalam laporan belanja publik yang dirilis Senin (22/6/2020) menyoroti keuangan dan kualitas belanja Pemerintah Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir, rasio penerimaan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih di bawah 20 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan rata-rata negara berkembang, yaitu sebesar 27,8 persen.
Penerimaan Indonesia pascapandemi Covid-19 berpotensi berada di bawah level 2018 dengan rasio terhadap PDB 14,6 persen. Rendahnya penerimaan dipengaruhi tren pemulihan harga komoditas global yang diperkirakan lambat dan kebijakan pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25 jadi 20 persen pada tahun 2023.
Di sisi lain, kebutuhan biaya penanganan Covid-19 tahun ini akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia secara signifikan mulai tahun 2021 dan seterusnya. Bank Dunia memproyeksikan rasio utang tahun 2020 mencapai 40 persen PDB. Indonesia akan mengalami pengetatan ruang fiskal akibat peningkatan rasio utang dan penurunan penerimaan.
”Ruang fiskal Indonesia sudah ketat, tetapi akan jauh lebih ketat lagi pascapandemi Covid-19. Tanpa adanya reformasi kebijakan, penerimaan tidak mungkin kembali ke tingkat sebelum Covid-19, sementara pengeluaran terus meningkat,” ujar ekonom senior Bank Dunia, Ralph van Doorn, dalam peluncuran kajian belanja publik Indonesia bertajuk Spending for Better Results, Senin (22/6).
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia nol persen pada 2020 atau terendah sejak krisis keuangan 1997-1998. Situasi itu berdampak buruk terhadap penerimaan dan tenaga kerja. Berbagai paket stimulus diluncurkan pemerintah untuk menahan efek domino pandemi Covid-19.
Menurut Doorn, kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan relatif rendah, terutama penerimaan pajak. Kondisi ini tecermin pada rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang hanya 9,8 persen tahun 2019. Pemerintah harus melakukan reformasi agar ruang fiskal bisa lebih lebar setelah pandemi berakhir.
Bank Dunia merekomendasikan dua reformasi kebijakan agar Indonesia dapat mengelola dan memperlebar ruang fiskal, yaitu dengan meningkatkan mobilisasi penerimaan dalam negeri dan merealokasi belanja subisidi yang tidak tepat sasaran. Jika kedua rekomendasi dijalankan, penerimaan akan kembali ke level 2019 pada tahun 2024.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara tahun 2019 sebesar Rp 1.957,2 triliun atau 12,36 PDB. Realisasi pendapatan terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.545,3 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 405 triliun, dan hibah Rp 6,8 triliun.
”Reformasi perpajakan sangat penting untuk membiayai belanja pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan pascapandemi Covid-19,” kata Doorn.
Reformasi perpajakan
Ekonom Bank Dunia Bidang Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi Jaffar Al-Rikabi menuturkan, reformasi perpajakan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Berdasarkan pengalaman beberapa negara di dunia, butuh waktu setidaknya 6-10 tahun untuk meningkatkan rasio pajak yang berujung ke peningkatan penerimaan.
Mereka yang memiliki penghasilan tinggi seharusnya membayar lebih besar kepada negara.
Potensi penerimaan Indonesia cukup besar, tetapi belum digarap optimal. Penerimaan pajak seharusnya bisa ditingkatkan dengan mereformasi pajak penghasilan orang pribadi. Pungutan PPh orang pribadi di Indonesia relatif rendah, yakni hanya 35 persen, sementara rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencapai 41,2 persen.
Menurut Jaffar, kenaikan PPh orang pribadi sesuai dengan prinsip dasar pajak tentang keadilan. Mereka yang memiliki penghasilan tinggi seharusnya membayar lebih besar kepada negara. Pungutan PPh orang pribadi berlaku untuk wajib pajak yang memiliki penghasilan sangat tinggi atau disebut ”pajak orang kaya”.
Selain meningkatkan PPh orang pribadi, potensi penerimaan bisa diperoleh dari pengenaan pajak lingkungan (green tax) atas konsumsi bahan bakar minyak dan plastik sekali pakai, pajak kesehatan atau (health tax) terhadap konsumsi rokok, serta pajak digital atas konsumsi produk digital dari luar negeri.
”Meningkatkan penerimaan sangat penting untuk melindungi penduduk, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjaga stabilitas,” kata Jaffar.
Menanggapi hal tersebut, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, tekanan terhadap penerimaan perpajakan cukup besar sepanjang Januari-April 2020. Kondisi itu yang melandasi proyeksi penurunan rasio pajak 2 persen dari kisaran 11 menjadi 9 persen tahun 2020.
Meski demikian, pemerintah akan meningkatkan rasio pajak secara bertahap seiring dengan kondisi ekonomi yang membaik pascapandemi Covid-19. Potensi penerimaan pajak dari sektor digital juga segera diimplementasikan untuk mengompensasi penerimaan pajak yang hilang akibat penurunan aktivitas ekonomi.
Kepala Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman menambahkan, pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam meningkatkan tarif atau memperluas obyek pengenaan pajak. Misalnya, kenaikan tarif pajak orang pribadi jangan sampai menggerus kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau melaporkan pajaknya.