Dunia kerja kini sudah berubah akibat pandemi Covid-19 dan membawa implikasi dramatis bagi kesejahteraan para pekerja. Badan PBB mendorong agar dunia berkoordinasi untuk menciptakan lapangan kerja yang layak bagi semua.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Pandemi coronavirus disease atau Covid-19 telah memutarbalikkan dunia kerja. Kondisi ini memberikan efek dramatis terhadap pekerjaan ataupun bisnis yang berdampak pada kesejahteraan pekerja sekaligus keluarga mereka.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam ringkasan kebijakan ”The World of Work and Covid-19” yang dikutip pada Senin (22/6/2020) menyebutkan, pada pertengahan Mei 2020, sebesar 94 persen pekerja di dunia berada di negara-negara yang menerapkan kebijakan penutupan tempat kerja untuk menekan penyebaran Covid-19.
Pada triwulan II-2020, PBB memprediksi akan ada kerugian besar dalam jam kerja yang setara dengan 305 juta pekerjaan penuh waktu. Sementara 38 persen tenaga kerja atau sekitar 1,25 miliar pekerja dipekerjakan pada sektor-sektor dengan risiko tinggi.
Dalam laporan itu, para pekerja yang telah kehilangan mata pencarian dikatakan akan sulit untuk masuk kembali ke dunia kerja dalam waktu dekat. Keadaan ini sejalan dengan kondisi perusahaan, khususnya di level kecil dan menengah yang sulit pulih.
Ada 2 miliar pekerja di sektor informal yang dinilai akan terdampak secara signifikan. Sebab, mereka sering kali tidak mendapat hak perlindungan sosial, bahkan pada bulan pertama krisis mereka telah kehilangan 60 persen dari pendapatan.
Perempuan dan penyandang disabilitas turut menjadi sorotan PBB sebagai korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terdampak. Mereka dinilai menjadi yang pertama kehilangan pekerjaan dan akan menjadi yang terakhir untuk bisa bekerja kembali.
Generasi muda pun tak luput menjadi korban PHK. Empat dari 10 pekerja usia muda secara global bekerja di sektor-sektor yang terpukul. Terganggunya dunia pendidikan dan pelatihan telah menempatkan mereka pada risiko menjadi ”generasi yang terkunci”.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyampaikan, dunia kerja tidak dapat dan memang tidak seharusnya akan kembali sama seperti sebelum pandemi Covid-19. Sudah saatnya untuk berkoordinasi menciptakan pekerjaan layak bagi semua.
Menurut Guterres, harus ada dukungan langsung bagi pekerja ataupun perusahaan yang berisiko menutup usaha. Fokus yang lebih besar harus diberikan pada kesehatan dan aktivitas ekonomi dalam masa pelonggaran agar tetap aman.
”Kita juga perlu memobilisasi untuk pemulihan inklusif yang berpusat pada manusia, aktivitas ramah lingkungan dan berkelanjutan. Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi baru untuk menciptakan pekerjaan yang layak bagi semua,” kata Guterres.
Kondisi serupa dialami dunia kerja di Indonesia yang terus mencatat penambahan jumlah korban PHK. Jumlah korban PHK yang dicatat Kementerian Ketenagakerjaan mencapai 1,7 juta orang.
Namun, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mencatat, sudah ada 6,4 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Data itu, antara lain, didapat dari tujuh sektor yang paling banyak memutus hubungan kerja dan merumahkan karyawan, yakni sektor perhotelan, restoran, alas kaki, ritel, farmasi, tekstil, dan transportasi darat.
Sektor usaha tercatat paling banyak merumahkan karyawan, antara lain tekstil dengan 2,1 juta pekerja, transportasi darat 1,4 juta pekerja, restoran 1 juta pekerja, sepatu dan alas kaki 500.000 pekerja, perhotelan 430.000 pekerja, ritel 400.000 pekerja, serta farmasi 200.000 pekerja. (Kompas, 20 Juni 2020)
Jumlah ini belum termasuk data Badan Pusat Statistik yang mencatat ada 7,05 juta penganggur terbuka per Agustus 2019. Selain itu, ada 8,14 juta orang yang saat ini sudah setengah menganggur dan 28,41 juta orang pekerja paruh waktu.
Mohammad Hidayat (22) merupakan salah satu korban PHK sejak awal April 2020 yang hingga kini belum mendapat pekerjaan lagi. Sebelumnya, ia bekerja sebagai barista di daerah Semarang, Jawa Tengah.
Bantuan melalui program Kartu Prakerja yang menjadi harapannya pun pupus. Selain karena tidak lolos seleksi dalam gelombang pertama hingga ketiga, saat ini program sedang dalam proses evaluasi.
Meski memang bukan untuk menambah kemampuan, Hidayat mengaku memerlukan insentif Rp 600.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan harian. Sebab, ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan pun turut terdampak.
”Bapak saya juga kena PHK, jadi sekarang enggak ada pemasukan dari mana pun. Apalagi, keluarga saya sama sekali enggak terdaftar dalam bansos (bantuan sosial),” ungkapnya.
Para korban PHK juga meminta kepastian mengenai kelanjutan program Kartu Prakerja. Tidak hanya mereka yang gagal lolos seleksi, para peserta program kini terus menanyakan kejelasan mengenai waktu pencairan insentif.
Yogi Novri Nanda, salah satu peserta Kartu Prakerja, menanyakan kepastian jadwal penerimaan insentif dalam kolom komentar akun @prakerja.go.id. Sebagai peserta yang lolos pada gelombang kedua, insentif dijadwalkan cair pada 9 Juni 2020.
Akun @prakerja.go.id pun membalas dengan menjelaskan program saat ini masih dalam proses evaluasi pemerintah atas masukan dari lembaga pengawas pemerintah dan penegak hukum. Dengan begitu, pencairan insentif pun ditunda.
”Hal ini dilakukan agar bantuan bagi masyarakat dapat disalurkan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik. Semoga program bisa segera dimulai kembali, baik pencairan insentif maupun pembukaan gelombang berikutnya,” tulis admin @prakerja.go.id.
Menjadi hal yang wajar ketika para korban PHK menumpukkan harapannya pada program Kartu Prakerja. Sebab, program ini menjadi satu-satunya jaring pengaman sosial yang disediakan pemerintah untuk membantu mereka.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad pun menilai, insentif bagi para peserta yang sudah lolos pada gelombang pertama hingga ketiga harus tetap diberikan. Sebab, itu sudah menjadi konsekuensi dari keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan program.
Dalam program yang baru berjalan sekitar dua bulan, ada 680.000 peserta gelombang pertama hingga ketiga yang berhak menerima insentif. Mereka dijadwalkan akan menerima insentif selama empat bulan sebesar Rp 600.000 per bulan.
”Apabila (insentif) tidak diberikan, ini akan menjadi persoalan baru. Menjadi peserta Kartu Prakerja, kan, bukan kesalahan mereka (peserta yang lolos). Ini semua desain dari pemerintah,” kata Tauhid.
Sebagai evaluasi, menurut Tauhid, untuk sementara tidak perlu membuat anggaran baru terkait bantuan sosial bagi korban PHK. Pemerintah dapat menggunakan anggaran Rp 20 triliun yang awalnya didesain untuk program Kartu Prakerja menjadi bantuan bagi korban PHK.