Di tengah situasi pandemi yang mengepung kita, menyapa karyawan menjadi langkah penting dan berharga. CEO bisa mengajak karyawan berbincang dan mendengarkan masalah mereka.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Penulis buku kepemimpinan bisnis, Simon Sinek, dalam wawancara dengan media daring Inc terkait respons pimpinan korporasi terhadap isu Black Lives Matter di Amerika Serikat mengatakan, isu rasial tidak harus dihadapi dengan keputusan bisnis yang rumit. Menjadi pendengar yang baik bisa menyelesaikan masalah. Mendengarkan yang selama ini tak pernah keluar dari mulut rekan-rekannya yang berkulit hitam. Kisah ini relevan dengan pandemi yang dalam waktu bersamaan tengah terjadi.
Pandemi menyebabkan krisis di dunia bisnis. Langkah pertama para CEO atau pimpinan perusahaan tentu harus menyelamatkan bisnis. Akan tetapi, krisis saat ini juga menimbulkan ketakutan, kecemasan, bahkan trauma di kalangan karyawan perusahaan. Konsumen juga mengalami masalah yang sama. Mereka mungkin bingung, panik, dan cemas. Bagaimana mereka harus bertindak ketika karyawan dan konsumen atau mitra bisnis juga panik?
Salah satu tulisan di dalam laman Forbes menyebutkan, semangat karyawan berbagai perusahaan turun ketika mereka mendapat informasi seperti jumlah kematian akibat Covid-19 yang melonjak. Sehari-hari mereka juga sering dikepung kabar bohong. Saat bekerja dari rumah pun mereka menghadapi sejumlah masalah. Karyawan menjadi paranoid. Kesehatan mental mereka terganggu, baik saat harus berada di kantor maupun bekerja dari rumah.
Penyediaan alat pelindung diri dalam bekerja dan berinteraksi adalah satu cara mengurangi kecemasan. Namun, kepanikan masih saja tidak hilang. Kecemasan tetap muncul ketika mereka bekerja. Apalagi, saat ini sejumlah perusahaan sudah mulai kembali beroperasi dengan ketentuan baru dan protokol kesehatan. Masalah ini kadang disepelekan, tetapi hampir semua perusahaan mengalami hal serupa.
Karyawan perlu mendapat penjelasan soal berbagai hal baru dalam bekerja. Mereka juga harus memahami posisi baru di tengah pandemi yang sedang berlangsung. Obrolan yang kerap dilakukan terkait langkah perusahaan dan protokol kesehatan juga mengurangi kecemasan karyawan. Melibatkan karyawan dalam pelaksanaan protokol membuat mereka lebih nyaman.
Kalimat berikut ini mungkin klasik, ”Di tengah kepanikan, pimpinan tidak boleh panik.” Namun, kenyataannya, di beberapa perusahaan di Indonesia, kita mudah sekali menemukan kepanikan di level manajer hingga CEO. Situasi ini memperburuk semangat karyawan. Karyawan melihat respons pimpinan ketika krisis tengah melanda. Covid-19 menular, kepanikan juga bisa menular.
Sebaliknya, jika pimpinan tenang, karyawan juga ikut tenang. Mereka perlu mengendalikan emosi dan tidak terlibat dalam menyebarkan gosip atau informasi yang tidak benar.
Untuk membuat karyawan semakin tenang, salah satu perusahaan multinasional di Amerika Serikat bahkan mempekerjakan dokter yang khusus menjawab berbagai pertanyaan karyawan terkait wabah. Dengan cara itu, karyawan tidak membuat persepsi yang salah tentang pandemi. Ia juga mengajari karyawan membedakan fakta dan mitos seputar Covid-19 yang sedang mewabah.
Jika semua hal sudah dilakukan, apakah cukup? Kembali ke cara yang digunakan Simon Sinek ketika menangani isu Black Lives Matter, para CEO, selain menangani langsung dampak krisis terhadap bisnis, pada saat bersamaan perlu mendengarkan persoalan yang dihadapi karyawan. Sinek mengatakan, sejumlah CEO sangat boleh jadi paham dengan masalah yang sedang dihadapi karyawan, tetapi tidak mempunyai niat tulus untuk mendengarkan masalah karyawannya. Ada yang sekadar mengirim surat elektronik kepada karyawan. Lalu, masalah seolah selesai.
”Mengapa Anda tidak menelpon mereka?” tanya Sinek, memberi contoh langkah yang lebih pas dilakukan pimpinan perusahaan di tengah karyawan yang tengah mengalami masalah. Sinek sebenarnya ingin mengatakan, ketika krisis, CEO perlu mengingat mereka adalah manusia. Ada saat senang, ada saat sakit, dan ada saat takut. CEO dan karyawan mengalami hal ini juga. Menjadi manusia berarti mempunyai kemampuan mendengarkan dan merasakan pengalaman karyawan.
Di samping menyediakan berbagai fasilitas saat pandemi, para CEO yang mengobrol dan mendengarkan masalah karyawan sesungguhnya tengah meredakan kecemasan. Jika saja topik pandemi merupakan topik yang membuat tidak nyaman atau dirasa berat, para CEO bisa membicarakan topik apa pun. Kepemimpinan bukan hanya soal kemampuan menyelesaikan berbagai pekerjaan, melainkan juga memberi perhatian kepada mereka yang selama ini ikut bekerja. Sebuah survei menyebutkan, satu dari tiga karyawan keluar karena pimpinannya tidak peduli dengan karyawan. (ANDREAS MARYOTO)