Pemulihan Ekonomi Butuh Upaya Luar Biasa
Ada tiga hal yang saat ini perlu dicermati. Pertama, penanganan Covid-19. Kedua, stimulus di berbagai sektor sosial-ekonomi. Ketiga, perlunya modal kerja setelah ada pergerakan permintaan.
Pandemi Covid-19 menekan perekonomian, baik di sisi permintaan maupun penawaran. Upaya luar biasa pemerintah dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Kementerian Keuangan memproyeksikan, dalam skenario berat, ekonomi pada tahun ini bisa minus 0,4 persen hingga 1 persen. Untuk itu, proyeksi ekonomi pada batas atas diturunkan menjadi 1 persen-2,3 persen.
Pengangguran diperkirakan bertambah 2,92 juta-5,23 juta orang. Sementara itu, kemiskinan berpotensi meningkat 1,89 juta-4,85 juta orang. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pengangur pada Februari 2020 sebanyak 6,88 juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin per September 2019 sebanyak 24,79 juta orang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Arilangga Hartarto menyadari hal itu. Pandemi Covid-19 telah menurunkan utilisasi industri, mengganggu rantai pasok, sehingga menurunkan kegiatan ekonomi.
”Dampak Covid-19 terhadap perekonomian antara lain penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan peningkatan kemiskinan,” kata Airlangga di Jakarta, Kamis (18/6/2020) malam.
Airlangga menyatakan hal itu dalam acara Kajian Ekonomi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) #4 secara virtual. Kegiatan itu mengusung tema ”Reset dan Transformasi Ekonomi: Mendorong Peran Dunia Usaha dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional”.
Menurut Arilangga, pemerintah harus segera menyiapkan program dan kebijakan secara cepat dan tepat. Hal ini mencakup program percepatan pemulihan ekonomi, program exit strategy, serta reset dan transformasi ekonomi untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi.
Transformasi ekonomi itu mencakup implementasi industri 4.0, digitalisasi, infrastruktur, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, dan layanan investasi perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS). Selain itu juga peningkatan kompetensi, digitalisasi UMKM melalui teknologi keuangan dan energi terbarukan.
”Tentu ini membutuhkan kerja sama akademisi, masyarakat, dan dunia usaha. Pemerintah juga akan terus intervensi agar tercapai keseimbangan sosial dan ekonomi,” katanya.
Airlangga menegaskan, dua hal yang juga perlu menjadi catatan adalah persoalan geopolitik dan arus internasional. Tensi geopolitik dan proteksionisme meningkat.
Berbagai negara mulai berpikir bahwa rantai nilai esensial harus diproduksi di negara masing-masing. ”Ini termasuk untuk farmasi. Bagi Indonesia, termasuk keamanan pangan,” ujarnya.
Baca juga: Nasib Perdagangan dan Investasi RI di Tengah Pandemi
Kolaborasi dan sinergi
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, saat tekanan ekonomi besar akibat pandemi Covid-19, kolaborasi, sinergi, dan komunikasi menjadi penting dalam mencari solusi dan opsi menghadapinya.
Ketidakpastian masih tinggi. Belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 berakhir, seberapa besaran tekanan, dan solusinya. ”Adaptasi dan kreasi dibutuhkan dalam menghadapi kondisi yang terdampak pandemi,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani berpendapat, saat ini merupakan momentum tepat menata ulang ekonomi. Tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi.
Apindo menilai ada tiga hal yang saat ini perlu dicermati. Pertama, penanganan Covid-19, terutama menyangkut pelacakan kasus positif Covid-19. ”Kedua, stimulus di berbagai sektor sosial-ekonomi. Ketiga, perlunya modal kerja setelah ada pergerakan permintaan,” kata Hariyadi.
Ada tiga hal yang saat ini perlu dicermati. Pertama, penanganan Covid-19. Kedua, stimulus di berbagai sektor sosial-ekonomi. Ketiga, perlunya modal kerja setelah ada pergerakan permintaan.
Baca juga: Jumlah Penganggur Bisa Lebih Tinggi
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (HIPMI) Mardani H Maming mengatakan, koordinasi semua pihak dibutuhkan untuk mencari jalan keluar mengatasi persoalan yang timbul akibat pandemi Covid-19.
”Hipmi berharap pemerintah perlu memberikan perhatian khusus bagi pengusaha muda, mayoritas pelaku UMKM, yang saat ini usahanya terdampak pandemi Covid-19,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah setidaknya sudah tiga kali mengubah proyeksi kebutuhan biaya penanganan Covid-19 dalam kurun kurang dari tiga bulan sejak diberlakukan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020.
Semula anggarannya sebesar Rp 405,1 triliun untuk kesehatan Rp 75 triliun dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 330,1 triliun. Kemudian anggaran PEN naik menjadi 641,17 triliun dan kesehatan masih tetap Rp 75 triliun.
Perubahan berikutnya Rp 677,20 triliun, terdiri dari Rp 589,65 triliun untuk program PEN dan Rp 87,55 triliun untuk kesehatan. Terakhir, biaya penanganan Covid-19 diperkirakan Rp 695,2 triliun. Untuk bidang kesehatan dialokasikan Rp 87,55 triliun dan program PEN Rp 607,65 triliun. Anggaran PEN meningkat Rp 18 triliun dari proyeksi sebelumnya Rp 589,65 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tambahan anggaran untuk merespons situasi yang sangat dinamis akibat Covid-19. Bantalan di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial perlu ditingkatkan untuk meredam laju perlambatan ekonomi agar tidak semakin dalam dan tidak terjadi efek domino.
Penyaluran bantuan sosial sebagai jaring pengaman sosial dan stimulus bagi dunia usaha diharapkan mampu menahan laju penurunan ekonomi. ”Sejauh ini penyerapan bantuan sosial cukup optimal kendati masih ada beberapa masalah terkait, seperti data penerima salah dan data penerima ganda,” ujarnya (Kompas, 19 Juni 2020). (KARINA ISNA IRAWAN)
Baca juga: Jangan Memancing di Air Keruh