Kontribusi UMKM terhadap PDB patut menjadi pertimbangan untuk lebih memaksimalkan bantuan bagi pelaku usaha agar bisa naik kelas. Khususnya bagi usaha mikro yang sejak 10 tahun jumlahnya sangat dominan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Meski tergolong usaha mikro, kecil, dan menengah, kontribusinya terhadap produk domestik bruto patut mendapat perhatian. Khususnya bagi pelaku usaha mikro yang mendominasi total unit pelaku usaha di Indonesia.
Karena itu, pembinaan dan pendampingan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin mendesak diperlukan di era pandemi coronavirus disease atau Covid-19. Para pelaku usaha ”dipaksa” untuk segera go online agar bisa bertahan.
Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) pada 2018 yang dikutip pada Jumat (19/6/2020) mencatat, dari total 64,19 juta unit UMKM, sebanyak 63,36 juta unit (98,68 persen) merupakan usaha mikro. Sementara usaha kecil ada 783.132 unit (1,22 persen) dan usaha menengah ada 60.702 unit (0,09 persen).
Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) pun kian menunjukkan peningkatan. Pada 2014, sumbangan UMKM pada PDB sebesar 51,5 persen, meningkat pada 2019 menjadi 61,07 persen.
Meski begitu, dari data Badan Pusat Statistik pada 2016, pelaku UMK yang menggunakan komputer baru 6,22 persen, sementara yang menggunakan internet baru 9,76 persen. Pelaku UMK yang pernah mengikuti pelatihan pun hanya 4,11 persen.
Bukan hanya Indonesia, berkaca pada negara-negara maju, UMKM juga menjadi penopang perekonomian mereka. Salah satunya, negara-negara anggota Uni Eropa dengan proporsi jumlah unit usaha mencapai 25,03 juta unit atau sebesar 99,8 persen dari total unit usaha.
Berdasarkan Laporan Tahunan UMKM Eropa pada 2018, jumlah pelaku usaha mikro juga mendominasi unit usaha, yakni sebanyak 23,32 juta unit (93 persen). Sementara pelaku usaha kecil sebanyak 1,47 juta unit (5,9 persen) dan pelaku usaha menengah ada 235.668 unit (0,9 persen).
Melihat kondisi UMKM di Uni Eropa sebagai negara maju, maka pelaku usaha di Indonesia pun perlu didorong untuk naik kelas. Sebagai pembanding, berarti setidaknya diperlukan 3,66 juta unit usaha mikro yang naik kelas agar mencapai 93 persen.
Untuk itu, perlu peningkatan kapabilitas, khususnya bagi usaha mikro yang sulit naik kelas. Apalagi pelaku usaha mikro telah mendominasi selama 10 tahun terakhir. Pada 2010, jumlah usaha mikro mencapai 52,18 juta unit (98,88 persen) dari total 52,76 juta unit UMKM.
Butuh pembinaan
Farid Widianto (43), pemilik warung makan di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah empat tahun menggunakan layanan digital untuk pemesanan makanan melalui ojek daring. Namun, usahanya tetap terdampak akibat Covid-19.
Penurunan omzet warung makan dalam tiga bulan terakhir hampir 60 persen. Dalam keadaan normal, dalam satu hari dapat memotong 10 ekor ayam, sekarang hanya 3 ekor ayam.
Meski telah menggunakan layanan pemesanan digital, kata Farid, pemasaran masih kalah saing dengan pelaku usaha yang sudah bisa memanfaatkan media sosial. Sayangnya, ia mengaku belum paham memasarkan produk lewat media sosial.
”Saya belum bisa main media sosial, misalnya Facebook atau Instagram saya enggak paham. Padahal, saya tahu sekarang banyak konsumen yang melihat-lihat makanan juga dari sana. Saya mau belajar, tetapi belum tahu mulai dari mana,” kata Farid.
Adapun Salmi Sufraini (43), pelaku usaha Cangcomak (kacang coklat emak) di Jakarta Barat, juga menghadapi kendala pemasaran produk. Selain karena produknya baru, ia mengatakan belum bisa memanfaatkan media sosial secara maksimal untuk berdagang.
”Saya sudah pakai Instagram, tetapi memang pengikut masih sedikit jadi kurang menarik. Semoga ke depan pemerintah bisa merangkul produk-produk pilihan untuk dibuatkan satu platform yang dapat membantu penjualan,” kata Salmi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, memang perlu ada pemahaman mengenai pemasaran digital bagi pelaku UMKM. Salah satunya bagaimana mengemas produk tersebut agar menarik dilihat di dunia digital.
Selain itu, menjalin kemitraan juga dapat menjadi alternatif untuk membantu UMKM naik kelas. Namun, keterbatasan informasi dinilai menjadi kendala bagi UMKM untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan besar.
”Baru ada sekitar 7 persen UMKM yang menjalin kemitraan dengan perusahaan besar. Maka ke depan, pekerjaan rumahnya adalah menyusun strategi bagaimana menjangkau seluruh pemangku kepentingan UMKM,” kata Tauhid.
Sebagai informasi, dari total anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp 677,2 triliun, sektor UMKM menerima sebesar Rp 123,46 triliun. Besarnya anggaran ini diharapkan dapat membantu UMKM untuk naik kelas.